(dok/antara)
Para petugas sedang memeriksa kesiapan kapal utuk melakukan operasi di laut.
Luas lautan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan daratan.
JAKARTA – Sebagai negara maritim, Indonesia belum sepenuhnya melakukan
orientasi pembangunan maupun pembuatan kebijakan yang berorientasi pada
aspek kemaritiman.Paradigma berpikir para pengambil kebijakan masih
berorientasi daratan. Hal ini bisa dilihat dari lemahnya sistem
koordinasi penjagaan wilayah laut hingga rendahnya kontribusi sektor
kelautan dan perikanan untuk kas negara.
Letnan Jenderal Marinir (Purn) Suharto menilai semua yang sifatnya
koordinasi di Indonesia tidak bisa berjalan dengan baik, termasuk di
Badan Koordinasi Keamanan laut (Bakorkamla) karena semua pihak merasa
lebih berhak di laut. “Saat ini yang dibutuhkan adalah Coast Guard,
semi-Angkatan Laut, bukan polisi,” ungkapnya kepada SH, Kamis (12/12).
Menurutnya, keamanan laut sengaja dibiarkan terbuka dan lengah.
Pemerintah menggunakan manajemen konflik untuk melemahkan
antar-angkatan. “Pemerintah telah menjadikan polisi sebagai tirani
baru,” ujarnya.
Pengamat
maritim Connie Rahakundini menyebut bahwa Indonesia membutuhkan
National Security Council atau badan apa pun namanya yang bisa
menyinergikan semua ini. “UU No 3/2002 sudah memerintahkan presiden
untuk itu, tapi sampai sekarang badan itu tidak terbentuk karena
syaratnya tidak dipenuhi, yaitu polisi di bawah kementerian,” ungkapnya,
Kamis.Connie mengatakan, pengamanan laut itu intinya menyinergikan
seluruh aktor keamanan laut guna memaksimalkan gugus tugas.
Misalnya, sinergisitas informasi data penginderaan yang harus terpusat
dalam sebuah data center .Hal ini, katanya, sangat penting sehingga
siapa berbuat apa menjadi lebih jelas. “Masalah lain adalah kemampuan
penginderaan yang mumpuni itu perlu dibekali dengan kemampuan
penindakan,” jelasnya. Dia menjelaskan, baik Armabar maupun Armatir
tidak dapat digelar penuh kesiapannya karena masalah bahan bakar. Itu
karena dari sebulan (30 hari), armada TNI AL hanya berada di laut lima
hari, sedangkan sisanya bersandar.
“Ini kan memalukan. Begitu juga pembangunan skuadeon UAV AU harusnya
menjadi skuadron UAV penindak bukan pengideraan karena sudah banyak
departemen melakukan hal itu,” jelasnya. Ke depan, kata dia, butuh
pengintegrasian sehingga pembagian tugas dan kewenangan menjadi jelas
dan tidak terjadi semua melakukan hal yang sama pada wilayah yang sama
dan ancaman yang sama.perbaikan, sepertiga lagi dalam perawatan dan
hanya sepertiga yang operasional.
PDB Kelautan dan Perikanan Rendah
Ironi lain dari negeri bahari adalah sumbangan sektor kelautan dan perikanan ke kas negara masih sangat rendah.
Menurut
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan (Kiara) Riza
Damanik, ada sejumlah factor yang menyebabkan rendahnya angka Produk
Domestik Bruto (PDB) ini.Pertama, lemahnya harmonisasi antarlembaga
negara, baik secara vertikal maupun horizontal dalam mengoptimalkan
kepentingan Indonesia terhadap laut. Kedua, paradigma ekonomi kelautan
yang masih berbasis pada ekspor komoditas non-olahan, seperti perikanan.
Ketiga, besarnya toleransi yang diberikan kepada asing dalam mengelola
serta memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.Ia
mencontohkan, 99 persen investasi di sektor perikanan tahun 2012
merupakan Penanaman Modal Asing (PMA).
Bahkan, kata dia, 99 persen ABK kapal ikan berbendera Indonesia (eks
asing) yang beroperasi di Laut Natuna adalah ABK asing, bahkan
bernakhoda asing. Keempat, lemahnya penegakan hukum di laut.“Dalam
sejumlah peristiwa, pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian
Kelautan dan Perikanan atas sepengetahuan menteri melepas kapal-kapal
yang telah melakukan tindak pidanan perikanan, berupa pencurian ikan,
transshipment, atau pelanggaran lainnya,” ungkapnya, Rabu.
Ia mengatakan, jika saja IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated)
fishing bisa dihentikan, lalu mengoptimalkan segenap potensi Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor perikanan tangkap maka ada peluang
kontribusi PNBP dari sektor perikanan sebesar Rp 50 triliun setiap
tahunnya.Demikian juga, ujarnya, kalau ikan-ikan produksi dalam negeri
tidak dijual ke negara lain secara gelondongan (non-olahan), tetapi
diolah terlebih dahulu maka akan ada penambahan nilai ekonomi perikanan
sekaligus memberi lapangan kerja.Faktor kelima, sambung dia, minimnya
perlindungan terhadap hak-hak nelayan. Hal ini, lanjutnya, ditandai
dengan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan nelayan dalam kegiatan
perikanan. Pada saat yang sama, sektor perbankan belum berperan nyata
dalam meringankan akses permodalan bagi nelayan maupun petambak.
Untuk itu, Riza menegaskan, ke depan hal pertama perlu dilakukan adalah
mengembalikan kedaulatan RI terhadap laut. Kedua, memberantas seluruh
praktik kejahatan perikanan di laut dan harus dipastikan tidak ada lagi
ABK asing yang menguasai kapal-kapal penangkapan ikan Indonesia.Setelah
itu, rombak paradigma perdagangan yang berbasis pada ekspor dan
penjualan komoditas non-olahan.
“Sebagai negara kepulauan yang besar, sewajarnya pasar potensial kita
adalah kepulauan Indonesia itu sendiri, bukan justru di luar,”
katanya.Memperkuat transportasi laut, kata Riza, menjadi sebuah
keharusan, bukan pilihan.
Hal ini juga akan menjadi instrumen yang memastikan terjadinya
pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Terakhir, dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi penting
sehingga perlu menyinergikan iptek untuk menjawab tantangan terkini di
sektor kelautan dan perikanan.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan M Sharif C Sutardjo
mengatakan berdasarkan tren sejak 2009 dan berbagai upaya yang dilakukan
KKP selama satu tahun terakhir, laju pertumbuhan PDB perikanan
diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Pertumbuhan PDB perikanan tersebut belum termasuk industri pengolahan
di bidang perikanan,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SH,
Rabu.Ia mencatat laju pertumbuhan PDB perikanan 2011-2012 (triwulan III)
yaitu, pada 2011 sebesar 4,53 persen dan tahun 2012 sebesar 5,05
persen. Sementara, lanjutnya, target pertumbuhan PDB perikanan tahun
2012 sebesar 6,85 persen, tahun 2013 sebanyak 7,00 persen, dan 2014
sebesar 7,25 persen.Terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS)
Suryamin mengatakan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih
rendah.
Berdasarkan data BPS tahun 2012, sekitar 3,2 persen untuk raw materials
dan 8 persen untuk material dan produk olahan.Dibandingkan dengan
negara-negara perikanan utama lainnya, tambahnya, daya saing produk
perikanan Indonesia relatif lemah. Pada 2011, nilai ekspor perikanan
Indonesia sebesar US$ 3,5 miliar, sedangkan Vietnam mencapai US$ 6,2
miliar, dan Thailand sebesar US$ 8,5 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar