24 Desember, 2012

Perlu Sinergi Keamanan Laut

(dok/antara) 

Para petugas sedang memeriksa kesiapan kapal utuk melakukan operasi di laut.

Luas lautan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan daratan.

JAKARTA – Sebagai negara maritim, Indonesia belum sepenuhnya melakukan orientasi pembangunan maupun pembuatan kebijakan yang berorientasi pada aspek kemaritiman.Paradigma berpikir para pengambil kebijakan masih berorientasi daratan. Hal ini bisa dilihat dari lemahnya sistem koordinasi penjagaan wilayah laut hingga rendahnya kontribusi sektor kelautan dan perikanan untuk kas negara. 

Letnan Jenderal Marinir (Purn) Suharto menilai semua yang sifatnya koordinasi di Indonesia tidak bisa berjalan dengan baik, termasuk di Badan Koordinasi Keamanan laut (Bakorkamla) karena semua pihak merasa lebih berhak di laut. “Saat ini yang dibutuhkan adalah Coast Guard, semi-Angkatan Laut, bukan polisi,” ungkapnya kepada SH, Kamis (12/12).

Menurutnya, keamanan laut sengaja dibiarkan terbuka dan lengah. Pemerintah menggunakan manajemen konflik untuk melemahkan antar-angkatan. “Pemerintah telah menjadikan polisi sebagai tirani baru,” ujarnya. 
Pengamat maritim Connie Rahakundini menyebut bahwa Indonesia membutuhkan National Security Council atau badan apa pun namanya yang bisa menyinergikan semua ini. “UU No 3/2002 sudah memerintahkan presiden untuk itu, tapi sampai sekarang badan itu tidak terbentuk karena syaratnya tidak dipenuhi, yaitu polisi di bawah kementerian,” ungkapnya, Kamis.Connie mengatakan, pengamanan laut itu intinya menyinergikan seluruh aktor keamanan laut guna memaksimalkan gugus tugas. 

Misalnya, sinergisitas informasi data penginderaan yang harus terpusat dalam sebuah data center .Hal ini, katanya, sangat penting sehingga siapa berbuat apa menjadi lebih jelas. “Masalah lain adalah kemampuan penginderaan yang mumpuni itu perlu dibekali dengan kemampuan penindakan,” jelasnya. Dia menjelaskan, baik Armabar maupun Armatir tidak dapat digelar penuh kesiapannya karena masalah bahan bakar. Itu karena dari sebulan (30 hari), armada TNI AL hanya berada di laut lima hari, sedangkan sisanya bersandar.

“Ini kan memalukan. Begitu juga pembangunan skuadeon UAV AU harusnya menjadi skuadron UAV penindak bukan pengideraan karena sudah banyak departemen melakukan hal itu,” jelasnya. Ke depan, kata dia, butuh pengintegrasian sehingga pembagian tugas dan kewenangan menjadi jelas dan tidak terjadi semua melakukan hal yang sama pada wilayah yang sama dan ancaman yang sama.perbaikan, sepertiga lagi dalam perawatan dan hanya sepertiga yang operasional. 

PDB Kelautan dan Perikanan Rendah 

Ironi lain dari negeri bahari adalah sumbangan sektor kelautan dan perikanan ke kas negara masih sangat rendah. 
Menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan (Kiara) Riza Damanik, ada sejumlah factor yang menyebabkan rendahnya angka Produk Domestik Bruto (PDB) ini.Pertama, lemahnya harmonisasi antarlembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal dalam mengoptimalkan kepentingan Indonesia terhadap laut. Kedua, paradigma ekonomi kelautan yang masih berbasis pada ekspor komoditas non-olahan, seperti perikanan. Ketiga, besarnya toleransi yang diberikan kepada asing dalam mengelola serta memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.Ia mencontohkan, 99 persen investasi di sektor perikanan tahun 2012 merupakan Penanaman Modal Asing (PMA). 

Bahkan, kata dia, 99 persen ABK kapal ikan berbendera Indonesia (eks asing) yang beroperasi di Laut Natuna adalah ABK asing, bahkan bernakhoda asing. Keempat, lemahnya penegakan hukum di laut.“Dalam sejumlah peristiwa, pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan atas sepengetahuan menteri melepas kapal-kapal yang telah melakukan tindak pidanan perikanan, berupa pencurian ikan, transshipment, atau pelanggaran lainnya,” ungkapnya, Rabu.

Ia mengatakan, jika saja IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) fishing bisa dihentikan, lalu mengoptimalkan segenap potensi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor perikanan tangkap maka ada peluang kontribusi PNBP dari sektor perikanan sebesar Rp 50 triliun setiap tahunnya.Demikian juga, ujarnya, kalau ikan-ikan produksi dalam negeri tidak dijual ke negara lain secara gelondongan (non-olahan), tetapi diolah terlebih dahulu maka akan ada penambahan nilai ekonomi perikanan sekaligus memberi lapangan kerja.Faktor kelima, sambung dia, minimnya perlindungan terhadap hak-hak nelayan. Hal ini, lanjutnya, ditandai dengan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan nelayan dalam kegiatan perikanan. Pada saat yang sama, sektor perbankan belum berperan nyata dalam meringankan akses permodalan bagi nelayan maupun petambak.

Untuk itu, Riza menegaskan, ke depan hal pertama perlu dilakukan adalah mengembalikan kedaulatan RI terhadap laut. Kedua, memberantas seluruh praktik kejahatan perikanan di laut dan harus dipastikan tidak ada lagi ABK asing yang menguasai kapal-kapal penangkapan ikan Indonesia.Setelah itu, rombak paradigma perdagangan yang berbasis pada ekspor dan penjualan komoditas non-olahan. 

“Sebagai negara kepulauan yang besar, sewajarnya pasar potensial kita adalah kepulauan Indonesia itu sendiri, bukan justru di luar,” katanya.Memperkuat transportasi laut, kata Riza, menjadi sebuah keharusan, bukan pilihan. 

Hal ini juga akan menjadi instrumen yang memastikan terjadinya pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Terakhir, dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi penting sehingga perlu menyinergikan iptek untuk menjawab tantangan terkini di sektor kelautan dan perikanan.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan M Sharif C Sutardjo mengatakan berdasarkan tren sejak 2009 dan berbagai upaya yang dilakukan KKP selama satu tahun terakhir, laju pertumbuhan PDB perikanan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“Pertumbuhan PDB perikanan tersebut belum termasuk industri pengolahan di bidang perikanan,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SH, Rabu.Ia mencatat laju pertumbuhan PDB perikanan 2011-2012 (triwulan III) yaitu, pada 2011 sebesar 4,53 persen dan tahun 2012 sebesar 5,05 persen. Sementara, lanjutnya, target pertumbuhan PDB perikanan tahun 2012 sebesar 6,85 persen, tahun 2013 sebanyak 7,00 persen, dan 2014 sebesar 7,25 persen.Terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih rendah. 

Berdasarkan data BPS tahun 2012, sekitar 3,2 persen untuk raw materials dan 8 persen untuk material dan produk olahan.Dibandingkan dengan negara-negara perikanan utama lainnya, tambahnya, daya saing produk perikanan Indonesia relatif lemah. Pada 2011, nilai ekspor perikanan Indonesia sebesar US$ 3,5 miliar, sedangkan Vietnam mencapai US$ 6,2 miliar, dan Thailand sebesar US$ 8,5 miliar. 

Tidak ada komentar: