Oleh M Riza Damanik
Sesaat
setelah berakhirnya Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di
Vladivostok, Rusia, organisasi nelayan sekawasan Asia Pasifik bertemu di
Iloilo, Filipina, 19-21 September 2012.
Meski
tidak dirancang ”berhadap-hadapan”, kedua momentum ini memiliki
kedudukan penting dalam menyikapi perkembangan krisis global yang
berdampak hingga ke perkampungan nelayan.
Forum APEC menghasilkan optimisme di kalangan para pemimpin negara dalam
menghadapi krisis ekonomi global. Caranya, dengan melanjutkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dalam bingkai
investasi hijau.
Namun, forum nelayan bertajuk ”International
Fisheries Conference on Globalization” menemukan adanya kesamaan modus
pembangunan di kawasan Asia Pasifik, yakni pemerintahan di setiap negara
membajak pesan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan untuk
memarjinalkan kaum nelayan. Tidak terkecuali di Indonesia.
Kejahatan struktural
Dewasa
ini, hilangnya akses nelayan terhadap laut marak terjadi di sejumlah
negara. Kejahatan struktural terhadap nelayan ini dilakukan oleh
penyelenggara negara melalui instrumen negara yang sah, untuk
menghasilkan produk kebijakan yang pro-investasi. Praktik investasi atas
nama pembangunan ini selanjutnya merampas kekayaan sumber daya pesisir
dan laut dari keluarga nelayan (ocean- grabbing).
Satu dekade proyek reklamasi di Teluk Jakarta,
misalnya, telah menggusur sekurang-kurangnya 3.500 keluarga nelayan dari
ruang hidup dan penghidupannya di laut. Hal serupa terjadi di daerah
lain seiring dengan meluasnya bisnis pariwisata bahari berkedok
konservasi satwa ataupun habitat di sejumlah wilayah kepulauan
Indonesia.
Seperti di
Berau, Kalimantan Timur; Komodo, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa
kawasan wisata bahari lain, pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah
penangkapan ikan dan sanksi bagi nelayan lokal yang melanggar.
Sebaliknya, pemerintah memberikan akses pengelolaan laut yang luas bagi
pengusaha wisata dan turis asing.
Modus lainnya,
dengan membiarkan kapal-kapal ikan asing, termasuk anak buah kapal
asing, mendominasi pemanfaatan sumber daya ikan Indonesia. Pemerintah,
misalnya, mengizinkan perubahan peruntukan Teluk Senunu, Nusa Tenggara
Barat, dari sebelumnya tempat nelayan menangkap ikan menjadi tempat
menampung limbah tambang (tailing) PT Newmont Nusa Tenggara. Upaya
perampasan wilayah pesisir ini dimuluskan lewat instrumen hak
pengusahaan perairan pesisir (HP3) seperti tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Melalui
hak pengusahaan pesisir, perairan pesisir, mulai dari permukaan air,
kolom air, hingga dasar perairan, dapat dikelola oleh sektor swasta
hingga kurun waktu 60 tahun secara akumulatif. Tujuannya adalah
meningkatkan investasi pertambangan, pariwisata, serta perikanan di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Ini termasuk dengan
melibatkan investasi asing.
Pelapor
Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak atas Pangan Olivier De
Schutter, saat meluncurkan ”Laporan Perikanan dan Hak atas Pangan”
(30/10/2012), menyebut praktik perampasan sumber daya pesisir dan laut
melalui berbagai kebijakan yang curang telah menjadi ancaman serius
terhadap pemenuhan hak rakyat atas pangan, sebagaimana halnya seriusnya
ancaman perampasan tanah (land-grabbing) terhadap ketersediaan pangan
dunia.
Kehendak konstitusi
Saat
menghadiri konferensi nelayan se-Asia Pasifik, September lalu, saya
menyampaikan apa yang sedang dan telah dihasilkan dari perjuangan
gerakan nelayan di Indonesia. Salah satunya adalah dibatalkannya HP3
oleh Mahkamah Konstitusi pada 16 Juni 2011. Keputusan Mahkamah
Konstitusi telah memunculkan harapan baru bagi keluarga nelayan
Indonesia untuk hidup lebih baik dibandingkan dengan komunitas nelayan
lain di kawasan Asia Pasifik.
Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya menjabarkan adanya hak konstitusional
nelayan dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Hak-hak itu adalah hak untuk melintasi perairan, hak
untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut sesuai tradisi yang
dijalankan, hak untuk memanfaatkan sumber daya, termasuk hak untuk
mendapatkan lingkungan perairan yang bersih dan sehat.
Pada
ranah internasional, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga tengah
mengembangkan instrumen perlindungan nelayan. Mereka menyebutnya
International Guidelines on Small Scale Fisheries. Di Indonesia,
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, dan
Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia terlibat aktif dalam proses
pemantapan substansinya. Bila sesuai rencana, pada 2014 instrumen ini
efektif diadopsi oleh tiap-tiap negara.
Kini,
instrumen perlindungan nelayan di tingkat nasional hingga internasional
kian saling melengkapi. Sesuai dengan kehendak konstitusi, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dapat memanfaatkan peluang ini untuk mengatasi
ketertinggalannya memulihkan hak-hak nelayan Indonesia.
M Riza DamanikSekretaris Jenderal Kiara; Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar