Kebijakan
ekonomi perikanan sampai saat ini belum menemukan suatu konsep yang
benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan
negara.
Menurut
catatan penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari
Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan
dan Blue Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan
asing, terutama dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber
daya ikan yang berkualitas tinggi.
Hal
ini tercermin dari target indikator kinerja utama Kementerian Kelautan
dan Perikanan yang mengedepankan peningkatan volume ekspor ikan dan
produk perikanan, dibandingkan perbaikan dan peningkatan pasar dalam
negeri. Lebih prihatin lagi, pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan
negara-negara maju tersebut difasilitasi dengan BBM bersubsidi.
Penggunaan
BBM bersubsidi untuk usaha perikanan saat ini diatur dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual
Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Dalam
lampiran perpres tersebut dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk
yang memiliki yang dimaksud dengan usaha perikanan tersebut adalah (a)
Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30
GT dan diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima)
kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang
menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan
diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima)
kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan; (c) Pembudi daya-ikan
kecil yang menggunakan sarana pembudidayaan ikan untuk operasional
perbenihan dan pembesaran.
Tingginya
kepentingan asing di sektor perikanan tercermin juga dari tingginya
nilai investasi asing di sektor kelautan dan perikanan. Data Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2
2012, investasi sektor perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan, dalam dua tahun
terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan mencapai di
atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan kapal-kapal
perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut semuanya
berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa menikmati
BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Subsidi
perikanan (BBM, pakan, kapal, dll) sampai saat ini penulis masih
memandang sangat diperlukan untuk mendukung usaha perikanan nasional,
khususnya usaha perikanan kecil dan menengah (UMKM Perikanan).
Dengan
adanya subsidi perikanan tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan
oleh subsidi perikanan tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan
dinikmati masyarakat Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan
kualitas baik dengan harga subsidi.
Namun
demikian, yang terjadi sampai saat ini ikan-ikan hasil tangkapan
nelayan dan perusahaan perikanan skala industri yang telah memanfaatkan
BBM bersubsidi sebagian besar diekspor ke pasar-pasar negara maju,
seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan
kualitas 1 dan 2.
Hasil
survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan
menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke
Jepang, Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan
asin rata-rata untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya
bahwa selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam
menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan uang
rakyat.
Peningkatan Gizi Rakyat
Polanco
(2012) menyatakan bahwa konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari
pendapatan yang dapat dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya
pendapatan atau menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif
terhadap peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran subsidi perikanan
adalah untuk menurunkan biaya produksi yang harus ditanggung para
nelayan dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan perikanan
60-70 persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.
Dengan
demikian, seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang
dihasilkan kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam
negeri dengan harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran
subsidi BBM tersebut berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya
juga ikan hasil produksinya dinikmati rakyat Indonesia.
Selain
itu, ketersediaan ikan subsidi berkualitas baik tersebut diperlukan
guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang saat ini
kondisi gizinya sangat mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di
sentra-sentra produksi ikan.
Dokumen
Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang kekurangan gizi masih
sangat tinggi, terutama di provinsi-provinsi berbasis sektor kelautan
dan perikanan.
Misalnya
Maluku (27,8 persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur
(33,6 persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara
(27,6 persen), Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo
(25,4 persen), Riau (21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen), dan
Kalimantan Timur (19,3 persen).
Berdasarkan
kondisi tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi
perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu pertama
reorientasi kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan volume ekspor
ikan (growth) ke penurun volume ekspor (degrowth).
Hal
ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara tegas
menyatakan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar
negeri (ekspor) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri
telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Kedua,
pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas terkait siapa saja yang
dapat memanfaatkan BBM bersubsidi di sektor perikanan. Industri
perikanan yang akan memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota
kesepahaman agar ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen
untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Industri
perikanan nasional harus didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan
ikan-ikan berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau.
Sementara itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100
persen menggunakan BBM bersubsidi.
Ketiga,
tindak tegas para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade
(2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari
Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna
Albacore secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan
tuna Albacore Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419 kg dengan
nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara
itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke Thailand
semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna
Albacore Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore ilegal
dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724
kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.
Jadi,
pemerintah perlu menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan
rakyat dan masa depan bangsa melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan
Gerakan Makan Ikan Segar Produksi Dalam Negeri.
*Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim. (Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar