Jakarta, Kompas - Pembabatan mangrove berdampak serius bagi perubahan
lingkungan, terutama di pulau kecil berekosistem sangat rapuh. Perubahan
itu bisa berupa abrasi, intrusi air laut, hingga menipisnya tangkapan
ikan, udang, dan kepiting yang memiskinkan warga.
Berdasarkan penelitian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara),
perusakan mangrove berpotensi memiskinkan warga. ”Hitungan kami, setiap
penghancuran mangrove 1 hektar berpo- tensi merugikan nelayan perikanan
Rp 90 juta per tahun,” kata Abdul Halim, Manajer Program Kiara, di
Jakarta, Kamis (22/11).
Ekologi di pulau-pulau kecil yang rusak juga sulit dipulihkan, seperti
di Pulau Rewataya, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tahun 1980-an,
ada pembabatan besar-besaran mangrove di pulau seluas 20 km persegi ini
untuk dijadikan tambak udang.
Mangrove menghilang, pulau kecil sekitar 1,5 jam perjalanan dari
Makassar ini mengalami berbagai masalah lingkungan. ”Dulu di pulau ini
ada sumber air tawar, sekarang tak ada lagi,” kata Daeng Ngila, warga
Kalukuang, Pulau Rewataya. ”Saat pasang, ombak mencapai rumah hingga
selutut. Dulu tak pernah.”
Hilangnya mangrove juga mengakibatkan abrasi dan intrusi air laut ke
daratan. ”Tanaman kelapa dan pisang sekarang tak bisa tumbuh,” kata
Murniati, guru SD di Rewataya. Enam tahun lalu, ia mengajak warga,
khususnya anak didiknya, menanam mangrove.
Menurut Ngila, tangkapan nelayan kian sulit. ”Ikan, kepiting, cumi, dan
udang semakin sulit didapat sejak bakau hilang,” katanya. Nelayan di
pulau ini kini membudidayakan rumput laut.
Kerugian ekonomi
Menurut
Halim, kerugian ekonomi nelayan bisa dihitung dari potensi perikanan
yang bisa ditangkap nelayan jika hutan mangrove lestari. ”Kini, nelayan
harus melaut lebih jauh sehingga butuh biaya produksi tambahan,”
katanya.
Halim mengatakan, hingga saat ini konversi hutan mangrove menjadi
kawasan komersial terus terjadi meskipun dampak negatifnya tak
terbantahkan. Data Kiara, saat ini terjadi reklamasi pantai di 10
wilayah yang berpotensi merusak ekosistem mangrove lebih 5.775 hektar.
Terjadi pula konversi hutan bakau 400.000 hektar menjadi perkebunan
kelapa sawit secara masif, di antaranya di Sumatera dan Kalimantan.
(AIK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar