17 September, 2012

PENTINGNYA PENGELOLAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan Banten saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat seperti minyak dan gas bumi serta mineral-mineral tertentu, semakin berkurang akibat eksploitasi yang berlangsung sejak lama.

Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.

Propinsi Banten yang terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, mempunyai 78 pulau-pulau (termasuk Kep.Seribu di Kab. Tangerang), diperkirakan 1/3 bagian wilayahnya terdiri dari lautan dengan luas perairan Propinsi Banten sekitar 11.134,224 km2 dengan panjang pantai sekitar 501 km.

Posisi garis pantai Banten dapat digambarkan sebagai berikut : bagian barat yang menghadap Selat Sunda adalah Kabupaten Pandeglang dengan panjang pantai sekitar 182,8 km, dan yang menghadap Samudera Indonesia sekitar 47,2 km, Kabupaten Serang dengan panjang pantai sekitar 75 km menghadap Laut Jawa dan sekitar 45 km menghadap Selat Sunda, Kabupaten Lebak yang memiliki panjang pantai sekitar 75 km menghadap Samudera Indonesia, Kabupaten Tangerang mempunyai panjang pantai 51 km yang menghadap Laut Jawa dan Kota Cilegon mempunyai panjang pantai sekitar 25 km menghadap Selat Sunda sedangkan satu kota yaitu Kota Tangerang yang tidak mempunyai panjang pantai.

Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Banten tersebut antara lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti mangrove (hutan bakau), terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam (yang masih dalam penelitian) termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Disamping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Propinsi Banten memiliki harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam pada masa lalu, selain itu juga wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan kenyamanan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata.

Dengan karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta pendekatan pembangunnan secara hati-hati.

Pada sisi lain, luasnya sumberdaya lautan dan pesisir menimbulkan permasalahan, berupa ketidak terpaduan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan / memicu konflik antar kepentingan sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.

Permasalahan lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan masyarakat pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan lemahnya penegakan hukum.
Untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang pesisir dan lautan.

Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.

2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.

3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.

Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.

4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
- Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
- Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil.
- Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.

5. Penentuan Sektor Unggulan
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.

6. Penentuan Struktur Tata Ruang
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.

7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.

8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St = Vt x t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut

9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.

Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.

Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
- Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
- Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
- Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
- Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
- Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.***

Tidak ada komentar: