Sesungguhnya tidak tepat menamakan planet ini bumi sedangkan jelas terlihat bahwa ia adalah lautan (Arthur C. Clarke)
Perubahan
iklim jelas bukan isu global yang terjadi baru-baru ini. Cuaca tak
tentu dan bergesernya siklus iklim hanyalah segelintir kecil ciri fisik
yang terlihat. Melalui maraknya pemberitaan, saya yakin banyak pula di
antara kita yang sudah tak lagi awam dengan penyebab perubahan iklim.
Perubahan
Iklim antropogenik disebabkan oleh peningkatan kadar gas-gas rumah kaca
dan partikel-partikel di atmosfir. Penyebab utamanya adalah pembakaran
bahan bakar fosil yang melepaskan gas-gas karbondioksida (karbon coklat)
dan partikel-partikel abu (sebagian karbon hitam).
Penyebab
kedua adalah emisi (pelepasan) akibat pembukaan lahan atau pembabatan
vegetasi alami, kebakaran hutan, serta emisi dari aktivitas pertanian
termasuk peternakan. Penyebab ketiga adalah penurunan kemampuan
ekosistem alami untuk menyerap, mengikat dan menyimpan karbon melalui
proses fotosintesis yang disebut sebagai karbon hijau.
Terkait
dengan penyebab terakhir, nampaknya ada satu hal yang selalu luput dari
pengamatan kita padahal perannya sangat nyata. Ia adalah karbon biru (blue carbon). Karbon Biru adalah karbon yang diserap ekositem pantai dan laut dan mencakup lebih dari 55% karbon hijau sedunia!
Sang
penyerap karbon biru adalah ekosistem mangrove, rawa payau dan padang
lamun. Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut
ini tersimpan dalam bentuk sedimen. Karbon tersebut dapat tertimbun
tidak hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun (seperti halnya
karbon di ekosistem hutan) tetapi selama ribuan tahun.
Habitat
pesisir yang ditumbuhi vegetasi hutan mangrove, rawa payau dan padang
lamun ini memiliki banyak kemiripan dengan hutan hujan tropis yakni
sebagai biodiversity hot spots atau pusat-pusat keragaman
hayati sekaligus penyedia fungsi ekosistem yang sangat penting termasuk
penyerap karbon berkapasitas tinggi.
Hanya sebagian karbon
yang tersimpan secara permanen di lingkungan laut karena sebagian besar
karbon mengikuti siklus daur dan hanya terlepas setelah puluhan tahun.
Saat ini, ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara dengan
sekitar 25% peningkatan tahunan karbon atmosfer yakni sebesar sekitar
2.000 Tera (10¹²) Gram Karbon per tahun.
Habitat pesisir
terbukti dapat mengembalikan areal ekosistem karbon biru yang telah
hilang, terutama dari aspek ekologi. Pemulihan tersebut dapat
mengembalikan jasa-jasa penting seperti kemampuan untuk meningkatkan
kadar oksigen terlarut dalam perairan pesisir, membantu memulihkan stok
ikan global serta melindungi pesisir dari badai bencana cuaca ekstrim.
Saat
bersamaan, habitat pesisir pun dapat menghentikan penyusutan dan
degradasi penyerap karbon alami penting sehingga berkontribusi terhadap
emisi karbondioksida dan mitigasi perubahan iklim dalam jangka panjang.
Ekosistem
penyerap karbon biru ini sesungguhnya terletak di sepanjang pesisir
semua benua kecuali Antartika. Artinya, negara di seluruh penjuru dunia
terutama yang memiliki perairan dangkal relatif luas, berpeluang
mengeksplorasi mitigasi emisi karbondioksida melalui upaya perlindungan
dan pemulihan ekosistem penyerap karbon biru yang dimilikinya
Dengan demikian, perluasan ekosistem karbon biru merupakan strategi win-win setara
dengan strategi untuk melindungi dan memulihkan kapasitas penyerapan
karbon pada hutan hujan tropis yang dapat membantu negara memenuhi
komitmen Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman
Hayati dan Perubahan Iklim. Sayangnya, dalam dua puluh tahun ke depan
sebagian besar ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon sinks)
diperkirakan akan musnah sehingga kemampuan tahunan untuk mengikat
karbon akan menurun. Untuk mempertahankan situasi saat ini, butuh
pengurangan emisi sebesar 4-8% sebelum tahun 2030 atau 10% sebelum tahun
2050.
Ya, bertentangan dengan manfaatnya yang maha
penting, habitat pesisir tersebut ironisnya justru mengalami laju
kehilangan tajam berskala global. Habitat ini mengalami degradasi dengan
laju kerusakan sekitar 5-10 kali lipat dibanding laju kerusakan hutan
tropis.
Degradasi mungkin disebabkan minimnya “kharisma”
habitat tersebut karena letaknya yang lebih sering berada di bawah
permukaan air atau di luar pandangan manusia. Di mata masyarakat,
habitat ini belum memiliki daya tarik yang sebanding dengan ekosistem
setara dengannya di daratan. Penyebab lain adalah kerusakan habitat
bervegetasi di wilayah pesisir sejak 1940-an.
Pencegahan
degradasi ekosistem penyerap karbon hijau dan biru dapat memberi dampak
positif berupa pengurangan 1-2 kali volum emisi seluruh transportasi
global serta memberi manfaat tambahan bagi keanekaragaman hayati,
ketahanan pangan, mata pencaharian, obyek wisata, penelitian ilmiah dan
sumber daya mineral.
Dengan kata lain, pencegahan
kehilangan penyerap karbon biru di lingkungan laut akan memberi
kontribusi nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim dibandingkan
dengan pencegahan penebangan hutan tropis.
Perlindungan
tersebut antara lain mencakup penetapan pengaturan: reklamasi pantai,
penebangan hutan bakau, penggunaan pupuk, pembuangan limbah organik,
penebangan hutan di darat, perikanan serta penetapan garis pesisir.
Peningkatan ketahanan (resilience)
masyarakat pesisir maupun komunitas biota ekosistem pesisir dan laut
jelas menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan peran
lingkungan laut sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Ada beberapa opsi agar upaya pemulihan penyerap karbon biru yang krusial ini dapat berjalan.
Pertama,
memperjuangkan adanya dana karbon biru dalam negosiasi iklim PBB untuk
perlindungan serta pengelolaan pesisir dan ekosistem laut.
Kedua, segera melindungi setidaknya 80% luas padang lamun, rawa payau dan hutan mangrove melalui pengelolaan yang efektif.
Ketiga, memulai latihan pengelolaan sehingga mengurangi ancaman dan mendukung potensi pemulihan penyerap karbon biru.
Keempat,
menjaga ketahanan pangan dan mata pencaharian berbasis ekosistem
terpadu untuk meningkatkan ketahanan manusia dan sistem alam terhadap
perubahan. Terakhir adalah mengimplementasikan strategi saling
menguntungkan pada sektor berbasis sumber daya laut.
Beberapa
langkah semacam ini jelas amat dibutuhkan mengingat dampak yang sudah
mulai terjadi di lingkungan laut akibat proses perubahan iklim termasuk
naiknya muka air laut, pengasaman air laut, peningkatan frekuensi dan
intensitas cuaca ekstrim dan penurunan sumber daya perikanan.
Ingatlah
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang didominasi
lautan. Dengan luas ekosistem padang lamun sekitar 3,30 juta hektar dan
luas ekosistem mangrove adalah 3,15 juta hektar, kemampuan ekosistem
padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun
dan potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta
ton/tahun.
Karbon biru dapat berperan mengurangi emisi
karbon sebesar 139,77 juta ton karbon/tahun. Angka ini dapat terus
bertambah jika lahan-lahan yag kurang atau tidak efektif pengunaanya
seperti lahan tambak yang tidak digunakan lagi dialihkan atau ditanami
mangrove.
Langkah lain adalah meningkatkan jumlah lahan
budidaya rumput laut karena sejauh ini lahan budidaya yang termanfaatkan
hanya sekitar 20% dari luas lahan yang ada di Indonesia. Mulailah
peduli pada peran penting Sang Penyerap Karbon Biru demi masa depan bumi
kita yang lebih baik.
* * * * * *
** Artikel ini di tulis oleh Dr. Agus Supangat
Penulis
adalah peneliti di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan menjabat
sebagai Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Riset dan Pengembangan
di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar