Oleh
Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan Perikanan
Kapal Ikan berbendera Indonesia khususnya kapal
eks asing yang memperoleh izin resmi dari KKP (Kementrian Kelautan dan
Perikanan) diperkirakan lebih dari 1000 kapal (data terkini belum dirilis
secara resmi). Keberadaan kapal eks asing tersebut sudah berlangsung lama sejak
1970 an, berkaitan dengan dibukanya perairan Indonesia untuk penangkapan ikan
oleh perusahaan asing yang melakukan Joint Venture, terutama perusahaan Jepang
dan Taiwan di Laut Arafura. Seiring berjalannya waktu, perubahan
peraturan perundangan, kebijakan dan berkembangnya industri perikanan, jumlah
kapal eks asing yang beralih ke bendera Indonesia justru makin meningkat dan
secara proporsional jumlah ABK asing makin meningkat pula. Pertanyaanya tentu
kenapa? Bagaimana dengan Armada kapal ikan nasional asli bangsa Indonesia?.
Apa dampaknya bagi usaha perikanan Indonesia?.
Keberadaan kapal ikan eks asing yang beralih ke bendera Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama,
fishing ground di negara-negara asal sudah habis ikannya, sementara mereka
harus memenuhi pasokan ikan laut untuk konsumsi sendiri atau diolah di
pabrik untuk ekspor, sehingga mendorong untuk menangkap ikan di negara
lain yang masih potensial, perairan Indonesia menjadi tujuan utama.
Kedua,
adanya insentif ekonomi, dalam arti, biaya total penangkapan ikan
di Indonesia masih lebih rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Dengan
kata lain laba marjinal masih cukup tinggi dan menarik bagi perusahaan ikan
asing, mengingat adanya disparitas harga ikan di negara asal dengan harga di
Indonesia. Rata-rata harga ikan tersebut minimal 2 kali dibandingkan dengan
harga di Indonesia.
Ketiga,
banyaknya loop holes (celah) dari peraturan di tingkat pelaksanaan (Permen
dan SK Dirjen) yang memudahkan kapal-kapal asing beralih ke bendera
Indonesia. Dengan kata lain kebijakan tidak tegas dan tidak berpihak kepada
kapal asli Indonesia. Sebagai contoh, banyaknya kapal eks asing beroperasi dan
diberikan izin dengan pola keagenan padahal tidak punya industri pengolahan,
hal ini akan mematikan perusahaan yang memiliki industri pengolahan.
Masih banyaknya ABK asing di kapal eks asing yang sudah
beralih ke bendera Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, kapal
eks asing tersebut tetap memerlukan ABK asing terutama personel kunci
seperti Nakhoda, KKM dan Fishing Master, karena sejatinya kapal tersebut masih
dimiliki Perusahaan asing, semua proses dokumen peralihan hanyalah formalitas
saja.
Kedua,
alasan teknis operasional, karena kapal eks asing memiliki teknologi berbeda
dan memiliki produktivitas lebih tinggi, sehingga jika diawaki oleh ABK
Indonesia akan merugikan perusahaan.
Ketiga,
mudahnya manipulasi data keberadaan ABK asing di kapal oleh Perusahaan, contoh
kasus terbanyak adalah nama Nakhoda yang tercantum di SIPI (Surat Izin
Penangkapan Ikan) adalah orang Indonesia tetapi faktanya orang tersebut di
kapal hanya pelayan dan Nakhoda aslinya orang asing. Hal ini terjadi karena
proses penanda tanganan SIPI tidak didahului dengan pemeriksaan secara seksama
di lapangan dan penindakan hukum kurang tegas.
Apabila dilihat dari perspektif peraturan perundangan, pada
tataran Undang-Undang Perikanan baik nomor 31 tahun 2004 maupun amandemen UU
nomor 45 tahun 2009, semangat nasionalisasi industri perikanan dan usaha
penangkapan sangat jelas.
Salah satu contoh adalah pasal 35A UU no 45
tahun 2009 yang berbunyi “Kapal perikanan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI wajib
menggunakan Nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia”.
UU ini dimasukkan dalam lembaran negara pada akhir tahun
2009, namun dalam waktu yang cepat dikeluarkan SE (Surat Edaran) Menteri KKP
nomor SE.146/MEN.KP/111/2010 tanggal 10 Maret 2010 tentang penggunaan tenaga
kerja asing bagi kapal ikan berbendera Indonesia, yang isinya membolehkan
keberadaan ABK asing dengan rekomendasi Dirjen dengan batas waktu yang tidak
jelas. Artinya SE tersebut bertentangan dengan UU, berarti batal demi hukum,
karena pasal 35A UU tersebut beralaku efektif sejak ditandatangani.
Seyogyanya kalau toh diberlakukan masa transisi, maka SE
Menteri seharusnya berisi tahap masa transisi selama waktu tertentu misalnya
satu tahun agar UU tsb dilaksankan penuh, bukan malah isinya membatalkan
pemberlakuan UU. Membandingkan dengan UU no 17 tahun 2007 tentang pelayaran,
terlihat UU Pelayaran sangat konsisten dengan azas Cabotage terutama tidak ada
toleransi ABK asing di atas kapal bendera Indonesia. Jika mengacu kepada
Kebijakan Presiden tentang pro-job seharusnya semua ABK kapal ikan harus
WNI karena potensi penyerapan tenaga kerja di sektor ini cukup besar. Bayangkan
jika rata-rata ABK asing di kapal tersebut 5 orang maka di dalam seribu kapal
ada peluang tenaga kerja Indonesia 5000 orang.
Sungguh suatu ironi manakala masih diizinkan ABK asing di
kapal ikan berbendera Indonesia, karena justru banyak sekali pelaut Indonesia
di kapal Ikan berbendera asing di Taiwan, Korsel, Spanyol yang menangkap ikan
di berbagai perairan Eropa dan Afrika dan mereka adalah lulusan
pendidikan perikanan Indonesia seperti STP, SUPM Tegal, Akademi Perikanan
Sorong, Bitung. APBN untuk mendidik mereka melalui Badan Pengembangan SDM di
KKP cukup besar, tetapi tidak ditampung maksimal di kapal ikan berbendera
Indonesia, justru diisi oleh ABK asing.
Ada beberapa dampak negatif keberadaan ABK asing di kapal
ikan berbendera Indonesia, antara lain:
Pertama,
mendorong terjadinya kegiatan Illegal fishing, terutama pelanggaran alat
tangkap misalnya penggunaan jaring Pukat (Trawl), pelanggaran fishing
ground, transhipment (pemindahan ikan) di laut, tidak melaporkan hasil
tangkapan atau mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan, pembelian BBM di laut
secara illegal. Keberadaan ABK asing yang dominan di kapal terutama personel
kunci, akan membuat kapal beroperasi seeanaknya melanggar aturan, termasuk merusak
kelestarian.
Kedua,
merugikan secara sosial dan ekonomis karena tenaga kerja yang seharusnya
diawaki oleh ABK Indonesia diisi orang asing, berarti kehilangan pendapatan
dari tenaga kerja dan mengurangi peluang penyerapan tenaga kerja Indonesia,
padahal tenaga ABK kapal ikan tersedia melimpah.
Ketiga,
bertentangan dengan semangat nasionalisme dan kedaulatan ekonomi, karena
Presiden SBY sudah menetapkan kebijakan pro-job dan menekankan perlunya
pengawakan kapal ikan oleh bangsa sendiri, sebagaimana disampaikan dalam pidato
pada acara puncak Sail Banda di Ambon tahun lalu.
Keempat,
banyaknya kapal eks asing dan ABK asing makin memperpuruk masa depan perikanan
Indonesia, dimana industri pengolahan ikan makin tidak berdaya. Terjadi
paradoks dimana dalam waktu yang sama KKP menetapkan kebijakan pengadaan 1000
kapal bantuan bagi nelayan, sementara keberadaan kapal eks asing masih marak,
akan terjadi perebutan fishing ground dan konflik di laut.
Solusi agar usaha perikanan ke depan membaik dan terjadi
industrialisasi nasional, tidak lain adalah secara tegas hentikan pengoperasian
kapal eks asing dan laksanakan UU no 45 tahun 2009 tentang kewajiban ABK
Indonesia di kapal ikan berbendera Indonesia. Kapan lagi kita berpihak kepada
kemampuan bangsa sendiri dan percaya diri untuk nasionalisasi industri
perikanan kalau tidak sekarang?.
Sumber Majalah Samudra
Sumber Majalah Samudra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar