Jakarta, Kompas - Masalah
pengamanan perairan harus menjadi perhatian pemerintah. Konflik
perbatasan dan kasus pencurian ikan diyakini masih terus berlangsung
selama tidak ada kejelasan penentuan batas wilayah dengan negara
tetangga.
Pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal, saat
dihubungi di Jakarta, Senin (30/4), menegaskan, Indonesia selama puluhan
tahun menghadapi persoalan batas perairan terkait zona ekonomi
eksklusif dengan tiga negara tetangga, yakni Malaysia, Filipina, dan
Vietnam. Penentuan batas wilayah yang tidak jelas terus memicu konflik.
Pada
27 Januari 2012, Indonesia-Malaysia menandatangani nota kesepahaman
mengenai Panduan Umum Penanganan Nelayan oleh Badan Penegakan Hukum
Malaysia dan Indonesia. Kedua negara sepakat untuk tidak akan menangkap
nelayan yang memasuki wilayah perbatasan negara lain. Sanksi bagi
nelayan yang dianggap melanggar cukup dengan diusir.
Hasyim
menilai, kesepakatan itu harus dipantau dampaknya bagi Indonesia.
Pasalnya, selama ini lebih banyak kapal ikan Malaysia yang masuk ke
wilayah Indonesia. Jika tidak disertai pengawasan yang maksimal, peluang
penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia akan terus berlangsung.
Di
tengah lambannya penentuan batas perairan, upaya menjaga keamanan laut
harus didorong melalui penguatan pengawasan, peningkatan peralatan,
teknologi, anggaran, dan penegakan hukum.
”Laut Indonesia sangat luas, tetapi kemampuan pengawasan tidak sebanding,” ujarnya.
Pemberdayaan nelayan
Sementara
itu, pemberdayaan nelayan Tanah Air diperlukan untuk turut berperan
menjaga perairan. Di antaranya, melengkapi kapal dengan alat komunikasi,
sistem monitor kapal (VMS) agar nelayan bisa melaporkan jika ada dugaan
pencurian ikan.
”Kalau nelayan tidak punya alat, tidak mungkin mengharapkan nelayan meningkatkan pengawasan,” ujar Hasyim.
Sejak
awal 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memeriksa
1.150 kapal serta menangkap 39 kapal ikan ilegal. Dari 39 kapal
tersebut, 28 kapal berbendera asing dan 11 kapal berbendera Indonesia.
Menurut
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP
Syahrin Abdurrahman, anak buah kapal ikan asing ilegal kerap
dipulangkan ke negaranya karena minimnya kapasitas tampung pangkalan
pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.
Pelaksana Tugas
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim
mengemukakan, koordinasi lintas pemerintah untuk pengawasan perikanan
masih lemah. Ini diperburuk dengan minimnya armada, tertinggalnya
teknologi pengawasan, anggaran, dan sumber daya manusia yang belum
memadai.
”Ironisnya, pengawasan seringkali baru diterapkan
setelah aparat menerima laporan dari nelayan tentang dugaan pencurian
ikan,” ujar Halim.
Halim mengingatkan, potensi kerugian negara akibat pencurian ikan mencapai Rp 30 triliun.
Kebijakan
KKP yang mengurangi alokasi anggaran untuk pengawasan perikanan harus
kembali ditinjau. Selain itu, perlu penambahan hari pengawasan untuk
wilayah yang rawan pencurian ikan, seperti Laut Natuna, Laut Sulawesi
Utara, dan Laut Arafura. Waktu pengawasan di laut masih minim, yaitu
rata- rata hanya 180 hari per tahun. (LKT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar