Matahari
bersinar terik ketika perahu Akong (44) mendekati bibir Pantai Tanjung
Pesona di kawasan pesisir timur Pulau Bangka. Dua kotak penampung
tangkapan ikan ia turunkan. Kotak yang satu isinya tak penuh. Ia lalu
membuka kotak yang satunya lagi. ”Kosong,” kata Akong seraya tertawa,
seolah menertawakan kesialannya yang terus berulang.
Hari
itu, setelah melaut dari subuh hingga tengah hari, Akong, nelayan
keturunan Tionghoa dari Desa Teluk Uber, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten
Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel), itu hanya bisa membawa pulang
4 kilogram (kg) ikan. Jika dijual ikan ini laku Rp 88.000. Setelah
dikurangi modal, pendapatan bersihnya hari itu tinggal Rp 60.000.
”Sekarang ini hasilnya hanya segini ini tiap hari. Untuk makan saja kadang kurang,” katanya, akhir Februari lalu.
Sejak
tiga tahun terakhir Akong mengaku semakin susah mencari ikan di laut
timur Bangka. Padahal dulu, ikan begitu mudah diperoleh di perairan itu.
Akhir-akhir ini ikan-ikan di perairan itu seolah menjauh, bahkan
beberapa jenis ikan menghilang seiring beroperasinya tambang-tambang
timah lepas pantai di kawasan itu.
Akhir-akhir ini Akong tak
pernah lagi membawa pulang hasil yang memuaskan. Dulu cukup melaut
dengan jarak 3-4 mil, dalam sehari hasil tangkapan Akong bisa mencapai
10 kg ikan. Saat ini tangkapannya rata-rata hanya 4 kg per hari. Itu pun
harus melaut dengan jarak lebih jauh yaitu sekitar 7-10 mil.
Jarak
melaut yang kian jauh itu membuat modal melaut melambung sehingga makin
mengurangi pendapatan. Kebutuhan bensin bertambah dari 3 liter menjadi 5
liter untuk sekali melaut. ”Ikan-ikan itu sepertinya berenang makin
jauh saja sekarang ini. Mungkin karena pantai di sini keruh,” tuturnya.
Limbah
Siang itu, dari Tanjung Pesona terlihat tiga kapal isap dan
belasan ponton tambang inkonvensional (TI) tak henti mengeruk laut dari
pagi hingga sore. Dari ekornya keluar limbah buangan (tailing) berupa
pasir dan lumpur menyembur tanpa henti. Ini membuat air laut di
sekelilingnya keruh. Para
nelayan menduga keruhnya air laut tersebut
membuat ikan-ikan menjauh.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Babel, Ratno Budi, selama periode tahun
2006-2011 terhitung 73 unit kapal isap beroperasi di sekitar Pulau
Bangka yang menghasilkan limbah sedimentasi sebanyak 150 meter kubik per
jam atau 70 juta meter kubik sedimentasi dalam setahun.
Penelitian
peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, Indra
Ambalikasyari, juga menunjukkan kerusakan lingkungan di laut timur
Bangka. Dari 30 titik terumbu karang yang ia teliti antara tahun
2007-2011, sebanyak 17 titik di antaranya rusak. Di Kabupaten Bangka
Barat kerusakan terumbu karang mencapai 83,33 persen, di Kabupaten
Bangka kerusakan mencapai 75 persen, di Bangka Selatan kerusakan
mencapai 50 persen, dan di Bangka Tengah 22,22 persen.
Di beberapa
titik, terumbu karang ditemukan tertutup lumpur atau slim dari endapan
limbah buangan tambang timah. Padahal, terumbu karang merupakan habitat
dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan.
Menurut Indra,
penambangan timah lepas pantai di sekitar Pulau Bangka hanya
menguntungkan sebagian kecil orang bermodal. ”Penataan kawasan mendesak
dilakukan. Seharusnya ditentukan kawasan yang boleh dan terlarang untuk
ditambang,” katanya.
Paceklik kian mencekik
Seiring
menurunnya hasil tangkapan, kesejahteraan para nelayan Tanjung Pesona
kian merosot. Cau Ku (47), nelayan lain dari Desa Teluk Uber juga
menuturkan saat ini terpaksa berutang untuk mencukupi kebutuhan harian.
Padahal tiga anaknya yang bersekolah di bangku SMP dan SMA membutuhkan
biaya sekolah yang tidak sedikit. ”Utang saya di toko tetangga sekarang
ini sudah Rp 1 juta. Itu hanya untuk beli beras dan gula saja,” katanya.
Gelombang
tinggi dan angin kencang yang terjadi di bulan-bulan terakhir tahun
2011 lalu makin melengkapi penderitaan nelayan Tanjung Pesona. Padahal,
dulunya bulan-bulan tersebut merupakan musim panen udang dan kepiting
yang harganya tinggi di pasaran. Kini, udang menghilang, sementara
kepiting tinggal separuhnya.
”Lihat ini, jaring-jaring udang
sekarang nganggur, sudah lama tak terpakai,” kata Rosihan (48), salah
satu nelayan yang dituakan di Tanjung Pesona.
Kondisi ini makin
terasa sejak dua tiga tahun terakhir. ”Dulu udang dan kepiting terbawa
gelombang sampai pantai sehingga cukup ditangkap dengan jala yang
dipasang di sepanjang garis pantai,” tuturnya.
Atas penurunan
hasil tangkap, dalam setahun terakhir nelayan Tanjung Pesona mengaku
menerima semacam kompensasi dari pengelola kapal isap. Kompensasi berupa
dana tunai sebesar Rp 300.000 yang disalurkan tiga bulan sekali melalui
kelompok nelayan di daerah tersebut. Namun sampai kapan kompensasi
tersebut diberikan, para nelayan tidak tahu. ”Lagi pula uang sejumlah
itu sekarang ini apa artinya. Untuk kebutuhan sebulan tak akan cukup,”
tambah Rosihan.
Nelayan Tanjung Pesona pantas marah, karena selama
lima tahun terakhir laut yang secara turun temurun menjadi sumber
nafkah keluarga mereka, kini tak lagi memberi hasil. Padahal hingga
tahun 2009, tercatat 3.026 nelayan di Kabupaten Bangka. Mereka terdiri
dari nelayan jaring, nelayan pancing, dan nelayan bagan (rumah laut).
Cau Ku dan Akong, misalnya, merupakan generasi ketiga yang menjadi nelayan pancing di daerah itu.
Sebagian
nelayan memilih bertahan, namun tak sedikit nelayan yang akhirnya
menyerah dan beralih menjadi petambang timah demi pendapatan lebih
besar.
Wisata lesu
Tak
hanya berdampak pada sektor perikanan, sektor pariwisata di Pantai
Tanjung Pesona juga kian lesu. Gangguan suara mesin tambang yang bising,
asap hitam dari kapal-kapal yang menodai langit biru, serta keruhnya
laut dikeluhkan sejumlah wisatawan.
Karyawan Tanjung Pesona Beach
and Resort, Tomo (44), mengatakan, selama dua tahun terakhir jumlah tamu
merosot sampai 40 persen. ”Kunjungan wisatawan asing pun sekarang tak
pernah ada lagi,” katanya.
Pantai yang berpasir putih dan dihiasi
gugusan batu granit itu kian sepi ditinggalkan wisatawan. Padahal,
Tanjung Pesona merupakan salah satu ikon wisata Bangka. Bahkan iklannya
masih dipasang besar-besar di ruang tunggu Bandara Udara Depati Amir di
ibu kota Babel Pangkal Pinang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar