06 Mei, 2012

Ikan-ikan Itu Menjauh

Oleh Irene Sarwindaningrum

Matahari bersinar terik ketika perahu Akong (44) mendekati bibir Pantai Tanjung Pesona di kawasan pesisir timur Pulau Bangka. Dua kotak penampung tangkapan ikan ia turunkan. Kotak yang satu isinya tak penuh. Ia lalu membuka kotak yang satunya lagi. ”Kosong,” kata Akong seraya tertawa, seolah menertawakan kesialannya yang terus berulang. 

Hari itu, setelah melaut dari subuh hingga tengah hari, Akong, nelayan keturunan Tionghoa dari Desa Teluk Uber, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel), itu hanya bisa membawa pulang 4 kilogram (kg) ikan. Jika dijual ikan ini laku Rp 88.000. Setelah dikurangi modal, pendapatan bersihnya hari itu tinggal Rp 60.000. ”Sekarang ini hasilnya hanya segini ini tiap hari. Untuk makan saja kadang kurang,” katanya, akhir Februari lalu.

Sejak tiga tahun terakhir Akong mengaku semakin susah mencari ikan di laut timur Bangka. Padahal dulu, ikan begitu mudah diperoleh di perairan itu. Akhir-akhir ini ikan-ikan di perairan itu seolah menjauh, bahkan beberapa jenis ikan menghilang seiring beroperasinya tambang-tambang timah lepas pantai di kawasan itu.

Akhir-akhir ini Akong tak pernah lagi membawa pulang hasil yang memuaskan. Dulu cukup melaut dengan jarak 3-4 mil, dalam sehari hasil tangkapan Akong bisa mencapai 10 kg ikan. Saat ini tangkapannya rata-rata hanya 4 kg per hari. Itu pun harus melaut dengan jarak lebih jauh yaitu sekitar 7-10 mil.
Jarak melaut yang kian jauh itu membuat modal melaut melambung sehingga makin mengurangi pendapatan. Kebutuhan bensin bertambah dari 3 liter menjadi 5 liter untuk sekali melaut. ”Ikan-ikan itu sepertinya berenang makin jauh saja sekarang ini. Mungkin karena pantai di sini keruh,” tuturnya.

Limbah
Siang itu, dari Tanjung Pesona terlihat tiga kapal isap dan belasan ponton tambang inkonvensional (TI) tak henti mengeruk laut dari pagi hingga sore. Dari ekornya keluar limbah buangan (tailing) berupa pasir dan lumpur menyembur tanpa henti. Ini membuat air laut di sekelilingnya keruh. Para 
nelayan menduga keruhnya air laut tersebut membuat ikan-ikan menjauh.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel, Ratno Budi, selama periode tahun 2006-2011 terhitung 73 unit kapal isap beroperasi di sekitar Pulau Bangka yang menghasilkan limbah sedimentasi sebanyak 150 meter kubik per jam atau 70 juta meter kubik sedimentasi dalam setahun.
Penelitian peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, Indra Ambalikasyari, juga menunjukkan kerusakan lingkungan di laut timur Bangka. Dari 30 titik terumbu karang yang ia teliti antara tahun 2007-2011, sebanyak 17 titik di antaranya rusak. Di Kabupaten Bangka Barat kerusakan terumbu karang mencapai 83,33 persen, di Kabupaten Bangka kerusakan mencapai 75 persen, di Bangka Selatan kerusakan mencapai 50 persen, dan di Bangka Tengah 22,22 persen.
Di beberapa titik, terumbu karang ditemukan tertutup lumpur atau slim dari endapan limbah buangan tambang timah. Padahal, terumbu karang merupakan habitat dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan.

Menurut Indra, penambangan timah lepas pantai di sekitar Pulau Bangka hanya menguntungkan sebagian kecil orang bermodal. ”Penataan kawasan mendesak dilakukan. Seharusnya ditentukan kawasan yang boleh dan terlarang untuk ditambang,” katanya.

Paceklik kian mencekik
Seiring menurunnya hasil tangkapan, kesejahteraan para nelayan Tanjung Pesona kian merosot. Cau Ku (47), nelayan lain dari Desa Teluk Uber juga menuturkan saat ini terpaksa berutang untuk mencukupi kebutuhan harian. Padahal tiga anaknya yang bersekolah di bangku SMP dan SMA membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. ”Utang saya di toko tetangga sekarang ini sudah Rp 1 juta. Itu hanya untuk beli beras dan gula saja,” katanya.

Gelombang tinggi dan angin kencang yang terjadi di bulan-bulan terakhir tahun 2011 lalu makin melengkapi penderitaan nelayan Tanjung Pesona. Padahal, dulunya bulan-bulan tersebut merupakan musim panen udang dan kepiting yang harganya tinggi di pasaran. Kini, udang menghilang, sementara kepiting tinggal separuhnya.

”Lihat ini, jaring-jaring udang sekarang nganggur, sudah lama tak terpakai,” kata Rosihan (48), salah satu nelayan yang dituakan di Tanjung Pesona.
Kondisi ini makin terasa sejak dua tiga tahun terakhir. ”Dulu udang dan kepiting terbawa gelombang sampai pantai sehingga cukup ditangkap dengan jala yang dipasang di sepanjang garis pantai,” tuturnya.

Atas penurunan hasil tangkap, dalam setahun terakhir nelayan Tanjung Pesona mengaku menerima semacam kompensasi dari pengelola kapal isap. Kompensasi berupa dana tunai sebesar Rp 300.000 yang disalurkan tiga bulan sekali melalui kelompok nelayan di daerah tersebut. Namun sampai kapan kompensasi tersebut diberikan, para nelayan tidak tahu. ”Lagi pula uang sejumlah itu sekarang ini apa artinya. Untuk kebutuhan sebulan tak akan cukup,” tambah Rosihan.

Nelayan Tanjung Pesona pantas marah, karena selama lima tahun terakhir laut yang secara turun temurun menjadi sumber nafkah keluarga mereka, kini tak lagi memberi hasil. Padahal hingga tahun 2009, tercatat 3.026 nelayan di Kabupaten Bangka. Mereka terdiri dari nelayan jaring, nelayan pancing, dan nelayan bagan (rumah laut).

Cau Ku dan Akong, misalnya, merupakan generasi ketiga yang menjadi nelayan pancing di daerah itu.
Sebagian nelayan memilih bertahan, namun tak sedikit nelayan yang akhirnya menyerah dan beralih menjadi petambang timah demi pendapatan lebih besar.

Wisata lesu
Tak hanya berdampak pada sektor perikanan, sektor pariwisata di Pantai Tanjung Pesona juga kian lesu. Gangguan suara mesin tambang yang bising, asap hitam dari kapal-kapal yang menodai langit biru, serta keruhnya laut dikeluhkan sejumlah wisatawan.

Karyawan Tanjung Pesona Beach and Resort, Tomo (44), mengatakan, selama dua tahun terakhir jumlah tamu merosot sampai 40 persen. ”Kunjungan wisatawan asing pun sekarang tak pernah ada lagi,” katanya.

Pantai yang berpasir putih dan dihiasi gugusan batu granit itu kian sepi ditinggalkan wisatawan. Padahal, Tanjung Pesona merupakan salah satu ikon wisata Bangka. Bahkan iklannya masih dipasang besar-besar di ruang tunggu Bandara Udara Depati Amir di ibu kota Babel Pangkal Pinang.

Tidak ada komentar: