Oleh Teuku Muhammad Zulfikar
GAMPONG atau desa nelayan selalu saja diidentikkan dengan tempat tinggalnya orang miskin. Beberapa gampong atau desa nelayan, bisa kita saksikan di hampir sepanjang kiri-kanan jalan ke arah Krueng Raya, Aceh Besar, atau di sepanjang kawasan pesisir Aceh lainnya. Fenomena yang sama juga bisa kita lihat di provinsi lainnya, cobalah lihat beberapa desa nelayan di daerah Belawan hingga ke wilayah pesisir Batubara, Sumatera Utara, selalu saja identik dengan kemiskinan. Mengapa hal ini bisa terjadi di negara yang kaya raya akan sumber daya pesisir dan lautnya?
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000 buah. Luas daratan Indonesia hampir 2 km persegi. Luas lautannya, termasuk zona ekonomi eksklusif hampir 6 juta km persegi. Jadi luas daratan kita hanyalah sepertiga luas laut kita.
Bahkan, salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Maluku luas daratannya hanyalah 10% saja dari luas provinsi. Sisanya adalah laut. Panjang pantai di Indonesia sekitar 81.000 km. Jadi jelaslah, bahwa negara Indonesia adalah sebuah negara bahari atau maritim. Namun, sayangnya, bangsa Indonesia bukanlah bangsa bahari, karena bangsa Indonesia berorientasi pada daratan.
Jika melihat Indonesia secara jeli, lalu kita coba bandingkan dengan negara lainnya seperti Amerika, Australia, Malaysia, Singapura, maka bisa dipastikan Indonesia itu sebagai negara kaya. Bagaimana tidak, kepemilikan lahannya luas terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1,9 juta mil persegi atau seluas 1.919.440 km persegi (wikipedia). Bandingkan saja dengan Malaysia yang hanya 329.750 km persegi, apalagi Singapura hanya 697 km persegi. Kalah sedikit dibandingkan dengan Amerika yang luasnya 9.629.091 km persegi dan Australia yang,luasnya 7.686.850 km persegi.
Sumber daya kelautan
Tanah Indonesia yang seluas itu pasti ada sumber daya di dalamnya, baik mineral, tambang, dan lain-lain. Selain itu tingkat kesuburannya juga sangat tinggi karena dikelilingi oleh gunung-gunung berapi yang aktif memuntahkan material organik yang menjaga kesuburan tanah guna menunjang pertanian. Wilayah perairan Indonesia yang luas dengan aneka sumber daya perikanan dan kelautan yang terkandung di dalamnya. Apa itu tidak cukup untuk membuat makmur?
Sekali lagi sebagai negara selayaknya Indonesia bersanding setara dengan negara-negara makmur seperti Jerman, Australia, Jepang, Amerika, dan lain-lain. Ditunjang oleh kekayaan yang melimpah, dan sangat dibutuhkan oleh negara lain sehingga nilai ekonomisnya tinggi. Namun di balik kekayaan tersebut, tersimpan sebuah misteri. Misteri itu bernama kemiskinan. Sangat klasik memang dan sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu.
Kemiskinan terjadi dimana-mana baik di desa maupun di kota, dan di mana saja dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Kesmiskinan sering menjadi omongan atau gunjingan di kalangan pejabat, partai politik, universitas, dan media massa, seakan-akan isu kemiskinan punya magnet tersendiri dan selalu saja ada peminatnya. Terkhusus bagi partai politik dan calon pemimpin seperti Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden. Calon anggota legislatif, termasuk juga para calon Kepala Daerah yang akan naik sebagai kepala daerah di sebuah kabupaten/kota dan provinsi, juga sering menjadikan kemiskinan sebagai “barang jualan” yang sangat laku di pasar suara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa populasi masyarakat miskin di Indonesia, termasuk di Aceh, masih tergolong sangat besar. Niscaya jika seorang calon pemimpin bisa merebut hati pemilih yang tergolong miskin dengan cara menjual janji, lalu janji dibeli oleh masyarakat miskin dengan menjual suara, bisa dipastikan dia akan keluar sebagai pemenang.
Kemiskinan nelayan
Salah satu bagian dari misteri kemiskinan yang menarik adalah kemiskinan nelayan. Sebagai negara bahari yang kaya raya, yang nenek moyangnya dulu adalah pelaut, kemiskinan nelayan menjadi polemik baik di tingkat nasional maupun lokal sejak lama. Namun dalam kesunyian yang dalam, tentunya kita masih menangkap sejumlah seniman yang menyuruh kita kembali ke laut.
Sejak kita kecil, secara tak sadar kita selalu diajak untuk membanggakan laut kita yang kaya tiadatara. Tentu kita masih ingat lagu ini, “Nenek moyangku seorang pelaut...” Itu adalah sepenggal syair lagu yang sering kita dengar sejak kecil. Lagu yang menggambarkan alam Indonesia yang memiliki banyak perairan dan tentu saja banyak ikannya. Namun apa yang terjadi?
Sebuah ironi, ternyata Indonesia mengimpor ikan berformalin dari China. Tidak kurang 25 ton ikan salam dan kembung diimpor dari China ke Batam baru-baru ini (Lampungpost.com, 18 Maret 2012). Sebenarnya apa yang terjadi sampai Indonesia yang merupakan negara maritim besar malah mengimpor ikan? Jika masih hidup, nenek moyang kita pasti heran melihat kenyataan ini.
Sedih rasanya jika kita bandingkan tanah air yang kita cintai ini dengan negara Jepang. Kedua negara ini sebenarnya hampir sama, berbentuk kepulauan dengan garis pantai yang panjang. Kenyataan geografis ini secara alami cukup menjanjikan kekayaan bahari yang tak terbatas. Namun di negeri berjulukan ‘Matahari Terbit’ itu, selat, laut dan samudera menjadi sahabat. Mereka tahu persis bagaimana kenyataan alam itu bisa membuat orang sehat dan sejahtera.
Seperti kita tahu, Jepang adalah negara dengan konsumsi ikan terbesar. Kebanyakan dari mereka memiliki kecerdasan tinggi. Pengelolaan ikan pun sangat canggih dan modern, dan mereka tidak pernah kekurangan ikan. Indonesia seharusnya bisa membuat nelayannya lebih produktif, oleh sebab itu bukan tidak mungkin negara kita seperti Jepang yang konsumsi ikannya tinggi dan menumbuhkan insan-insan bangsa yang cerdas dan tidak teracuni ikan impor berformalin.
Swasembada ikan
Langkah terpenting adalah bagaimana kita bisa berswasembada ikan, agar kita tidak perlu lagi mengimpor ikan dari Cina. Jangan sampai terjadi penjual pecal lele di pinggir jalan pun, justru menjual pecal lele dengan ikan lele impor. Karena sumber-sumber kehidupan ikan lele seperti yang ada sekitar pantai Kuala Tripa di wilayah Rawa Tripa, yang terbentang di sepanjang pantai barat selatan Aceh, sudah dialihfungsikan menjadi kebun-kebun kelapa sawit.
Memang beginilah realitanya. Di sini, di garis pantai yang katanya terpanjang di dunia dan lautnya yang terluas, ternyata belum sanggup menjelma nyata. Dalamnya laut hanya menjadi kesenyapan yang abadi dan tingginya ombak hanya menjadi kengerian tersendiri. Hingga laut kerap dilupakan.
* Teuku Muhammad Zulfikar, ST, MP, Direktur Eksekutif Walhi Aceh/Dosen Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar