27 Maret, 2012

Kiat sukses memajukan bisnis

Bisnis adalah sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan, salah satu aternatif dan kiat sukses memajukan bisnis dan tetap eksis dalam persaingan bisnis adalah dengan selalu melakukan Inovasi dan transformasi bisnis. Banyak cara bisa dilakukan untuk melakukan transformasi bisnis antara lain diversifikasi produk, pembaharuan produk dan lain-lain. Bagi sebagian kita tentu sudah tidak asing dengan PT United Tractors Tbk (UT), perusahaan yang bergerak pada alat berat dengan salah satu merk yang cukup terkenal yaitu Komatsu. UT menjadi inspirasi bagi pelaku bisnis lain juga bagi pelaku Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) untuk mempertahankan dan mengembangkan bisnis, meski di saat situasi sulit.

“Willingness to change is a strength, even if it means plunging part of the company into total confusion for a while.” Pesan sekaligus prinsip manajemen yang dikemukakan Jack Welch itu tampaknya paralel dengan keyakinan yang dipegang erat segenap pemimpin PT United Tractors Tbk. (UT) dalam mengendalikan bisnis di saat arus persaingan alat berat semakin tak mudah dalam satu dekade terakhir.

Pada saat krisis moneter tahun 1998, UT terkena dampak serius. Beban utang dalam jumlah besar memaksa manajemen merasionalisasi karyawan dan menjual sebagian aset perusahaan (anak usaha). Sebab-musababnya, sektor kontruksi yang sebelumnya jadi tulang punggung pemasaran alat berat UT mengalami crash.

Bukan rahasia lagi, ketika itu bisnis kontruksi mati suri. Otomatis, permintaan alat berat juga stagnan. Bayangkan, tahun 1996 UT bisa menjual 2.012 unit alat berat (43% pangsa pasar nasional), tetapi kemudian merosot menjadi 429 unit pada 1997 karena ambruknya sektor konstruksi. Tak mengherankan, perusahaan publik ini merugi Rp 727 miliar.

Namun, kala melihat kinerja hingga akhir 2008, cerita muram itu hanya tinggal kenangan. Lihat saja, penjualan alat berat mencapai 4.345 unit atau meningkat 26% dari 2007 yang baru 3.454 unit. Hal ini juga dibuktikan dari penjualan sepanjang 2008 yang meningkat 54% menjadi Rp 27,9 triliun – tahun 2007 baru Rp 18,2 triliun. Laba bersih perseroan pun cukup gemuk, mencapai Rp 2,7 triliun, tumbuh 78% dibanding tahun sebelumnya.

Dalam konteks pemasaran, pangsa pasar Komatsu berhasil dipertahankan hingga level 45%. “Tahun 2008 kinerja kami memang memecahkan rekor dan tertinggi dalam sejarah perusahaan ini berdiri,” ungkap Djoko Pranoto, Presdir UT yang lebih dari 30 tahun berkarier di perusahaan alat berat ini. Kinerja positif itu berlanjut di awal 2009 ini, bahkan pangsa pasar UT diperkirakan sudah di atas 50%.

Bila didalami lebih lanjut, kinerja luar biasa itu tak lepas dari keberanian dan upaya transformasi yang dilakukan sejak satu dekade lalu yang pelaksanaannya semakin dipertajam sejak 2004. Transformasi dilakukan dengan menggeser portofolio bisnis dari yang semula mengandalkan sektor kontruksi ke sektor pertambangan, khususnya industri batu bara. Maklum, industri ini sejak 2004 tumbuh signifikan dibanding industri lain (lihat Grafik). “Kami fokus ke sektor mining karena di sana alat berat yang dibutuhkan biasanya besar-besar. Otomatis harga dan nilai proyek investasi juga lebih besar. Contohnya harga dump truck yang 100 ton, itu harganya bisa setara dengan 8 kali harga escavator yang kelas 20 ton,” Djoko memberi alasan.

Pergeseran pilihan industri yang dilayani itu kemudian diikuti dengan tranformasi strategi bisnis UT. “Dulu kami menyebut perusahaan kami sebagai customer driven company dan kuat terhadap product sales. Sekarang ke arah product support dan konsentrasi penuh ke solution driven,” kata Djoko. Orientasi perusahaan lebih dikembangkan ke solusi total bagi pelanggan. Jadi, UT diposisikan sebagai solution driven company.
Tak dimungkiri, transformasi strategi itu juga dilakukan karena perusahaan pelanggan UT di sektor pertambangan rata-rata lebih demanding dibanding pelanggan di sektor logging (Hak Pengusahaan Hutan/Hutan Tanaman Industri), kontruksi ataupun agro sehingga UT juga harus menyesuaikan diri agar bisa memaksimalkan kepuasan pelanggannya. Pelanggan pertambangan — 80% dari total pelanggan UT — rata-rata tidak hanya membicarakan transaksional, tetapi lebih banyak membicarakan ”Apakah Anda memberi dukungan sehingga ketika kami ada masalah Anda memberi solusi?”

Apalagi kenyataannya, pelanggan alat berat sektor pertambangan mengeluarkan uang yang tak sedikit dalam investasi. Kini, untuk memproduksi 1 juta ton batu bara setidaknya butuh investasi US$ 15 juta sehingga bila ada pelanggan yang punya target produksi 5 juta ton setahun, dia harus mengeluarkan US$ 75 juta, termasuk sebagian besar untuk membeli alat berat ke UT. Karena investasinya yang mahal, mereka harus bisa memastikan investasinya bisa kembali sehingga UT pun harus memuaskan dan mampu memberi solusi ke mereka.

Yang lebih penting diketahui, transformasi yang dilakukan di UT ternyata bukan sekadar di permukaan. Tidak selesai hanya dengan mengatakan kini lebih fokus ke sektor pertambangan, ternyata pilihan arah bisnis baru itu diimbangi dengan perubahan strategi organisasi dan manajemen internal. Singkatnya, pergeseran arah bisnis itu diikuti keberanian melakukan transformasi diri. “Kami lakukan transformasi baik pada people, process maupun infrastructure,” ungkap Djoko.
Dari sisi proses bisnis, UT mengubah cara dalam mendekati pelanggan, dari yang semula jualan (selling) unit alat berat menjadi memberikan solusi total. “Dulu jualan hanya dengan memberi feature product, menjelaskan product knowledge atau memberi leaflet, sekarang sampai titik memberi total solution,” ujar Djoko. UT yang sekarang lebih total dalam memikirkan pelanggan, seperti bagaimana pelanggan memulai bisnisnya di lokasi tambang, mencarikan mitra bisnis (matchmaking), serta menyediakan mekanik dan operator alat beratnya. Otomatis, dulu yang ditawarkan lebih ke produk (product offering), sekarang bergeser ke pemberian solusi.

Ketika UT jualan ban buat kendaraan alat berat, misalnya, pendekatannya bukan sekadar menjual ban, tapi sudah menjadi tire management solution. “Bahkan bila memungkinkan, pelanggan tak perlu punya stok ban sendiri. Jadi, tidak harus membeli dan membayar uang dalam jumlah besar di muka – cukup menyewa alias membayar sekian dolar per km (cost/km). Pihak UT yang kemudian mengelola ban tersebut,” papar Paulus Bambang W., Wapresdir UT.

Demikian pula ketika UT berjualan baterai alat berat, maka diarahkan menjadi battery management yang mengurusi dari proses delivery barang hingga penampungan limbah baterai itu. Di salah satu pelanggannya, perusahaan pertambangan besar di Papua, pola ini juga diterapkan. UT bahkan membantu menjualkan aki bekas (disposal) sehingga perusahaan tambang itu tak repot memikirkan di mana akan membuang limbah, tetapi justru mendapatkan uang. Cara-cara baru seperti itu tentu saja lebih solutif bagi pelanggan. Di sisi lain, hal itu juga merupakan jurus tersendiri bagi UT guna menghindar dari jebakan perang harga murah yang biasa terjadi di industri ini yang kalau diikuti akan merugikan posisinya.

Perubahan mendasar pun dilakukan dari sisi orangnya (people). Misalnya, dulu tenaga penjualan lebih ditugaskan sebagai salesman. Tugasnya tentu saja menjual, menjual dan menjual. Namun seiring dengan pergeseran bisnis, mereka ditiadakan karena diubah menjadi konsultan. Jadi, yang dibentuk bukan salesman, melainkan business consultant. Ia tidak sekadar menjual, tetapi juga memberi informasi solusi layaknya seorang konsultan kepada kliennya. Perubahan ini tak main-main. “Bahkan kami adakan acara ramai-ramai bakar kartu nama yang lama secara bersama-sama. Kalau dulu di kartu nama tertulis jabatan sales force, kemudian diganti menjadi business consultant,” ujar Paulus mengenang.

Jajaran mekanik di lapangan juga tak luput dari transformasi. Awalnya tugas mereka hanya memperbaiki alat-alat berat yang rusak dan memelihara alat berat yang masih bagus, kemudian diubah menjadi memelihara dan mengembangkan. “Harus maintain dan improve supaya hasilnya bagus. Kalau sebelumnya alat bisa menghasilkan kerja 10 ton/jam, kemudian juga memikirkan bagaimana supaya bisa menghasilkan 11 ton/jam. Selain itu, juga memikirkan bagaimana efisiensi kebutuhan bahan bakar. Jadi, mereka mikir untuk pengembangan,” kata Paulus. Adapun para operator alat berat di lapangan, tugas mereka bukan semata-mata mengoperasikan alat, melainkan sudah memikirkan hasil kerja (produce result). “Jadi, kami memang mentransformasi orang,” Paulus menegaskan.
Tentu saja, berbagai perubahan itu diikuti pula penambahan pada sisi infrastruktur. Artinya, transformasi yang terjadi memang difasilitasi betul oleh perusahaan. “Kami juga membenahi infrastruktur, termasuk metodenya,” kata Djoko. Sebut contoh, pada masa-masa sebelumnya di UT hanya dikenal punya kantor cabang (di kota besar) dan kantor perwakilan (di kota kecil), tetapi dengan tranformasi itu, didirikan unit job site facilites di berbagai lokasi tambang. “Job site facilities itu setara dengan kantor cabang, namun investasinya jauh lebih besar. Ruang workshop-nya jauh lebih besar dengan peralatan yang lebih lengkap, harus ada gudang dan orang-orang yang ditempatkan.”

Demikian juga dari sisi TI. Sistem TI yang terintegrasi saja tidak cukup, melainkan dikolaborasikan dengan pelanggan. Tak mengherankan, sekarang UT mempersenjatai diri dengan berbagai keunggulan TI. Sistem TI-nya bergeser dari desk base ke arah solusi yang mudah diakses di lapangan (mobile application). Contohnya, UT menerapkan vehicle management system untuk pengelolaan armada alat berat dan angkutan (dump truck, dll.).

Dengan adanya vehicle management system, kalau ada kendaraan rusak atau kurang bahan bakar di lapangan, bisa langsung diketahui karena setiap kendaraan dihubungkan dengan sistem. Lalu, kendaraan sedang dipakai untuk bekerja ataukah tidak pada jam tertentu akan mudah diketahui dari kantor pusat. Termasuk kalau dari bagian leasing diinformasikan ada pelanggan yang belum bayar, bisa tinggal pencet dari tombol komputer di kantor pusat untuk memberi peringatan agar kendaraan berhenti beroperasi.
Cara itu dilakukan karena melayani sektor pertambangan memang butuh pendekatan berbeda. Ketika di bisnis kontruksi, masih bisa mengatakan: akan melayani besok pagi karena sekarang pukul 17.00 dan kantor sudah tutup. Namun, untuk pelanggan sektor pertambangan, cara seperti itu tidak bisa dilakukan. “Di bisnis batu bara proses menambang berlangsung 24 jam dan setiap menggali tambang berarti uang,” kata Paulus.

Yang juga menarik, dari sisi pengembangan SDM, perusahaan tak serta-merta menuntut karyawannya bertransformasi, misalnya agar tenaga penjualan berubah menjadi konsultan bisnis, dll. UT memfasilitasi berbagai kegiatan pengembangan diri. Disediakan lembaga pelatihan yang diarahkan menjadi learning center. Karyawan yang dimasukkan ke UT Learning Center dikembangkan hard skill plus soft skill-nya, serta diarahkan menjadi manajer yang punya jiwa kewirausahaan tinggi agar bisa menciptakan dan mengembangkan bisnis-bisnis di lingkup UT.
Berbagai perubahan itu diharapkan bermuara pada pelanggan dan mereka rasakan langsung. “Intinya, kami ingin menghadirkan the lowest lifetime cost per total output dari proses produksi pada pelanggan kami,” ujar Djoko. Dalam pandangannya, di bisnis alat berat yang menyasar sektor tambang seperti yang digeluti UT, satu-satunya cara berpromosi yang efektif adalah dengan mendekati langsung pelanggan lalu menawarkan solusi terbaik.

Nila Irjani, karyawan yang juga Head of Corporate Planning UT, merasakan perusahaannya memang sungguh-sungguh dalam bertransformasi menjadi solution driven company. “Mulai dari visi, kemudian deploy-nya secara organisasi juga sungguh-sungguh dipikirkan. Kami men-setting arahan strategi untuk masing-masing divisi, pekerjaan masing-masing divisi apa, organisasi yang dibutuhkan seperti apa untuk tranformasi itu. Perusahaan juga membuat learning center. Semua diarahkan ke solution driven tersebut,” ujar Nila yang sebelumnya menekuni bidang TI.

Salah satu kesungguhan UT juga tampak dari dibentuknya divisi perencanaan korporat yang dikepalai Nila. “Divisi ini juga dibentuk dalam rangka transformasi, untuk memastikan proses tranformasi dari atas ke bawah bisa alligment. Kami percaya kalau segala sesuatunya by design dan terus di-review, jalannya lebih terkontrol. Nggak seperti orang buta berjalan. Yang penting, kami terus konsisten,” ungkap Nila.

Yang pasti, kinerja UT di awal 2009 tetap kinclong. “Kuartal pertama tahun ini diharapkan market share kami sudah di atas 50% dibanding tahun lalu sekitar 48%. Kondisi keuangan kami sehat sekali. Tidak ada tidak utang. Inventori bisa kami kontrol. Kami ingin menunjukkan bahwa apa yang selama ini (dijalankan) memang benar-benar menghasilkan,” kata Djoko penuh optimisme.
Apakah berarti tidak ada kendala dan gejolak dalam proses transformasi di UT?

“Secara garis besar nggak ada gejolak. Tapi yang namanya perubahan di mana pun pasti menimbulkan kekurangnyamanan pada sebagian orang yang merasa sudah mentok,” ungkap Djoko. Namun, ia menambahkan, sesungguhnya yang terpenting ialah bagaimana melakukan perubahan itu sendiri. “Kami tidak dengan cara hari ini buat konsep dan besok langsung dijalankan. Kami lakukan proses sosialisasi dulu, dijelaskan kenapa harus berubah dan akan dibawa ke mana. Kalau hati mereka sudah dibuka dan jelas, maka mau dibawa ke mana saja biasanya tidak menolak. Orang UT cenderung sangat fleksibel walau organisasi sudah tua karena sudah dari 1973,” papar Djoko.
Lebih dari itu, transparansi dan keterbukaan sudah dibiasakan di lingkungan UT sejak awal. Dengan cara itu, karyawan akan memberikan pandangan secara objektif bila ada masukan yang ingin disampaikan. “UT satu-satunya perusahaan di Grup Astra yang menerapkan sistem whistle blower,” Djoko menunjuk. Jadi, tiap karyawan dipersilakan menyuarakan unek-uneknya melalui surat bila ada ketidakberesan, dan identitas si pelapor dilindungi. “Daripada mereka membuat surat kaleng, lebih baik kami wadahi. Dia boleh melaporkan hal yang dialaminya dan dilindungi. Itu jarang lho perusahaan yang melakukan. Jadi, tidak asal ngomong GCG tapi praktiknya jauh dari kenyataan,” kata Djoko kembali.

Proses bisnis terus berjalan dan tantangan baru terus muncul. Seperti dalam setengah tahun terakhir, dunia mulai dicemaskan krisis global. Isu krisis global mau tak mau juga mesti dihadapi UT. Menanggapi dampak krisis global, manajemen UT tampaknya optimistis dalam menyikapi. “Untungnya tahun 2007 dan 2008, UT tidak jorjoran dengan nambah orang dan invest di sana-sini. Makanya, sekarang tidak berkeinginan mengurangi karyawan. Tiga bulan pertama 2009 ini menunjukkan apa yang ditakutkan di akhir tahun lalu tidak separah yang dibayangkan,” ungkap Djoko. Kuartal I/2009 ini revenue-nya naik 30% dibanding kuartal I/2008 walaupun volume turun.
Lebih dari itu, rupanya UT juga sudah menyiapkan strategi lanjutannya (next level). Persisnya dalam dua tahun terakhir perusahaan ini punya banyak bisnis baru yang mulai jalan. Tahun lalu sudah memulai bisnis rental melalui PT Multi Prima Universal. “Makanya begitu penjualan unit alat berat baru turun seperti sekarang, bisnis jasa rentalnya justru naik luar biasa. Dalam tiga bulan ini naik sangat fantastis,” kata Paulus. Usaha rental ini dulunya di UT hanya berupa divisi, tetapi sudah setahun ini dijadikan perusahaan tersendiri.

UT pun telah memperkuat diri dengan merestrukturisasi anak usaha. UT ingin konsentrasi di mesin alat berat yang besar (Komatsu), maka alat yang kecil-kecil yang melayani agroforestry dll. kemudian diserahkan ke anak usaha UT, PT Bina Pertiwi (BP). Contohnya, bisnis forklift dan genset. Bahkan, BP sekarang juga mengerjakan bisnis telekomunikasi untuk agro (membuat menara). “Tim di anak usaha ini baru saja direstrukturisasi dan Pak Djoko sudah mengirimkan orang-orang terbaik UT untuk merestrukturisasi BP. Orang eks UT dikirimkan ke sana. Antara lain, ada orang TI di UT disuruh jadi marketing di BP, lalu direkturnya diangkat dari kepala cabang Surabaya,” Paulus memaparkan.

Tak berhenti di situ. Tak lama lagi UT akan meluncurkan bisnis baru bidang pengangkutan batu bara (Patria Maritim Line), lalu perusahaan logistik untuk mengangkut alat berat dan suku cadangnya dari Jakarta ke tujuan mana saja (PT Harmony Mitra Utama). Juga, punya PT Tuah Turangga Agung yang mengakuisisi konsesi tambang batu bara. UT juga punya tambang batu bara dengan cadangan 40 juta ton yang segera akan dieksplorasi. Konsesi tambang ini dibeli dari dana hasil right issue ketiga, persis seminggu sebelum krisis terjadi (catatan: dari right issue UT mendapatkan tambahan modal Rp 3,6 triliun dari pemilik modal yang sudah ada). “Kami ingin punya keuntungan bisnis di value chain. Jadi mulai dari punya konsesinya, punya contracting, punya transportasinya. UT sekarang diposisikan sebagai AHEME (Astra Heavy Equipment Industry, Mining dan Energy),” ujar Djoko.

Widjaja Kartika, GM Divisi Suku Cadang UT, membenarkan perusahaannya telah bertransformasi menjadi solution driven company. Menghadapi krisis global, Widjaja optimistis. “Penjualan unit baru mungkin menurun, tapi kami yang di product support seperti bisnis suku cadang dan servis justru optimistis karena yang kami tanam tiga tahun lalu justru sekarang berbuah. Maka, target kami justru meningkat di tahun ini. Itu yang menurut kami lebih baik karena berarti bisnis kami sustain,” tuturnya.

Lilik Agung, pemerhati bidang manajemen yang juga Mitra Pengelola High Leap Consulting, melihat perpindahan dari sektor konstruksi ke sektor mining menunjukkan kejelian manajemen UT dalam memandang arah bisnis. Apalagi, sektor pertambangan di Indonesia dan dunia pada waktu itu mengalami booming luar biasa, sementara sektor konstruksi nyaris jalan di tempat. Ada dua hal yang menurut Lilik menjadi alasan UT memutar haluan bisnisnya. “Pertama, memang bisnis mining sedang tumbuh luar biasa dan berjangka panjang. Kedua, untuk mempertahankan dominasinya dalam bisnis alat berat.”

Dalam pengamatan Lilik, alat berat merek Komatsu yang dijual UT menjadi penguasa pasar hanya di sedikit negara. Salah satunya, Indonesia. “Pada mayoritas negara lain Komatsu selalu di bawah Caterpillar. Jika UT tetap pada pilihannya melayani sektor konstruksi, dapat dipastikan UT akan dikalahkan Trakindo (Caterpillar) yang memang sangat kuat di sektor mining.” katanya.
Lilik memprediksi, peluang sukses transformasi UT sangat tinggi melihat rekam jejak yang luar biasa dalam menjadikan Komatsu sebagai nomor satu di Indonesia. Menurutnya, ada empat alasan yang mendasari keberhasilan. Yaitu, karyawan yang mudah menyesuaikan diri dengan perubahan internal dan eksternal, sistem rekrutmen, pengembangan, jenjang karier, dan kompensasi di UT yang sudah sangat bagus, infrastruktur yang dimilikinya (perkakas manajemen modern – misalnya, Balanced ScoreCard, Six Sigma, dan sistem TI) telah memadai, budaya perusahaan sudah tertanam kuat, serta pertumbuhan dari bisnis pertambangan masih akan menjanjikan. “Imbas krisis global memang berpengaruh, namun pada jangka relatif pendek. Seiring dengan membaiknya perekonomian global, keperkasaan bisnis mining akan kembali ke posisi semula. Sementara UT sudah siap karena memutuskan masuk ke bisnis ini,” kata Lilik. (Galeriukm)
Sumber : Majalah Swa.

Tidak ada komentar: