Ditulis oleh Media Indonesia
KAWASAN Marunda, Jakarta Utara, mengalami kerusakan lingkungan yang parah akibat reklamasi pantai. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove di daerah itu terbilang paling berat jika dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia yang juga mengalami reklamasi.“Akibatnya, nelayan harus melaut hingga ke tengah laut.
Ini tak hanya terjadi di Marunda, tapi juga di kawasan-kawasan lain yang juga direklamasi,“ kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Abdul menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar kota pesisir di Indonesia menghadapi ancaman serius.
Bencana tenggelamnya kotakota pesisir akibat beban pembangunan yang abai terhadap keseimbangan alam dan dampak perubahan iklim semakin sering terjadi.“Kami mempertanyakan keputusan pemerintah mengembangkan proyek reklamasi pantai atau kerap disebut water front city. Kebijakan itu dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok pemodal yang berarti menyingkirkan kelompok masyarakat yang rentan, salah satunya nelayan, dari wilayah mukim dan hidupnya,“ kata Abdul.
Seluruh Indonesia Kiara, lanjut Abdul, mencatat kegiatan reklamasi pantai tidak saja terjadi di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Pantai Kenjeran Surabaya, tapi juga telah meluas hingga ke wilayah di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatra, proyek berlangsung di Padang, Sumatra Barat atau disebut Padang Bay City, serta Teluk Lampung.
Di bagian tengah dan timur Indonesia telah terjadi kegiatan re klamasi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa, Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef Tiaka, dan Bahodopi hingga jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Bau-Bau, dan Menui, Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan Pantai Manakara di Sulawesi Barat. Demikian halnya di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT NNT Tanjung Luar NTB; dan Teluk Kupang, NTT.
Menyusul, tengah direncanakan reklamasi di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi Pantai Ampenan, dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat. Proyek-proyek reklamasi tersebut, menurut Kiara, menjadi bagian dari konsolidasi kapital dalam penguasaaan aset-aset penghidupan rakyat, termasuk untuk pembiayaan kegiatan partai politik tertentu.
Pelanggaran dalam tata ruang wilayah dan tukar guling sumber daya alam juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam meloloskan proyek reklamasi bagi kepentingan pemodal dan oknum politisi.
Didukung regulasi Proyek reklamasi itu didukung paket instrumen kebijakan perampasan lahan wilayah pesisir, yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kemudian diperluas melalui upaya pencabutan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang secara tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan--yang berpihak pada kepentingan pengusaha dan pejabat birokrasi.
Secara faktual, kegiatan reklamasi pantai telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan kerusakan kawasan tata air.
Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim.
Demikian halnya itu berdampak luas terhadap wilayah atau kawasan yang menjadi sumber asal material reklamasi yang wujudnya urukan, seperti longsor, banjir, dan rusaknya sumber daya air.Salah satu contoh aktual di Sulawesi Tengah, praktik reklamasi yang dimulai sejak 2002 telah menggusur lebih dari 50 KK per hektarenya. Data Wahana Lingkungan Hidup indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah mencatat ada lebih dari 10 titik lokasi yang telah direklamasi dan tersebar di wilayah pesisir kabupaten dan kota.
Di Jakarta, lanjut Abdul, kegiatan reklamasi pantai Utara Jakarta seluas 2.700 ha menelan biaya sebesar Rp3.499 triliun atau US$350 miliar, padahal nilai ekonomis yang dihasilkan jauh lebih rendah dan tidak memberikan manfaat, yakni hanya sebesar Rp572 triliun atau US$57 miliar.
“Pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Sikap pembiaran pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggulangi secara serius,” kata Abdul.
Dalam catatan Kiara, sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal itu diperparah kerusakan hutan bakau yang terjadi hampir di semua pesisir dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. (*/M-2)
Sumber : http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/11/29/ArticleHtmls/Pantai-Diuruk-Laut-Dirusak-29112011021021.shtml?Mode=1#
KAWASAN Marunda, Jakarta Utara, mengalami kerusakan lingkungan yang parah akibat reklamasi pantai. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove di daerah itu terbilang paling berat jika dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia yang juga mengalami reklamasi.“Akibatnya, nelayan harus melaut hingga ke tengah laut.
Ini tak hanya terjadi di Marunda, tapi juga di kawasan-kawasan lain yang juga direklamasi,“ kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.
Abdul menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar kota pesisir di Indonesia menghadapi ancaman serius.
Bencana tenggelamnya kotakota pesisir akibat beban pembangunan yang abai terhadap keseimbangan alam dan dampak perubahan iklim semakin sering terjadi.“Kami mempertanyakan keputusan pemerintah mengembangkan proyek reklamasi pantai atau kerap disebut water front city. Kebijakan itu dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok pemodal yang berarti menyingkirkan kelompok masyarakat yang rentan, salah satunya nelayan, dari wilayah mukim dan hidupnya,“ kata Abdul.
Seluruh Indonesia Kiara, lanjut Abdul, mencatat kegiatan reklamasi pantai tidak saja terjadi di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Pantai Kenjeran Surabaya, tapi juga telah meluas hingga ke wilayah di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatra, proyek berlangsung di Padang, Sumatra Barat atau disebut Padang Bay City, serta Teluk Lampung.
Di bagian tengah dan timur Indonesia telah terjadi kegiatan re klamasi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa, Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef Tiaka, dan Bahodopi hingga jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Bau-Bau, dan Menui, Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan Pantai Manakara di Sulawesi Barat. Demikian halnya di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT NNT Tanjung Luar NTB; dan Teluk Kupang, NTT.
Menyusul, tengah direncanakan reklamasi di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi Pantai Ampenan, dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat. Proyek-proyek reklamasi tersebut, menurut Kiara, menjadi bagian dari konsolidasi kapital dalam penguasaaan aset-aset penghidupan rakyat, termasuk untuk pembiayaan kegiatan partai politik tertentu.
Pelanggaran dalam tata ruang wilayah dan tukar guling sumber daya alam juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam meloloskan proyek reklamasi bagi kepentingan pemodal dan oknum politisi.
Didukung regulasi Proyek reklamasi itu didukung paket instrumen kebijakan perampasan lahan wilayah pesisir, yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kemudian diperluas melalui upaya pencabutan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang secara tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan--yang berpihak pada kepentingan pengusaha dan pejabat birokrasi.
Secara faktual, kegiatan reklamasi pantai telah mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan kerusakan kawasan tata air.
Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim.
Demikian halnya itu berdampak luas terhadap wilayah atau kawasan yang menjadi sumber asal material reklamasi yang wujudnya urukan, seperti longsor, banjir, dan rusaknya sumber daya air.Salah satu contoh aktual di Sulawesi Tengah, praktik reklamasi yang dimulai sejak 2002 telah menggusur lebih dari 50 KK per hektarenya. Data Wahana Lingkungan Hidup indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah mencatat ada lebih dari 10 titik lokasi yang telah direklamasi dan tersebar di wilayah pesisir kabupaten dan kota.
Di Jakarta, lanjut Abdul, kegiatan reklamasi pantai Utara Jakarta seluas 2.700 ha menelan biaya sebesar Rp3.499 triliun atau US$350 miliar, padahal nilai ekonomis yang dihasilkan jauh lebih rendah dan tidak memberikan manfaat, yakni hanya sebesar Rp572 triliun atau US$57 miliar.
“Pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Sikap pembiaran pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggulangi secara serius,” kata Abdul.
Dalam catatan Kiara, sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal itu diperparah kerusakan hutan bakau yang terjadi hampir di semua pesisir dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. (*/M-2)
Sumber : http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/11/29/ArticleHtmls/Pantai-Diuruk-Laut-Dirusak-29112011021021.shtml?Mode=1#


Tidak ada komentar:
Posting Komentar