04 Desember, 2011

Impor Sering Diselewengkan

M Riza Damanik Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)


Pemerintah hanya akan mengimpor jenis ikan tertentu yang tak ada di Indonesia?
Siapa bilang? Keran impor itu sering disalahgunakan oleh importir-importir nakal. Secara praktis dapat kita buktikan, dari Januari hingga Juli 2011 saja, ada 40 jenis ikan impor yang masuk ke Indonesia. Semua jenis tersebut dapat dijumpai di perairan dan laut kita.

Yang lebih disayangkan, puluhan ton ikan impor bahkan beredar di pasar tradisional. Contohnya ikan tongkol, ikan kembung, ikan selayar bisa masuk pasar lokal di Medan. Tapi, asalnya dari Malaysia. Jenis lainnya adalah udang dan tuna. Padahal, ikan-ikan itu umum ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia. Dalam angka nasional, rata-rata ada 72 jenis ikan impor yang masuk ke Indonesia.

Dari mana saja asal ikan impor tersebut dan mengapa begitu mudah masuk Indonesia?
Ikan-ikan impor itu, 60 persennya berasal dari Cina, sisanya dari Malaysia dan Jepang. Ikan-ikan impor tersebut, 30-60 persen harganya jauh lebih murah daripada ikan-ikan yang dijual oleh nelayan kita. Ikan impor itu setiap hari masuk ke pasar tradisional dan mematikan ekonomi nelayan lokal. Penyebab lainnya ikan impor banyak masuk ke Indonesia karena ikan-ikan kita banyak yang diekspor dalam bentuk gelondongan ke luar negeri. Akibatnya, terjadi kekurangan bahan baku ikan untuk industri dalam negeri.

Ekspor ikan gelondongan jadi salah satu penyebab kembali dibukanya impor ikan?
Ya, itu salah satunya. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), volume ekspor hasil ikan kita tahun lalu saja meningkat 32 persen dari tahun sebelumnya. Jenis-jenis yang diekspor contohnya ikan tuna, ikan kaleng (mackerel), kepiting, dan udang. Ada 12 jenis ikan kita yang diekspor gelondongan. Contohnya ikan tuna, mackerel, ikan bandeng, dan udang. Ekspor ikan gelondongan terlalu banyak, padahal industri dalam negeri masih membutuhkan.

Ini kesannya ikan sengaja dijual agar imporitr dapat membeli ikan dari luar yang harganya jauh lebih murah. Keputusan rencana impor ikan ini tak hanya terletak pada KKP. Implikasi seluruhnya juga berkaitan dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai, hingga Kepolisian.

Apa saja yang dapat pemerintah lakukan agar keran impor tak disalahgunakan?
Ada banyak bentuk proteksi yang semestinya bisa dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi. Tetapkan jenis-jenis ikan apa saja yang boleh diimpor. Ikan yang dapat dijumpai, ditangkap, dan dapat dibudidayakan di Indonesia tak boleh masuk ke dalam negeri. Perlindungan nontarif di pelabuhan masuk dan bea cukai juga perlu dilakukan.

Bagaimana kondisi pelabuhan masuk ikan impor tersebut?
Ada terlalu banyak pintu masuk ikan-ikan impor yang bisa digunakan importir nakal untuk meloloskan ikan ilegal ini masuk ke perairan Indonesia. Negara kita ini terlalu banyak yang memegang karantina ikan. Contohnya ada Balai Karantina Kementerian Pertanian, karantina KKP, sampai-sampai Balai Konservasi dari Kementerian Kehutanan. Tidak sedikit ikan-ikan impor itu lolos dari pintu-pintu tersebut.

Pertengahan Agustus 2011 lalu, misalnya, di Jakarta, ada cumi impor. Aneh, cumi itu bisa ditemukan di semua perairan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Cumi ilegal itu lolos dari Bea Cukai tanpa diketahui Balai Karantina KKP. Saya rasa, secara kelembagaan, pintu masuk produk impor hasil perikanan ini harus ditertibkan. Pemerintah perlu mengawasi secara ketat.

Adakah cara lainnya untuk mendisiplinkan impor ikan?
Cara lainnya, berdayakan lagi kelompok nelayan kita. Sembilan puluh satu persen dari enam juta KK nelayan adalah nelayan tradisional dan pembudi daya ikan lokal. Mereka memerlukan insentif permodalan, insentif lingkungan, dan bantuan alat tangkap. Insentif ini secara kolektif perlu diberikan agar biaya produksi nelayan dapat turun. Sehingga, harga ikan nelayan kita bisa lebih kompetitif dengan ikan impor.

Coba kita lihat, 60 persen biaya produksi nelayan itu habis untuk biaya bahan bakar minyak (BBM) kapal saat melaut. Sementara, dukungan negara untuk subsidi BBM nelayan sangat minim. Kalaupun ada, tak tersalurkan dengan baik, atau kuantitas subsidinya rendah. Proteksi terakhir, terus mendorong masyarakat meningkatkan konsumsi ikan dalam negeri. Itu yang dilakukan Korea, Cina, dan Jepang. Agar masyarakat tak membeli produk-produk dari ikan impor.

http://republika.co.id:8080/koran/0/149037/Impor_Sering_Diselewengkan

Tidak ada komentar: