SAMBAS--Mencuatnya kasus Camar Bulan menjadi perbincangan hangat di tataran elit pemerintahan dan militer di kedua Negara (RI-Malaysia), tak khayal ini berefek pada kehidupan masyarakat Desa Temajuk khususnya, mereka khawatir Malaysia melarang rakyatnya berhubungan bisnis dengan warga Indonesia di perbatasan sehingga akan mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat.
“Setelah masalah ini mencuat (Camar Bulan), ada himbauan dari kepala kaum (kepala desa,red) Teluk Melano Malaysia agar sementara orang Temajuk jangan dulu masuk ke Malaysia lewat jalan resmi terutama membawa barang dagangan, namun pakai jalan alternatif atau jalan tikus,” ungkap Kepala Desa Temajuk Kecamatan Paloh, Mulyadi kepada Pontianak Post Selasa (11/10).
Himbauan tersebut langsung diberitahukan ke warga Temajuk, sehingga saat ini warga Temajuk perlu mawas diri, tak khayal ini membuat kecemasan, apabila permasalahan Camar Bulan ini terus diumbar di media massa akan berdampak pada stabilitas ekonomi warga.
“Ketergantungan warga Temajuk dengan warga Malaysia di Teluk Melano cukup tinggi dalam hal ekonomi, ini yang kami khawatirkan, sempat saja hubungan ekonomi dihentikan mau kemana kami mendapatkan suplai bahan pokok atau menjual hasil laut atau jeri payah kami,” katanya.
Bayangkan saja, dari perbincangan dengan sejumlah warga. Ketergantungan warga dari sisi ekonomi cukup tinggi. Desa yang berpenduduk 1.742 jiwa ini rata-rata membeli barang atau berjualan di Teluk Melano, begitu juga sebeliknya warga Melano sering datang ke Indonesia.
Jika di persentasekan, kebutuhan pokok warga pun sangat tergantung Malaysia. Untuk kebutuhan beras misalkan. 80 persen warga Temajuk makan beras Malaysia, sedangkan telur, tepung, dan gula 100 persen bergantung pada Malaysia. “Bahkan sinyal komunikasi pun juga bergantung pada Malaysia,” ujar Asman warga lainya.
Bahkan desa terisolir ini juga sangat bergantung pada Malaysia dalam hal penjualan hasil laut. “Kalau sempat saja mereka (orang Malaysia) oleh pemerintahannya dilarang berhubungan dengan kita, mau kemana menjual hasil laut, karena seratus persen hasil tangkapan ikan kita jual ke Malaysia,” tegasnya.
Jadi secara keseluruhan, kata Asman, dalam hal stabilitas sosial kemasyarakatan dan keamanan tidak masalah, justru warga Temajuk mencemaskan stabilitas ekonomi yang ada.
Dampak lainya, warga Temajuk kini mawas diri.
Sejak mencuatnya kasus Camar Bulan dan hebohnya pemberitaan Senin (10/10), pergeseran pasukan mulai terjadi, Helikopter Malaysia pun datang, sekitar kurang lebih 100 laskar Malaysia diterjunkan di perbatasan. Polis Gerakan Am (PGA) atau Pasukan Gerak Umum, pasukan yang dilengkapi dan dilatih khusus untuk melaksanakan tugas semasa situasi keamanan dan darurat. Tugas PGA ini diantaranya adalah tugas mencari dan menumpaskan anggota kriminal yang bergerak atau bersembunyi di dalam hutan, patroli perbatasan, pantai, pulau-pulau di perairan Malaysia dan kawasan yang terpencil, luas dan kurang penduduk bagi tujuan menghalang sebarang bentuk penjejakan secara haram dan memberi perlindungan keselamatan kepada rakyat yang terasing di pendalaman.
“Saat ini pengjagaan ini di pos batas Malaysia cukup ketat, karena sudah banyak pasukan PGA,” ungkap salah satu warga. Sontak sejak hari itu, Selasa (11/10) tidak ada warga yang berani ke Teluk Melano melalu jalur resmi. Padahal hubungan masyarakat kedua negara harmonis dan tidak terlalu berpengaruh isu sengketa batas Camar Bulan.
“Hanya saja memasnya pemberitaan berpengaruh pada kebijakan orang atas sehingga kita yang dibawah ini juga dapat imbasnya,” kata Asman.
Kecamasan lainnya, dari mencuatnya kasus Camar Bulan ini, adalah soal aktivitas berkebun dan mengelola lahan bagi warga Temajuk. Keberadaaan patok dirasakan tak jelas ditakutkan berbuah efek hukum bagi warga Temajuk. “Seperti kekhawatiran ditangkap atau dikejar-kejar tentara Malaysia,” ujarnya.
Hal lainya yang sangat ironis adalah wilayah perbatasan yang ada. Dimana banyak warga Temajuk yang tak menggunakan lahan di dekat pintu gerbang perbatasan secara optimal. Ketika koran ini berkunjung di Pintu Gerbang Perbatasan Desa Temajuk dan Teluk Melano, tampak sana-sini pemandangan hijau perkebunan warga Malaysi terhampar luas, bahkan sudah membuahkan dan berhasil guna.
Namun kondisi ini bertolak belakang dengan sekitar pintu gerbang Desa Temajuk. Hanya semak blukan dan tanah kering saja. Ada tanaman cocok tanaman seperti karet, lada, dan tanaman pangan lainya, jumlahnya tak sebanyak di batas wilayah Indonesia. Seperti contoh kasus saat koran ini datang ke patok tipe D A55 dekat gerbang batas Desa Temajuk.
“Lihat saja pak kondisi ini di sisi Malaysia tanaman karetnya berdiri kokoh, sementara di belah wilayah Indonesia hanya semak blukar,” ujar salah satu warga Heriyadi. Jarak antara kebun karet milik warga Malaysia dengan patok batas hanya sepanjang kurang lebih 2 meter saja. “Hal ini dikarenakan ada “dogma atau pemikiran” bahwa orang kita (Indonesia) dihimbau tidak menanam tumbuhan berumur panjang di sekitar wilayah batas, sementara Malaysia bebas saja, mereka tetap saja menanam ,” jelasnya.
Hal lain yang juga dicemaskan warga, adalah soal kebiasan warga bercocok tanam di wilayah hutan, atau mengambil kayu, padahal mereka mengaku mencari kayu bukan untuk kekayaan melainkan menyambung hidup dari penjualan kayu.
Rusdi misalkan, warga asal Jawai Kecamatan Jawai, sudah lima tahun keluar masuk hutan belantara mencari kayu untuk dijual menyambung kebutuhan hidup keluarganya, juga menyimpan kecemasan, khawatir masuk ke wilayah Malaysia, meskipun saat dia bekerja sudah masuk wilayah Malaysia (Bukit Sumunsam).”Pandai-pandai saja pak, meskipun ada juga khawatir ada patroli polisi Malaysia,” katanya.
Warga Temajuk khususnya, berharap masalah ini tidak berlanjut dan tidak di polemikkan, yang jelas warga menginginkan penuntasan masalah batas ini cepat selesai, sehingga tidak berdampak pada kehidupan masyarakat. (har)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar