05 April, 2011

Melihat Kehidupan Nelayan Natuna

NATUNA - Laut Natuna merupakan kekayaan alam yang paling luas dibanding daratan. Jika laut ini laut dikelola dengan baik dan secara professional dapat menghasilkan berbagai sumber penghasilan dan pendapatan.

Dalam adalah pemandangan keseharian, anak-anak menaiki batu-batu besar yang bertebaran di sepanjang pantai. Di sudut lain, beberapa pria mencoba menangkap ikan di sore hari, saat air laut sedang surut. Sebuah rutinitas di sepanjang pantai Ranai, ibukota kabupaten Natuna.

Desa Harapan Jaya dan Pian Tengah, kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna, merupakan dua desa nelayan yang ada, dimana warga desanya mengandalkan hidup dari laut.

Oleh karenanya, bila kita singgah sejenak di desa yang terletak di Pantai Utara Natuna ini, kita akan menjumpai puluhan perahu yang berjajar di sepanjang muara anak sungai yang membelah desa. Perahu-perahu itu ditambatkan di sepanjang pantai, dengan beragam corak dan warna.

Bila kondisi laut tidak berombak besar, dan musim menangkap ikan, maka dapat dipastikan semua perahu akan turun ke laut, mencari ikan. Hanya, perahu-perahu, yang dalam perbaiak, atau dalam kondisi rusak sama sekali, yang terlihat saat itu.

Sebaliknya, jika kondisi ombak besar atau laut sepi tangkapan, maka para nelayan pun tidak turun ke laut. Jika dipaksakan, hasilnya tidak saja merugi, tetapi bisa saja, perahu karam dibuatnya.

“Ini laut baru sepi Mas, semua nelayan di sini tidak turun ke laut. Waktu seperti ini, akan digunakan para nelayan untuk memperbaiki perahu dan mesin,” tutur Rahmat (51) salah seorang nelayan desa Pian Tenggah.

Pria yang mengaku menjadi nelayan semenjak lulus SD ini, menjelaskan bahwa jika musim penghujan, nelayan banyak nganggurnya. Dan waktu, hanya dipergunakan untuk memperbaiki atau merawat peralatan menangkap ikan. Seperti misalnya, memperbaiki perahu dengan menambal pada tempat yang bocor. Mengecatnya, agar lebih awet. Dan memperbaiki mesin yang “kurang sehat” termasuk alat tangkap ikan.

Mengenai biaya perbaikan, semuanya bila ada tabungan maka menggunakan uang simpanan atau menjual apa saja yang ada. Namun, bila tidak ada, biasanya dilakukan dengan mengutang tetangga, untuk kemudian membayarnya pada saat musin turun ke laut.


Menurutnya, untuk biaya perbaikan dibutuhkan sedikitnya Rp 2 juta. Dan dalam kurun waktu setahun, dibutuhkan 3 kali perbaikan, agar perahu dan alat tangkap, awet dipergunakan.

Ditanya modal yang diperlukan untuk terjun menjadi nelayan, diakui beberapa nelayan hampir Rp 40 juta, sebagai modal awal untuk membeli perahu pompon dengan ukuran 2 ton, mesin dan juga alat tangkapnya.

Itu baru, modal awal. Sedangkan modal lain, adalah modal operasional untuk turun melaut, yang besarnya antara Rp 15-Rp 20 juta. Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan tersebut, tak ayal kehidupan para nelayan, cukup memperihatinkan. Ini karena besarnya, biaya operasional yang dibutuhkan, untuk sekali melaut.

Memang, jika kondisi laut ramai, semua biaya operasional tersebut bisa tertutupi, bahkan, bisa disisihkan sebagai penghasilan para nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Nanun, terkadang, kondisi laut, tidak bersahabat. Dan di saat itulah, para nelayan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka terpaksan, menumpuk hutang di warung-warung, dengan janji akan melunasinya, pada saat melaut kembali.

Para nelayan mengungkapkan, tingginya, operasional membuat mereka kesulitan dalam mengatur keuangan. Jangankan untuk memperbaiki rumah tinggal, untuk makan sehari-hari saja, cukup seadanya.

Lanjut para nelayan, satu perahu biasanya dijalankan 3-4 orang nelayan. Sedangkan ikan yang didapatkan adalah “Simbek”, sebutan untuk ikan tongkol bagi nelayan Natuna.

Masalah lain yang muncul adalah tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Karena itu, para nelayan Natuna, harus menyeberang lautan menuju ke pusat kota Natuna di Pasar Ranai. Kalau tidak, mereka terpaksa menjual hasil tangkapan kepada para pengepul-pengepul yang ada.

Celakanya, pengepul ada yang bermodal kecil sehingga transaksi tidak dibayar langsung, melainkan dibayar sehari atau dua hari, setelah dagangan si pengepul laku terjual.

Soal harga, kadang-kadang merugikan para nelayan. Pengepul membeli dengan harga murah, meski jika dijual di luar desa, harganya bisa berlipat. Sedangkan, bila nelayan mencoba untuk menjual keluar desa, maka para pengepul yang memblokirnya.

Menghadapi situasi ini, para nelayan mengharapkan campur tangan pemerintah dalam mengatasi hal tersebut. Bisa saja dengan menghidupkan kembali TPI di lokasi penangkapan yang berdekatan, agar harga ikan kembali membaik.

Juga harapana, pembinaan Pemerintah kepada para pengepul ikan dengan cara pemberian pinjaman modal lunak untuk dipergunakan membeli ikan hasil tangkapan nelayan dengan kontan.

“Dengan pembinaan dari pemerintah, kami yakin, kehidupan nelayan di sini akan lebih baik dan sejahtera,” ujar para nelayan meyakinkan. Riky R

http://www.detikkepri.com/index.php?option=com_content&view=article&id=717%3Amelihat-kehidupan-nelayan-natuna&catid=32%3Anatuna&Itemid=47

Tidak ada komentar: