Bila tak segera ditangani, nelayan lokal akan mendapat kerugian sangat serius.
*08/07/10 Republika PANGKALPINANG* -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, memperkirakan ribuan kapal nelayan asing terus melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.
"Saya memperkirakan sebanyak seribu kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dan baru 103 kapal yang berhasil ditangkap," katanya seusai membuka Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (FKPPS), di Pangkalpinang, Rabu (7/7).
Ia menjelaskan, dengan banyaknya kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, bisa merugikan nelayan lokal. "Nelayan Indonesia sangat merasa rugi akibat pencurian ikan oleh kapal asing, karena hasil tangkapan mereka menjadi berkurang," ujarnya.
Ia menambahkan, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia itu ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan, TNI AL ataupun oleh Polair yang melakukan patroli di laut. "Selama ini kapal asing yang berhasil ditangkap itu dilakukan oleh TNI AL ataupun Polair yang ada di daerah, yang sering melakukan patroli rutin di laut," katanya.
Menurut dia, 103 kapal nelayan asing yang berhasil ditangkap itu diadili di pengadilan dan kapal yang disita itu bisa dipinjamkan untuk pemerintah daerah. "Kapal nelayan asing yang tertangkap dan diadili di pengadilan boleh dipinjamkan pakai oleh pemda, untuk keperluan penangkapan ikan di laut," ujarnya.
Ia menambahkan, dalam FKPPS itu akan dibahas cara penanggulangan pencurian ikan oleh kapal nelayan asing. "Mungkin peserta FKPPS itu mengusulkan alat pengintai yang menggunakan radar, untuk mendeteksi keberadaan kapal nelayan asing yang beroperasi di perairan Indonesia," katanya.
Pencemaran Laut Timor Sementara itu, terkait soal pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak mentah, Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, Selasa (6/7), menyatakan pemerintah tengah menghitung ganti rugi pencemaran laut tersebut. Namun, dia tak sepakat bila dana ganti rugi itu mencapai triliunan.
'' Saya menilai ganti rugi yang diajukan oleh Pokja Pencemaran Laut Timor tidak rasional. Sebab, nilainya jauh lebih besar pencemaran Teluk Mexico," ujarnya. Gusti mengaku belum menerima secara perinci tentang tawaran ganti rugi dari pokja itu. "Tapi yang jelas, tawaran ganti rugi dari kita sudah jelas hitung-hitungannya, ada yang kena dampak langsung dan dampak tidak langsung," paparnya.
Dicontohkannya, mengenai pendapatan para nelayan. Sebelum terjadi pencemaran, nelayan biasa mendapat hasil tangkapan sekitar 10 kilogram. Pascapencemaran, pendapatan nelayan tersebut turun menjadi 6 kilogram. Selisih 4 kilogram tersebut menjadi salah satu perhitungan dari Tim Gabungan
Oleh karena itu, saat ini pihaknya tengah menunggu undangan dari Pokja Pencemaran Laut Timor itu. Bahkan, kata Gusti, pihaknya siap datang kapan saja bila pokja itu mengundangnya. Dia mengharapkan dengan adanya pertemuan itu didapatkan titik temu hasil perhitungan kedua pihak.
Di tempat terpisah, Manajer Kampanye Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, berharap agar pemerintah lebih serius dalam menangani kasus ini. Dari laporan yang diterimanya, pemerintah tidak pernah melakukan penghitungan terhadap kerugian yang terjadi di masyarakat nelayan Laut Timor.
Selain itu, pemerintah diimbau tidak hanya memperhatikan ganti rugi terhadap masyarakat.
Keanekaragaman hayati dan daya dukung lingkungan yang rusak harus diperhatikan secara terus-menerus. Sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar. Pihak Walhi mengaku tidak pernah melakukan kajian tentang perhitungan ganti rugi kasus pencemaran ini. "Tapi, kita berkoordinasi dengan LSM di sana," katanya.
Sebelumnya, Tim Pokja Pencemaran Laut Timor mengaku bingung soal ganti rugi yang dilontarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka menilai pencemaran yang terjadi di Laut Timor lebih besar daripada kasus pencemaran di Teluk Mexico.
Dari catatan tim, meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor telah mencemari sekitar 25 ribu kilometer persegi wilayah perairan Laut Timor. Oleh karena itu, mereka menilai ganti rugi yang didapatkan harus lebih dari Rp 500 miliar. c13, ed:msubarkah
*08/07/10 Republika PANGKALPINANG* -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, memperkirakan ribuan kapal nelayan asing terus melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.
"Saya memperkirakan sebanyak seribu kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dan baru 103 kapal yang berhasil ditangkap," katanya seusai membuka Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (FKPPS), di Pangkalpinang, Rabu (7/7).
Ia menjelaskan, dengan banyaknya kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, bisa merugikan nelayan lokal. "Nelayan Indonesia sangat merasa rugi akibat pencurian ikan oleh kapal asing, karena hasil tangkapan mereka menjadi berkurang," ujarnya.
Ia menambahkan, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia itu ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan, TNI AL ataupun oleh Polair yang melakukan patroli di laut. "Selama ini kapal asing yang berhasil ditangkap itu dilakukan oleh TNI AL ataupun Polair yang ada di daerah, yang sering melakukan patroli rutin di laut," katanya.
Menurut dia, 103 kapal nelayan asing yang berhasil ditangkap itu diadili di pengadilan dan kapal yang disita itu bisa dipinjamkan untuk pemerintah daerah. "Kapal nelayan asing yang tertangkap dan diadili di pengadilan boleh dipinjamkan pakai oleh pemda, untuk keperluan penangkapan ikan di laut," ujarnya.
Ia menambahkan, dalam FKPPS itu akan dibahas cara penanggulangan pencurian ikan oleh kapal nelayan asing. "Mungkin peserta FKPPS itu mengusulkan alat pengintai yang menggunakan radar, untuk mendeteksi keberadaan kapal nelayan asing yang beroperasi di perairan Indonesia," katanya.
Pencemaran Laut Timor Sementara itu, terkait soal pencemaran Laut Timor akibat tumpahan minyak mentah, Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta, Selasa (6/7), menyatakan pemerintah tengah menghitung ganti rugi pencemaran laut tersebut. Namun, dia tak sepakat bila dana ganti rugi itu mencapai triliunan.
'' Saya menilai ganti rugi yang diajukan oleh Pokja Pencemaran Laut Timor tidak rasional. Sebab, nilainya jauh lebih besar pencemaran Teluk Mexico," ujarnya. Gusti mengaku belum menerima secara perinci tentang tawaran ganti rugi dari pokja itu. "Tapi yang jelas, tawaran ganti rugi dari kita sudah jelas hitung-hitungannya, ada yang kena dampak langsung dan dampak tidak langsung," paparnya.
Dicontohkannya, mengenai pendapatan para nelayan. Sebelum terjadi pencemaran, nelayan biasa mendapat hasil tangkapan sekitar 10 kilogram. Pascapencemaran, pendapatan nelayan tersebut turun menjadi 6 kilogram. Selisih 4 kilogram tersebut menjadi salah satu perhitungan dari Tim Gabungan
Oleh karena itu, saat ini pihaknya tengah menunggu undangan dari Pokja Pencemaran Laut Timor itu. Bahkan, kata Gusti, pihaknya siap datang kapan saja bila pokja itu mengundangnya. Dia mengharapkan dengan adanya pertemuan itu didapatkan titik temu hasil perhitungan kedua pihak.
Di tempat terpisah, Manajer Kampanye Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pius Ginting, berharap agar pemerintah lebih serius dalam menangani kasus ini. Dari laporan yang diterimanya, pemerintah tidak pernah melakukan penghitungan terhadap kerugian yang terjadi di masyarakat nelayan Laut Timor.
Selain itu, pemerintah diimbau tidak hanya memperhatikan ganti rugi terhadap masyarakat.
Keanekaragaman hayati dan daya dukung lingkungan yang rusak harus diperhatikan secara terus-menerus. Sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar. Pihak Walhi mengaku tidak pernah melakukan kajian tentang perhitungan ganti rugi kasus pencemaran ini. "Tapi, kita berkoordinasi dengan LSM di sana," katanya.
Sebelumnya, Tim Pokja Pencemaran Laut Timor mengaku bingung soal ganti rugi yang dilontarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka menilai pencemaran yang terjadi di Laut Timor lebih besar daripada kasus pencemaran di Teluk Mexico.
Dari catatan tim, meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor telah mencemari sekitar 25 ribu kilometer persegi wilayah perairan Laut Timor. Oleh karena itu, mereka menilai ganti rugi yang didapatkan harus lebih dari Rp 500 miliar. c13, ed:msubarkah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar