Sumber daya alam merupakan modal utama bagi suatu negara untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar masyarakatnya dapat hidup makmur dan sejahtera. Begitupula dengan Indonesia yang memiliki luas laut ribuan kilometer. Sayangnya, potensi tersebut belum terkelola dengan baik dan maksimal, sehingga sering terjadi pencurian yang melibatkan pihak asing.
Pemerintah boleh saja berkomitmen akan menumpas habis pelaku illegal fishing (pencurian ikan). Nyatanya, pencurian ikan masih marak, bahkan semakin nekat saja. Ada kesan, Undang Undang Perikanan yang membolehkan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, kurang digubris. Terbukti, hingga saat ini pencurian ikan tetap saja terjadi.
Sangat boleh jadi, hal tersebut terus mengemuka lantaran hukuman yang dijatuhkan pemerintah pada nelayan asing yang mencuri ikan tergolong sangat ringan, yaitu hanya dua tahun kurungan penjara ditambah potongan atau bonus sehingga dijalaninya hanya kurang lebih satu tahun.
Ini merupakan hukuman yang ringan bila dibandingkan pencurian yang dilakukan dan mampu mengambil ikan ratusan ton dengan nilai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Padahal, kalau dipikir, penangkapan kapal nelayan asing yang dilakukan pihak pengamanan atau petugas minimal membuat mereka jerah karena bukan hanya diberitakan lewat media cetak, tapi juga elektronik (televisi) yang memungkinkan siapa saja dapat memantaunya.
Sebagai gambaran, nyaris setiap pekan ada nelayan Thailand dan Vietnam tertangkap dan ditahan. Nyatanya, rekan mereka tidak mau menyerah alias mengacuhkannya.
Akibatnya, semakin hari-semakin bayak yang melakukan pencurian ikan di perairan kita tanpa kita dapat berbuat banyak lantaran perahu (kapal) mereka sudah canggih. Sementara kapal patrol yang dimiliki aparat keamanan kita kalah jauh, baik ukuran maupun kecanggihan fasilitasnya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini pihak Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bekerja sama TNI Angkatan Laut dan Polri, secara bersama-sama melakukan operasi dan menangkap beberapa kapal nelayan asing. Tapi itu tadi, mereka tetap saja tidak kapok dan menyerah.
Berdasarkan data P2SDKP DKP selama 2008 telah tertangkap kapal ikan asing sebanyak 189 kapal yang terdiri atas kapal-kapal ikan Thailand, Vietnam dan Malaysia. Dengan demikian, maka lebih dari Rp 600 miliar kerugian negara yang dapat diselamatkan.
Ini berarti terjadi peningkatan hasil tangkapan di mana selama tahun 2007 telah tertangkap sebanyak 185 kapal ikan asing dengan kerugian negara yang dapat diselamatkan sebanyak Rp 120 miliar. (Demersal, November 2008).
Menurut Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) Aji Sularso, beberapa modus operandi yang dilakukan pelaku illegal fishing adalah, Pertama, tanpa dokumen izin.
Kedua, mereka memiliki izin tapi melanggar ketentuan seperti alat tangkap, fishing grond, dan port of call. Ketiga, melakukan pemalsuan dokumen. Keempat, dengan cara memanipulasi persyaratan (DC, Bill of sale). Kelima, melakukan transshipment di tengah laut dan tidak pernah melapor ke pelabuhan perikanan setempat. Keenam, melakukan double flagging.
Kawasan yang sering dijadikan lokasi pencurian ikan adalah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Laut Teritorial, Laut Natuna, Laut Arafura dan Utara Sulawesi Utara. Sedangkan nelayan pada umumnya dilakukan oleh kapal Taiwan, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Di Laut Utara Sulawesi Utara oleh kapal-kapal Filipina dan di Laut Arafura oleh kapal Thailand, RRC dan Taiwan.
Berdasar analisis, mereka melakukan pencurian ikan karena ternyata industri pengolahan negara yang bersangkutan harus dapat bertahan. Fishing grond atau wilayah tangkapan mereka sudah makin habis. Pada sisi lain, ada juga faktor terbukanya laut Indonesia, pengawasan yang lemah serta terjadinya disparitas harga ikan antarnegara. (Demersal, Desember 2009).
Memang diakui bahwa nelayan asing yang memasuki perairan Indonesia ini bukan hanya mencuri ikan, tapi juga mencuri terumbu karang seperti karang hias hidup yang bernilai ekonomis tinggi. Hal ini jelas sangat memprihatikan karena terumbu karang merupakan rumah bagi ikan-ikan karang yang jika rusak, berarti ikan ini lambat laun akan berkurang akibat tidak ada lagi tempatnya untuk memijah (berkembang).
Berdasarkan hasil penelitian di mana ekosistem terumbu karang yang masih bagus sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang sudah rusak, maka sudah selayaknya jika pemerintah perlu meningkatkan perhatiannya. Karena kalau kapal nelayan asing terus seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan ke depan sumber daya ikan kita dihabisi oleh orang asing, bukan dimanfaatkan oleh bangsa sendiri.
Melihat luasnya laut yang dimiliki negara ini, maka seharusnya pemerintah harus tergugah hatinya menyaksikan aksi pencurian ikan terutama penentu anggaran untuk mengalokasikan anggaran pembelian kapal patroli guna perkuatan pengawasan di laut.
Sebab kalau laut saja tidak mampu ditangani dengan serius, tentunya sumber daya alam yang nyata-nyata kita miliki tidak bisa diselamatkan dari tamu tak diundang tersebut.
Selain itu, juga patut disarankan agar hukuman bagi pencurian ikan ditambah dari selama ini hanya dua tahun.
Idealnya, para pelaku pencurian ikan diganjar hukuman minimal 10 tahun penjara agar menimbulkan efek jerah, dan tidak akan melakukan atau mengulangi lagi pencurian ikan lantaran hukumannya sangat lama. Apalah artinya hukuman dua tahun bila dibandingkan dengan uang yang didapat ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Penulis yakin, jika hukumannya ditambah, tentunya mereka yang belum terkena hukuman akan berpikir dua kali lipat jika ingin melakukan pencurian ikan. Sebab sangat susah untuk dilepas lantaran lamanya dipenjara. Tapi kalau hanya ringan, maka mereka tidak jerah bahkan semakin menjadi-jadi perbuatannya.
Kenyataan di lapangan hahwa nelayan Vietnam dan Thailand yang selalu ditangkap itu, tapi mereka tetap beraksi. Ini berarti bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi penegakan hukum. Belum lagi kalau sudah disogok oleh pimpinannya, sehingga tidak bisa berbuat banyak dan bahkan sebaliknya membela orang yang salah lantaran sudah menerima sejumlah uang.
Inilah yang harus diwaspadai ke depan lantaran moral penentu kebijakan di negeri ini sudah semakin rapuh. Mudah-mudahan penegakan hukum tetap dijunjung tinggi sehingga tamu tak diundang itu tidak bisa lagi berbuat nekat dalam mencuri ikan di perairan Indonesia. Semoga! (*)
http://metronews.fajar.co.id/read/98508/19/nelayan-asing-semakin-nekat
Pemerintah boleh saja berkomitmen akan menumpas habis pelaku illegal fishing (pencurian ikan). Nyatanya, pencurian ikan masih marak, bahkan semakin nekat saja. Ada kesan, Undang Undang Perikanan yang membolehkan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia, kurang digubris. Terbukti, hingga saat ini pencurian ikan tetap saja terjadi.
Sangat boleh jadi, hal tersebut terus mengemuka lantaran hukuman yang dijatuhkan pemerintah pada nelayan asing yang mencuri ikan tergolong sangat ringan, yaitu hanya dua tahun kurungan penjara ditambah potongan atau bonus sehingga dijalaninya hanya kurang lebih satu tahun.
Ini merupakan hukuman yang ringan bila dibandingkan pencurian yang dilakukan dan mampu mengambil ikan ratusan ton dengan nilai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Padahal, kalau dipikir, penangkapan kapal nelayan asing yang dilakukan pihak pengamanan atau petugas minimal membuat mereka jerah karena bukan hanya diberitakan lewat media cetak, tapi juga elektronik (televisi) yang memungkinkan siapa saja dapat memantaunya.
Sebagai gambaran, nyaris setiap pekan ada nelayan Thailand dan Vietnam tertangkap dan ditahan. Nyatanya, rekan mereka tidak mau menyerah alias mengacuhkannya.
Akibatnya, semakin hari-semakin bayak yang melakukan pencurian ikan di perairan kita tanpa kita dapat berbuat banyak lantaran perahu (kapal) mereka sudah canggih. Sementara kapal patrol yang dimiliki aparat keamanan kita kalah jauh, baik ukuran maupun kecanggihan fasilitasnya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini pihak Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bekerja sama TNI Angkatan Laut dan Polri, secara bersama-sama melakukan operasi dan menangkap beberapa kapal nelayan asing. Tapi itu tadi, mereka tetap saja tidak kapok dan menyerah.
Berdasarkan data P2SDKP DKP selama 2008 telah tertangkap kapal ikan asing sebanyak 189 kapal yang terdiri atas kapal-kapal ikan Thailand, Vietnam dan Malaysia. Dengan demikian, maka lebih dari Rp 600 miliar kerugian negara yang dapat diselamatkan.
Ini berarti terjadi peningkatan hasil tangkapan di mana selama tahun 2007 telah tertangkap sebanyak 185 kapal ikan asing dengan kerugian negara yang dapat diselamatkan sebanyak Rp 120 miliar. (Demersal, November 2008).
Menurut Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) Aji Sularso, beberapa modus operandi yang dilakukan pelaku illegal fishing adalah, Pertama, tanpa dokumen izin.
Kedua, mereka memiliki izin tapi melanggar ketentuan seperti alat tangkap, fishing grond, dan port of call. Ketiga, melakukan pemalsuan dokumen. Keempat, dengan cara memanipulasi persyaratan (DC, Bill of sale). Kelima, melakukan transshipment di tengah laut dan tidak pernah melapor ke pelabuhan perikanan setempat. Keenam, melakukan double flagging.
Kawasan yang sering dijadikan lokasi pencurian ikan adalah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Laut Teritorial, Laut Natuna, Laut Arafura dan Utara Sulawesi Utara. Sedangkan nelayan pada umumnya dilakukan oleh kapal Taiwan, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Di Laut Utara Sulawesi Utara oleh kapal-kapal Filipina dan di Laut Arafura oleh kapal Thailand, RRC dan Taiwan.
Berdasar analisis, mereka melakukan pencurian ikan karena ternyata industri pengolahan negara yang bersangkutan harus dapat bertahan. Fishing grond atau wilayah tangkapan mereka sudah makin habis. Pada sisi lain, ada juga faktor terbukanya laut Indonesia, pengawasan yang lemah serta terjadinya disparitas harga ikan antarnegara. (Demersal, Desember 2009).
Memang diakui bahwa nelayan asing yang memasuki perairan Indonesia ini bukan hanya mencuri ikan, tapi juga mencuri terumbu karang seperti karang hias hidup yang bernilai ekonomis tinggi. Hal ini jelas sangat memprihatikan karena terumbu karang merupakan rumah bagi ikan-ikan karang yang jika rusak, berarti ikan ini lambat laun akan berkurang akibat tidak ada lagi tempatnya untuk memijah (berkembang).
Berdasarkan hasil penelitian di mana ekosistem terumbu karang yang masih bagus sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang sudah rusak, maka sudah selayaknya jika pemerintah perlu meningkatkan perhatiannya. Karena kalau kapal nelayan asing terus seperti ini, maka tidak menutup kemungkinan ke depan sumber daya ikan kita dihabisi oleh orang asing, bukan dimanfaatkan oleh bangsa sendiri.
Melihat luasnya laut yang dimiliki negara ini, maka seharusnya pemerintah harus tergugah hatinya menyaksikan aksi pencurian ikan terutama penentu anggaran untuk mengalokasikan anggaran pembelian kapal patroli guna perkuatan pengawasan di laut.
Sebab kalau laut saja tidak mampu ditangani dengan serius, tentunya sumber daya alam yang nyata-nyata kita miliki tidak bisa diselamatkan dari tamu tak diundang tersebut.
Selain itu, juga patut disarankan agar hukuman bagi pencurian ikan ditambah dari selama ini hanya dua tahun.
Idealnya, para pelaku pencurian ikan diganjar hukuman minimal 10 tahun penjara agar menimbulkan efek jerah, dan tidak akan melakukan atau mengulangi lagi pencurian ikan lantaran hukumannya sangat lama. Apalah artinya hukuman dua tahun bila dibandingkan dengan uang yang didapat ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Penulis yakin, jika hukumannya ditambah, tentunya mereka yang belum terkena hukuman akan berpikir dua kali lipat jika ingin melakukan pencurian ikan. Sebab sangat susah untuk dilepas lantaran lamanya dipenjara. Tapi kalau hanya ringan, maka mereka tidak jerah bahkan semakin menjadi-jadi perbuatannya.
Kenyataan di lapangan hahwa nelayan Vietnam dan Thailand yang selalu ditangkap itu, tapi mereka tetap beraksi. Ini berarti bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi penegakan hukum. Belum lagi kalau sudah disogok oleh pimpinannya, sehingga tidak bisa berbuat banyak dan bahkan sebaliknya membela orang yang salah lantaran sudah menerima sejumlah uang.
Inilah yang harus diwaspadai ke depan lantaran moral penentu kebijakan di negeri ini sudah semakin rapuh. Mudah-mudahan penegakan hukum tetap dijunjung tinggi sehingga tamu tak diundang itu tidak bisa lagi berbuat nekat dalam mencuri ikan di perairan Indonesia. Semoga! (*)
http://metronews.fajar.co.id/read/98508/19/nelayan-asing-semakin-nekat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar