21 Juli, 2010

Bumi Makin Panas, Laut Makin Asam

Pengasaman laut mengancam makhluk hidup dan ekosistem samudra.

Berita tentang rusaknya ekosistem lautan terus bermunculan. Jurnal Science edisi Juni 2010 memuat laporan komprehensif pertama kali mengenai dampak perubahan iklim terhadap lautan atau samudra. Laporan ini ditulis dua ilmuwan maritim dari The University of Queensland, Australia, dan The University of North Carolina, Amerika Serikat.

"Kita dalam perjalanan ke tahap berikutnya, yakni kepunahan massal," ujar Profesor Ove Hoegh-Guldberg, Direktur The University of Queensland Global Change Institute. Menurut dia, saat ini sedang terjadi perubahan tak terduga yang memiliki dampak serius bagi keseluruhan umat manusia.

Laporan yang ditulis Ove Hoegh-Guldberg dan Dr John F. Bruno, Associate Professor di The University of North Carolina, ini memang mengidentifikasi perubahan mendasar dan menyeluruh dari kehidupan laut. Termasuk peningkatan pemanasan dan pengasaman lautan, perubahan sirkulasi air, dan meluasnya zona mati di laut dalam.

Perubahan besar dalam ekosistem laut yang terdata antara lain semakin merosotnya pertumbuhan terumbu karang, rumput laut, dan bakau, yang berperan penting untuk tempat pemijahan ikan. Lalu ikan yang jumlahnya semakin sedikit dan ukurannya makin kecil. Terjadi gangguan dalam rantai makanan dan perubahan distribusi kehidupan laut. Selain itu, makin seringnya penyakit atau hama pada organisme laut.

Para ahli selama ini mengakui, lautan, yang memproduksi setengah dari oksigen yang kita hirup, menyerap 30 persen CO2 yang dihasilkan akibat perbuatan manusia. "Ini setara dengan jantung dan paru-paru," kata Hoegh-Guldberg. Cukup jelas, dia menambahkan, bumi tidak bisa hidup tanpa samudra.

Sejak Revolusi Industri, konsentrasi gas-gas rumah kaca semakin meningkat. Pada 1750, terdapat 281 molekul karbon dioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbon dioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada 2100, karbon dioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm.

Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan dengan masa sebelum Revolusi Industri. Seiring dengan itu, berdasarkan hasil observasi, suhu permukaan bumi naik rata-rata sebesar 1 derajat Celsius sejak awal Revolusi Industri. Kenaikan akan mencapai 2 derajat C pada pertengahan abad ini jika tidak ada langkah-langkah drastis yang diambil untuk mengurangi laju pertambahan emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Penelitian ini menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan bagi ekosistem laut. "Seolah-olah bumi telah merokok dua bungkus rokok sehari!" kata Ove Hoegh-Guldberg. Menurut John F. Bruno, emisi gas rumah kaca telah memodifikasi fisik dan aspek geokimia lautan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya pada hampir 1 juta tahun. Hal ini, kata Bruno, menyebabkan perubahan mendasar dan menyeluruh pada cara dan fungsi ekosistem laut.

Kedua pakar tersebut mendesak para pemimpin dunia untuk cepat bertindak membatasi pertumbuhan gas rumah kaca. Mengabaikan ilmu, kata mereka, bukan merupakan pilihan. Apalagi laporan mereka lebih lengkap ketimbang studi sebelumnya yang hanya melihat satu atau dua faktor penyebab.

Profesor Robert S. Steneck, ilmuwan laut dari University of Maine, mengakui hal itu. Menurut dia, studi ini memberikan indikator berharga dari risiko ekologis yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, terutama di daerah pesisir. Penelitian sebelumnya, menurut dia, sebagian besar berfokus pada ancaman global tunggal, yakni pemanasan global. "Hoegh-Guldberg dan Bruno membuat kasus yang menarik dari dampak kumulatif yang mengancam planet bumi," kata Steneck. UNTUNG WIDYANTO | SCIENCEDAILY

Mulai dari Perairan Dingin

Penelitian Ove Hoegh-Guldberg dari University of Queensland, Australia, dan John Bruno dari Universitas North Carolina menambah kesimpulan bahwa peningkatan karbon dioksida makin menyebabkan pengasaman laut.

Memang samudra menyerap sekitar sepertiga karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan pemakaian bahan bakar fosil. Hal ini seperti melarutkan CO2 dalam air laut, yang membuat pH air berkurang. Skala pH, "potensi dari hidrogen", adalah ukuran 14 langkah yang kuat. Alkali kaustik seperti pembersih oven memiliki pH sekitar 13, air murni adalah netral pada angka 7. Sementara substansi dengan pH antara 7 dan 1 dianggap asam. Skala pH adalah logaritmik, misalnya, pH 4 adalah 10 kali lebih asam dari pH 5 dan 100 kali lebih asam dari pH 6.

Ketika CO2 larut dalam air laut, akan membentuk asam karbonat, yang melepas ion hidrogen ke dalam larutan. Konsentrasi ion hidrogen bermuatan positif itu naik, dan menyebabkan penurunan pH, sehingga air jadi asam.

Para peneliti memperkirakan telah terjadi penurunan pH sebesar 0,1 sejak awal Revolusi Industri. "PH samudra sekarang lebih rendah selama 20 juta tahun ini, dan cenderung lebih rendah lagi," kata ahli kimia Richard Feely dari National Oceanic and Atmospheric Administration' s (NOAA), Laboratorium Lingkungan Laut di Seattle, Washington.

Feely dan rekan-rekannya mengembangkan model pH masa depan berdasarkan pada kenaikan emisi karbon dioksida. Model itu memperkirakan penurunan pH sejak era pra-Industri dari 8,2 menjadi sekitar 7,8 pada akhir abad ini. Berarti rata-rata peningkatan keasaman permukaan laut sekitar 150 persen.

Perairan dingin samudra selatan dan utara Atlantik, serta bagian dari utara Pasifik, yang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menyerap karbon dioksida, akan terpengaruh pertama kali. Alhasil, pada akhir abad ini, perairan tersebut akan menjadi korosif terhadap pteropods (siput laut) dan organisme lain yang bergantung pada aragonit untuk membangun cangkang. UWD | graphicnews

HENDRA YUSRAN SIRY

Kepala Bidang Pelayanan Teknis

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Badan Riset Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Deputy Director for Technical Affairs

Research Centre for Marine and Fisheries Socio-Economic (RCMFSE)

Agency for Marine and Fisheries Research (AMFR)

Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF)

Jl. KS Tubun Petamburan VI Jakarta 10260

Indonesia

(: +62 (21) 53650162 - 53850475

F: +62 (21) 53650159

M: + 62 812 9143536

E: hendrasiry@gmail. com

Visit my Blog 8 at: http://hendrasiry. wordpress. com/

Visit my profile at RMAP web: http://rspas. anu.edu.au/ ~hendra/

Tidak ada komentar: