19 Juli, 2010

116 Nelayan Tiap Hari Ganti Profesi karena Iklim

Ekonomi Media Indonesia Kini isu lingkungan menjadi penting bagi pemerintah karena mudah dijual untuk mendapatkan dana segar

Zubaedah Hanum

KAJIAN internasional Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSA) menyimpulkan bahwa model pembangunan yang berlangsung di Indonesia bukan jalan baik dalam upaya mengatasi kemiskinan. Sebaliknya justru memunculkan bencana. Dari kajian spasial tahun lalu terhadap 341 kabupaten/kota, Pulau Jawa paling rentan terhadap banjir, longsor, dan kenaikan muka air laut. Selain model pembangunan industrial, model produksi perkebunan, pertanian, dan perikanan berbasis ekspor-industrial- monokultur menghancurkan air dan tanah, menggerus keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola produksi dan pengelolaan komunal), serta mengekspos warga pada kerentanan tak terperi.

Di sisi lain, menurunnya hasil tangkapan dan gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrem semakin sering dijumpai. Angka kemiskinan bakal meningkat. Setiap harinya 116 nelayan beralih profesi. Menurut Dinamisator Pemantau dan Advokasi Pendanaan Iklim (CFAM) Mida Saragih, dana-dana iklim yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak di bawah skema resmi Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim atau UNFCCC, melainkan dari sejumlah negara maju dan lembaga keuangan internasional yang selama ini menggelontorkan utang dan hibah bersyarat kepada banyak negara yang mengalami krisis pangan, finansial, energi, hingga kemiskinan

"Hasil pantauan CFAM bahwa utang proyek iklim mencapai US$400 juta, sementara utang program US$1,9 miliar. Jumlah keseluruhan adalah US$2,3 miliar," kata Mida. Mida juga mengatakan dalam kondisi kerentanan hebat yang melanda masyarakat kecil, dana-dana itu dipakai pada koridor pembuatan kebijakan yang mendorong keberlangsungan industri. Contoh nyata adalah climate policy loan yang membuahkan aturan renewable energy dan incentive energy pricing hingga kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar.

Kini isu lingkungan menjadi penting bagi pemerintah karena mudah dijual untuk mendapatkan dana segar. Terlebih pada KTT G-20, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengutarakan paket kebijakan Indonesia, yakni pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment.

Perempuan luput
Perempuan sekali lagi dipastikan luput dari skenario respons isu perubahan iklim. Data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa 20 juta perempuan berjuang dalam kemiskinan sudah cukup menjadi pertimbangan yang kuat bahwa alokasi dana dalam program-program adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim harus peka pada keadilan gender.

CFAM menegaskan prinsip yang harus diperhatikan pemerintah dalam pendanaan iklim. Pertama, prinsip anti utang. Pemerintan harus belajar dari pengalaman pahit berutang kepada lembaga keuangan internasional ketika krisis finansial melanda pada 1990-an. Kini, jebakan kembali muncul dalam skema utang ataupun hibah bersyarat pendanaan iklim.

Kedua, pendanaan iklim harus dikembalikan pada persoalan mendasar, yakni keselamatan manusia dan lingkungan. Pemanfaatan dana iklim dari hibah tanpa syarat harus berdasarkan pada kebutuhan rakyat banyak, pelaporan transparan serta tepercaya, dan pencapaian terukur. (E-2)hanum @mediaindonesia. com

Sumber: http://bataviase. co.id/node/ 297337

Tidak ada komentar: