03 April, 2010

Pemanasan Global; Menanti Bumi Tenggelam! (IV)

Oleh: JR Pahlano DAUD

Wilayah terumbu karang penghalang terbesar dunia (Great Barrier Reef, Australia) kembali dilaporkan terlihat putih memucat setelah kejadian yang sama tahun 1998 dan 2002 lalu yang juga melanda sebagian besar terumbu karang dunia sampai batas distribusinya di bagian utara (Jepang selatan). Survey Februari 2006 lalu yang dilakukan Dr.R.Berkelmans menggambarkan kematian coral besar-besaran (95-98 persen) disebabkan kenaikan suhu air laut secara tiba-tiba di sekitar kepulauan Keppels yang masuk wilayah Queensland. Penyebab utamanya dihubungkan dengan suhu tahunan wilayah Australia mencapai yang tertinggi dalam catatan sejarah sepanjang tahun lalu. Naiknya suhu air laut di atas normal selama musim panas menyebabkan coral di sekitar kepulauan tersebut memucat (aims.gov.au). Kejadian yang sama juga terjadi di Karibia musim panas 2005 lalu. NOAA melaporkan pemutihan besar-besaran di kep.Karibia sekitar pulau Virgin yang masuk wilayah AS, memanjang dari Florida Keys ke Tobago serta Barbados di selatan Panama dan Kosta Rika. Pemutihan coral (bleaching) mungkin akan mendunia sebagai bagian dari naiknya suhu air laut. Naiknya suhu di atas normal menyebabkan alga (zooxanthellae) yang hidup berasosiasi dengan coral berubah dan turut berdampak pada pasokan nutrisi juga warna pada karang. Coral akan mati meninggalkan bongkahan kalsium berwarna putih jika perairan tidak segera mendingin sesuai batasan hidupnya. Meningkatnya polusi, penangkapan ikan berlebihan, reklamasi pantai, dan penyakit adalah faktor lain yang mengancam keberadaannya. Ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan tempat hidup yang penting bagi berbagai spesies ikan, penghalang erosi, dan lokasi bagi wisata ekologi (ecotourism). Dengan naiknya suhu dan permukaan air laut maka dasar lautan semakin dalam, sinar matahari akan semakin sulit menjangkau tempat hidup alga dan coral hingga dikhawatirkan terumbu karang akan punah di akhir abad ini jika penyebabnya tidak segera ditekan.
Dari hampir 1.500 species flora/fauna yang diamati Prof.T.Root, dkk (Stanford Univ.) terdapat 1.200 sp. memperlihatkan perubahan tetap akibat berubahnya suhu. Banyak spesies saat ini termasuk ikan-ikan memperlihatkan kecenderungan bermigrasi dan bergerak ke arah utara bumi, ke tempat yang lebih dingin. Vegetasi tumbuhan diperkirakan berpindah 100-150 km ke arah kutub untuk beradaptasi dengan peningkatan suhu sebesar 1 derajat Celcius (Nature, 2003). Hal yang sama terjadi pada hutan mangrove. Mangrove yang peka selain terhadap perubahan salinitas air dan laju sedimentasi pasti tak dapat menghindar jika air laut naik. Selama masa perubahan iklim yang bertahap, seperti yang terjadi pada waktu lalu, kawanan hewan perumput bergerak mengikuti gerakan vegetasi diiringi oleh hewan karnivora yang memangsa mereka. Perubahan iklim yang cepat, tidak memberikan harapan bagi penyesuaian seperti ini. Tentunya organisme yang tak dapat beradaptasi dengan perubahan akan terisolasi dan punah. Pemanasan global dapat mereduksi keanekaragaman genetik dan ini berarti walaupun keanekaragaman spesies tinggi, namun karena kurang dalam jumlah maka akan lebih rentan dan terancam punah akibat penyakit serta rendahnya keanekaragaman genetik. Berdasarkan dari berbagai jurnal penelitian ilmiah terbaru, ternyata ada banyak sekali bukti yang mana pemanasan global mempengaruhi kehidupan flora/fauna termasuk manusia di dalamnya. Hal ini tidak akan pernah cukup diurai dalam tulisan ini, namun dipastikan bumi saat ini berjalan tidak alamiah lagi.
Kesehatan Manusia. Dalam satu ekosistem, kehidupan antara satu habitat dengan habitat lainnya saling terkait. Saat beberapa satwa menjadi korban, esok atau lusa, satwa lain bahkan manusia sekalipun akan mengalaminya. Hal ini signifikan berpengaruh terlihat dari kondisi kesehatan manusia dewasa ini. Pemanasan global seperti berubahnya iklim membuat orang-orang lebih sering bersin. Sebuah studi menemukan, makin banyaknya gejala alergi yang muncul selama beberapa dekade terakhir ini dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, misalnya peningkatan kadar karbondioksida serta suhu atmosfer. Sekitar 40 juta warga Amerika menderita demam tinggi karena alergi terhadap jerami, sementara 16 juta orang dewasa terserang asma. Walaupun gen sangat berpengaruh, penelitian terbaru menemukan bahwa suhu yang tinggi dan kadar karbondioksida yang berlebihan memperburuk serangan alergi musiman. Dr.C.Rogers (2004), dari Harvard Univ. menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan jumlah penderita alergi dan asma secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dihubungkan dengan perubahan iklim (chge.med.harvard.edu).
Meningkatnya angka heat stroke (serangan panas kuat) yang mematikan, infeksi Salmonela dan hay fever (demam akibat alergi rumput kering) di seluruh Eropa beberapa tahun terakhir ini erat terkait dengan pemanasan global. Para scientist meyakini pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan akan tampak lebih jelas kedepan. Di Inggris, angka kematian tahunan akibat panas diprediksi meningkat menjadi 3.300 kematian pada tahun 2050 dari 800 kematian dekade terakhir ini. Gelombang panas yang melanda Eropa musim panas lalu tak disadari telah menewaskan 25.000 orang, jumlah yang sangat besar dibanding korban terorisme. Penyakit tropis (seperti malaria dan demam berdarah) juga mengalami peningkatan. Selain itu munculnya penyakit-penyakit baru/jarang yang lebih mematikan seperti flu burung, diyakini sangat terkait dengan pemanasan global. Negara-negara miskin merupakan pihak yang paling parah merasakan akibat naiknya suhu rata-rata disebabkan terperangkapnya emisi panas yang sebagian besar berasal dari polusi, pembakaran bahan bakar fosil oleh penduduk bumi. Menurut kajian WHO (2005), pengaruh manusia terhadap iklim dapat melipatgandakan risiko kematian akibat gelombang panas tidak hanya di Eropa namun terasa di seluruh penjuru bumi (reuters.com/antara.co.id).
Masa Depan Bumi. PBB mengacu pada Dewan Kutub Utara dan berbagai scientist dunia memperingatkan bahwa daerah kutub akan meleleh sebelum abad ini berakhir. Panel ilmuwan memperkirakan bila tidak ada intervensi serius, Kutub Utara-Artik "gundul" tanpa es pada setiap musim panas, dimulai tahun 2100. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2001) memperkirakan permukaan air laut akan mengalami kenaikan rata-rata hampir 1 meter antara 1990-2100. Kombinasi dari berbagai sumber penyebab pemanasan global yang meningkat sebenarnya menghasilkan pola eksponensial yang lebih menakutkan. Prakiraan dengan menggunakan supercomputer AS dan Jepang memperlihatkan perubahan iklim dapat mencairkan lapisan es abadi sedalam 3,35 meter di bagian utara bumi. Sekalipun sebelumnya terjadi pencairan es di kutub utara, tapi dalam 40 tahun terakhir lapisan es yang cair bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Melelehnya gunung es di kedua kutub bumi adalah dampak logis yang tidak bisa dicegah. Proses yang berlangsung lambat tapi lajunya semakin cepat menenggelamkan bumi. Sir David King, penasehat pemerintah Inggris bidang Sains dan beberapa peneliti lainnya memprediksikan jika es di Greenland habis meleleh maka permukaan laut akan naik 6 - 7 meter. Jika Antartika meleleh, naiknya menjadi 110 meter dan kota-kota di daerah pesisir apalagi di bawah permukaan laut akan lebih dulu menghilang termasuk London dan New York (Nature, LiveScience, Reuters, 2005). Di Indonesia, Jakarta dan 69 kota lainnya termasuk Manado tentunya bakal hilang. Daratan perlahan berkurang dan pertikaian bahkan peperangan antar negara pasti akan terjadi karena memperebutkan lahan dan sumberdaya yang tersisa.
Memang ada perdebatan mengenai masa depan bumi, apakah planet kita menjadi makin panas, dan seberapa besar manusia berperan dalam pemanasan itu. Banyak berpendapat, menghangatnya suhu bumi disebabkan oleh emisi gas rumah kaca oleh manusia, sementara ilmuwan lainnya menunjuk pada apa yang mereka katakan putaran alami penghangatan dan pendinginan. Ada yang mengatakan bahwa skenario bencana kedepan tak akan terjadi 100 persen karena perkembangan teknologi (mesin mobil hidrogen, low-flush toilet dll) serta meningkatnya kesadaran lingkungan akan membantu alam dalam menghadapi efek jelek polusi dari kegiatan manusia. Perdebatan ini semakin dikeruhkan oleh kepentingan bisnis dan strategi politik negara, baik negara dunia pertama maupun dunia ketiga. Yang pasti kecenderungan telah terlihat dan bumi menjadi lebih panas, sementara dan terus berlangsung. Para ahli klimatologi (LiveScience, 2005) membuktikan bahwa pemanasan global terjadi karena Bumi menyerap lebih banyak energi Matahari daripada yang dilepas kembali ke ruang angkasa. Dengan memonitor suhu permukaan laut dari ribuan pelampung yang tersebar di berbagai lokasi dapat dihitung selisih energi matahari yang diterima oleh atmosfer dengan yang dilepaskan kembali ke luar angkasa. Dikombinasikan dengan model iklim yang kompleks meliputi aktivitas atmosfer, laut, angin, arus, gas, dan zat pencemar lainnya, tampak bahwa atmosfer menyerap energi 0,85 watt/m2 (setara 7 triliun bola lampu 60 watt) lebih dari energi yang dilepaskan kembali. Penyerapan energi sudah terlalu besar sehingga peningkatan suhu bumi tak dapat dicegah kecuali manusia menghentikan produksi gas rumah kaca. Bukti ini semakin menguatkan pendapat bahwa aktivitas manusia adalah penyebab pemanasan global.
(bersambung)











Tidak ada komentar: