Mekar Jaya, Kampung Para Pesakitan
Oleh A Handoko
Wajah-wajah ramah tak sulit ditemui ketika kita masuk ke Kampung Mekar Jaya, Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Namun, di balik keramahan itu, warga memendam kegetiran yang amat dalam.
”Sudah setahun lebih kami diliputi rasa waswas. Kami ditetapkan menjadi tersangka kasus pendudukan dan pemanfaatan secara tidak sah kawasan hutan mangrove. Tidak tanggung-tanggung, ada 46 warga kampung ini yang ditetapkan menjadi tersangka, mulai dari warga biasa, mantan kepala desa, anggota badan perwakilan desa, hingga kepala desanya,” kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa Dabong Ridwanto, Minggu (14/3) malam. Ridwanto termasuk salah satu tersangka.
Kampung Mekar Jaya, ketika malam tiba, tidak terlalu terang walaupun jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara sudah masuk. Sebagian warga masih menggunakan listrik dari generator set atau genset milik bersama. Beberapa warganya memilih bertamu ke warga lain untuk sekadar mengobrol.
Sebagian dari mereka adalah tersangka itu. Obrolan mereka hari-hari ini masih seputar soal perkembangan kasus hukum yang mereka hadapi.
Para tersangka itu merupakan pemilik tambak-tambak udang dan ikan. Tambak itu dalam peta kawasan hutan lindung, seperti yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam Surat Keputusan Nomor 259/Kpts I/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Kalimantan Barat, masuk dalam kawasan hutan mangrove Simpang Cabe.
”Kami sudah tinggal di tempat ini jauh sebelum ada penetapan menjadi hutan lindung. Penetapan kawasan hutan lindung itu pun tidak pernah disampaikan kepada masyarakat,” tutur Ridwanto.
Walaupun para tersangka hanya dikenai status tahanan luar, mereka tetap dirundung rasa waswas. Pasalnya, mereka sebelumnya tak pernah berurusan dengan kasus hukum. Apalagi, perkembangan terakhir, kasus perusakan kawasan hutan mangrove yang kini menjadi tambak itu sudah diekspos ke Jakarta. Jika tidak ada perkembangan kasus dalam satu bulan ini, kasus ini akan ditarik ke Jakarta.
Ketua Adat Benua Dabong Abdul Latif Rahman Hud lalu menunjukkan salinan surat yang menunjukkan keberadaan perkampungan Dabong. Salinan surat itu berupa surat milik nomor 36 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu tahun 1937. Dalam surat itu disebutkan, Vr Anong binti Basoek memiliki tanah seluas 7.596 meter persegi yang ditumbuhi 225 pohon kelapa besar dan kecil.
”Warga yang tinggal di sini merupakan generasi ketujuh atau kedelapan. Jadi, agak membingungkan kalau kemudian kami yang sudah ada di sini sebelum aturan itu ada ditetapkan menjadi tersangka,” ujar Latif, yang juga menjadi tersangka. Lagi pula, ujar Latif, warga sama sekali tidak pernah membabat pohon-pohon mangrove di wilayah mereka.
”Mangrove yang ada di wilayah kami dibabat oleh sebuah perusahaan pemegang izin pada tahun 1981 hingga 1982. Pada tahun 1998, kami mulai memanfaatkan bekas hutan mangrove menjadi tambak karena hasil melaut semakin tidak menentu. Lagi pula, bekas hutan mangrove itu ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan,” kata Latif.
Biaya pembuatan tambak itu memang tidak sedikit, sekitar 18 juta per tambak seluas 1 hektar. Uang sebanyak itu, kata Latif, diperoleh warga dari cara meminjam kepada warga lain sehingga pembayaran kepada pemilik alat berat dilakukan secara bertahap. ”Tambak di Dabong ini tidak sekali jadi, tetapi sekitar dua tahun lebih karena ketika itu uang yang tersedia hanya sedikit. Ketika sudah ada uang, eskavator didatangkan, lalu nanti dikembalikan lagi, dan baru dipanggil lagi setelah uang terkumpul dari warga,” ujar Latif.
Setelah tambak jadi, para petambak yang semula adalah nelayan kemudian menekuni budidaya udang dan ikan bandeng. Bandeng disebar di tambak semata-mata hanya untuk meningkatkan kadar oksigen.
Hasil budidaya udang dan ikan bandeng itu, kata Umar Dani (35), warga lainnya, memang bisa mengatrol ekonomi warga. Setidaknya setiap kali panen, yakni selama tiga bulan, petambak bisa mendapatkan penghasilan setidaknya Rp 10 juta, dengan 40 persen di antaranya akan dipakai lagi untuk modal budidaya musim selanjutnya. Penghasilan ini lebih bagus bila dibandingkan dengan penghasilan sebagai nelayan yang tidak menentu.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Kalimantan Barat Soenarno mengatakan, dari citra satelit bisa terlihat perkembangan kondisi alam di Dabong dari tahun ke tahun. ”Kawasan hutan mangrove itu masih utuh tahun 1990-an. Saya juga sering melalui kawasan itu dalam perjalanan dari Pontianak ke Ketapang dan memang masih utuh. Silakan saja masyarakat mengklaim sudah puluhan bahkan ratusan tahun ada di sana, tetapi faktanya kan lain,” kata Soenarno.
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/18/ 0316259/mekar. jaya.kampung. para.pesakitan
Oleh A Handoko
Wajah-wajah ramah tak sulit ditemui ketika kita masuk ke Kampung Mekar Jaya, Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Namun, di balik keramahan itu, warga memendam kegetiran yang amat dalam.
”Sudah setahun lebih kami diliputi rasa waswas. Kami ditetapkan menjadi tersangka kasus pendudukan dan pemanfaatan secara tidak sah kawasan hutan mangrove. Tidak tanggung-tanggung, ada 46 warga kampung ini yang ditetapkan menjadi tersangka, mulai dari warga biasa, mantan kepala desa, anggota badan perwakilan desa, hingga kepala desanya,” kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa Dabong Ridwanto, Minggu (14/3) malam. Ridwanto termasuk salah satu tersangka.
Kampung Mekar Jaya, ketika malam tiba, tidak terlalu terang walaupun jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara sudah masuk. Sebagian warga masih menggunakan listrik dari generator set atau genset milik bersama. Beberapa warganya memilih bertamu ke warga lain untuk sekadar mengobrol.
Sebagian dari mereka adalah tersangka itu. Obrolan mereka hari-hari ini masih seputar soal perkembangan kasus hukum yang mereka hadapi.
Para tersangka itu merupakan pemilik tambak-tambak udang dan ikan. Tambak itu dalam peta kawasan hutan lindung, seperti yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam Surat Keputusan Nomor 259/Kpts I/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Kalimantan Barat, masuk dalam kawasan hutan mangrove Simpang Cabe.
”Kami sudah tinggal di tempat ini jauh sebelum ada penetapan menjadi hutan lindung. Penetapan kawasan hutan lindung itu pun tidak pernah disampaikan kepada masyarakat,” tutur Ridwanto.
Walaupun para tersangka hanya dikenai status tahanan luar, mereka tetap dirundung rasa waswas. Pasalnya, mereka sebelumnya tak pernah berurusan dengan kasus hukum. Apalagi, perkembangan terakhir, kasus perusakan kawasan hutan mangrove yang kini menjadi tambak itu sudah diekspos ke Jakarta. Jika tidak ada perkembangan kasus dalam satu bulan ini, kasus ini akan ditarik ke Jakarta.
Ketua Adat Benua Dabong Abdul Latif Rahman Hud lalu menunjukkan salinan surat yang menunjukkan keberadaan perkampungan Dabong. Salinan surat itu berupa surat milik nomor 36 yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kubu tahun 1937. Dalam surat itu disebutkan, Vr Anong binti Basoek memiliki tanah seluas 7.596 meter persegi yang ditumbuhi 225 pohon kelapa besar dan kecil.
”Warga yang tinggal di sini merupakan generasi ketujuh atau kedelapan. Jadi, agak membingungkan kalau kemudian kami yang sudah ada di sini sebelum aturan itu ada ditetapkan menjadi tersangka,” ujar Latif, yang juga menjadi tersangka. Lagi pula, ujar Latif, warga sama sekali tidak pernah membabat pohon-pohon mangrove di wilayah mereka.
”Mangrove yang ada di wilayah kami dibabat oleh sebuah perusahaan pemegang izin pada tahun 1981 hingga 1982. Pada tahun 1998, kami mulai memanfaatkan bekas hutan mangrove menjadi tambak karena hasil melaut semakin tidak menentu. Lagi pula, bekas hutan mangrove itu ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan,” kata Latif.
Biaya pembuatan tambak itu memang tidak sedikit, sekitar 18 juta per tambak seluas 1 hektar. Uang sebanyak itu, kata Latif, diperoleh warga dari cara meminjam kepada warga lain sehingga pembayaran kepada pemilik alat berat dilakukan secara bertahap. ”Tambak di Dabong ini tidak sekali jadi, tetapi sekitar dua tahun lebih karena ketika itu uang yang tersedia hanya sedikit. Ketika sudah ada uang, eskavator didatangkan, lalu nanti dikembalikan lagi, dan baru dipanggil lagi setelah uang terkumpul dari warga,” ujar Latif.
Setelah tambak jadi, para petambak yang semula adalah nelayan kemudian menekuni budidaya udang dan ikan bandeng. Bandeng disebar di tambak semata-mata hanya untuk meningkatkan kadar oksigen.
Hasil budidaya udang dan ikan bandeng itu, kata Umar Dani (35), warga lainnya, memang bisa mengatrol ekonomi warga. Setidaknya setiap kali panen, yakni selama tiga bulan, petambak bisa mendapatkan penghasilan setidaknya Rp 10 juta, dengan 40 persen di antaranya akan dipakai lagi untuk modal budidaya musim selanjutnya. Penghasilan ini lebih bagus bila dibandingkan dengan penghasilan sebagai nelayan yang tidak menentu.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Kalimantan Barat Soenarno mengatakan, dari citra satelit bisa terlihat perkembangan kondisi alam di Dabong dari tahun ke tahun. ”Kawasan hutan mangrove itu masih utuh tahun 1990-an. Saya juga sering melalui kawasan itu dalam perjalanan dari Pontianak ke Ketapang dan memang masih utuh. Silakan saja masyarakat mengklaim sudah puluhan bahkan ratusan tahun ada di sana, tetapi faktanya kan lain,” kata Soenarno.
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/18/ 0316259/mekar. jaya.kampung. para.pesakitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar