Oleh : YONVITNER
Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.
Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.
Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.
Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.
Indikator biologi ekologi
Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).
Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.
Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).
Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.
Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.
Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.
Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.
Intensitas tangkapan
Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.
Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.
Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.
Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.
Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.
Pengelolaan berkelanjutan
Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.
Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.
Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .
Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).
Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).
YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Sumber: http://cetak. kompas.com
Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.
Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.
Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.
Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.
Indikator biologi ekologi
Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).
Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.
Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).
Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.
Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.
Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.
Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.
Intensitas tangkapan
Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.
Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.
Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.
Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.
Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.
Pengelolaan berkelanjutan
Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.
Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.
Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .
Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).
Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).
YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Sumber: http://cetak. kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar