13 November, 2009

SELAMATKAN PESISIR DAN LAUT LAMBALE (KAB. BUTUR)

Oleh: Harmin Hari

(Dosen Fak. Perikanan & Ilmu Kelautan Unhalu (Masyarakat Butur di Kendari))


Belum lama ini saya bersama teman menyempatkan melakukan penelitian di Butur tentang “Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Butur”. Kegiatan yang melibatkan berbagai keahlian bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut Butur. Dalam suatu diskusi dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) di Kulisusu Barat tepatnya di Desa Kotawo, beberapa nelayan mengeluhkan maraknya illegal fishing dengan penggunaan potas (pandita/bahasa Buton Utara). Potas tersebut oleh masyarakat disana menyebutnya dengan nama dagang “Decis dan Thiodan (Racun serangga)” Anehnya kegiatan illegal tersebut dilakukan leluasa tanpa pengawasan apalagi sangsi hukum.
Parahnya pelakunya disinyalir dari aparat keamanan setempat. Demikian pengakuan nelayan disana yang tidak berdaya atas ulah perusak lingkungan tersebut. Decis digunakan di perairan hulu sungai dengan cara menabur kurang lebih 0,25 liter sekali operasi. Dampaknya adalah terjadi kematian massal ikan dan fauna perairan lainnya sampai radius 2 km. Organisme besar atau kecil semuanya mati dan hanyut terbawa arus kali. Putih seperti ampas kelapa ikan, udang dan biota lainnya. Juga Thiodan digunakan pula untuk menangkap udang. Caranya dengan mencampurkannya bersama pasir putih dan kemudian ditebar. Udang menggapnya sebagi mangsanya langsung memakannya. Dampaknya udang yang ada disekitar tersebut akan mati seketika.
Hal ini dilakukan berulang kali dan anehnya masyarakat juga tidak ada yang memprotesnya. Kalupun ada yang keberatan hanya nelayan tangkap yang merasakan langsung dampaknya yakni semakin kurangnya hasil tangkapan mereka, suara keluhan tersebut redup tak bermakna dikalahkan keserakahan perusak lingkungan Rintihan keberatanpun hanya dalam hati dan perusak lingkungan tersebut tidak pernah mendengar keluhan tersebut bahkan bangga karena tidak ada yang menegur apalagi dikenakan sangsi hukum Pengakuan nelayan penangkap kepiting bahwa 5 tahun lalu, mereka dapat menangkap kepiting 8 kg sekali operasi (selama 24 jam), sekarang ini syukur-syukur kalau mendapatkan 3 kg. Setiap kali penggunaan Decis atau Thiodan tersebut maka jangan harap akan dapat hasil tangkapan, sepertinya tidak adalagi ikan, kepiting atau udang. Sekarang dampaknya semakin luas dan sudah dirasakan petani budidaya rumput laut yang ada di sekitar muara kali Lambale dan Langkumbe. Mulai dikeluhkan karena rumput laut yang selama ini tumbuh subur, tiba-tiba gugur dan mati. Bukan hanya dua racun tersebut di atas, di beberapa wilayah Butur juga masih marak dilakukan pengeboman ikan, penggunaan tuba. Pelaku perakit bom memang kebanyakan berasal dari luar daerah seperti Saponda (Kab. Kendari), tetapi ada juga masyarakat Butur sendiri Kejadian ini sungguh merugikan baik secara ekonomi, sosial maupun ekologis Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah.
Pertama, Belum adanya kesadaran kolektif. Pepatah bijak bahwa “lingkungan merupakan titipan anak cucu kita dan bukan warisan nenek moyang kita” belum dipahami. Dapat dibayangkan bahwa ketika racun tersebut disebar dan telah mamatika ikan, justru masyarakat banyak memananen ikan-ikan, udang, kepiting. Belum ada inisiatif untuk kemudian mereka saling menyadarkan bahwa tindakan tersebut illegal fishing yang mesti menjadi musuh bersama. Belum ada kesadaran. Kalaupun ada yang insaf hanya sebatas pengetahuan dan belum dihayati apalagi diamalkan. Kesadaran terkalahkan oleh keserakahan. Kedua, Kurangnya Pengawasan/ Pemerintah tidak peduli. Bukan alasan lagi bahwa belum adanya pengawasan dari pemerintah. Karena seterisolir apapun, sekampungan apapaun suatu daerah pasti ada pemerintahnya minimal RT, apalagi setara kecamatan, sudah pasti ada pemerintah yang berwenang. Karena itu sangat menyayat hati, sangat murka kita ketika pengakuan warga setempat bahwa justru aparat keamanan sendiri yang selalu meracuni ikan di daerah hulu sungai Lambale. Ibarat membersihkan kotoran tidak akan mungkin bersih kalau sapunya saja kotor. Ketiga, Sangsi Hukum tidak tegak.
Sudah pasti hukum tidak akan jadi tegak karena penegaknya memang pelanggar hukum itu sendiri. Seharusnya yang merusak lingkungan akan dipenjarakan dan yang menyelamatkan lingkungan diberikan reward atau penghargaan. Hukuman yang berkaitan dengan perusak lingkungan sudah sangat jelas.
Denda materi dan hukuman kurungan imbalannya. Saya mengusulkan perlu dilakukan sangsi sosial. Misalnya saja orang yang melakukan illegal fishing dikucilkan masyarakat setempat, tidak dihadiri masyarakat kalau ada hayatan yang dibuatnya dan ikan hasil tangkapannya jangan dibeli. Mampukah kita mencermati tiga hal tersebut di atas. Diperlukan kerjasama masyarakat dan pemerintah, kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut, pemerintah harus peduli dan hukum ditegakan. Karenanya bila ini dilakukan semua maka masa depan lingkungan kita akan lestari tetapi bila tidak maka kehancuran lingkungan akan menjemput pula

Tidak ada komentar: