"Geography is destiny, posisi dan kondisi geografi suatu negara sangat menentukan maju-mundurnya suatu bangsa." Demikian diungkapkan Prof Walter Isard, seorang ahli ekonomi wilayah terkemuka di dunia dari 'Negeri Paman Sam', pada akhir 1960-an.
Indonesia adalah negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Sekitar tiga perempat wilayahnya berupa laut seluas 5,8 juta km2 yang mempersatukan 17.504 pulau dengan 95.161 km garis pantai, terpanjang kedua setelah Kanada. Dalam wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan itu terdapat potensi berbagai SDA dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar, yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. Sayangnya, sejak zaman kolonial sampai sekarang, paradigma pembangunan nasional terlalu berorientasi pada daratan (land-based development). Sementara itu, laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi SDA secara ekstraktif, pembuangan limbah ('keranjang sampah'), dan berlangsungnya berbagai kegiatan ilegal.
Boleh jadi, pola pembangunan berbasis daratan itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab kurang efisiennya pembangunan ekonomi Indonesia selama ini. Kita belum memanfaatkan fakta geografis negara maritim dan kepulauan terbesar di bumi ini sebagai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif bangsa.
Berkah ekonomi kelautan
Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.
Potensi produksi lestari sumber daya ikan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton/tahun atau 7,5% dari potensi lestari ikan laut dunia. Saat ini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 4,5 juta ton. Kendati belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari, jika dibandingkan dengan Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai yang hanya 2.100 km dan mampu menghasilkan devisa pariwisata bahari sebesar US$2 miliar/tahun, sejatinya potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sangat besar.
Sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut, potensinya diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik. Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai Barat Sumatra dan Selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar, melebihi seluruh potensi minyak dan gas bumi (Richardson, 2008).
Belum lagi potensi ekonomi dari industri dan jasa maritim (seperti galangan kapal, coastal and offshore engineering, pabrik peralatan dan mesin kapal serta perikanan, dan teknologi komunikasi dan informasi), pulau-pulau kecil, dan SDA nonkonvensional yang sangat besar. SDA nonkonvesional adalah SDA yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, tetapi karena belum ada teknologinya atau secara ekonomi belum menguntungkan sehingga belum bisa dimanfaatkan. Contohnya adalah deep sea water industries, gas hidrat dan biogenik, bioenergi dari alga laut, energi gelombang, energi pasang surut, OTEC (ocean thermal energy conversion), sumber-sumber mata air tawar di dasar laut (Becker and Carlin, 2004), energi listrik dari ion Na+ dan Cl-, energi nuklir, dan mineral laut.
Potensi total ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$800 miliar (Rp7.200 triliun) per tahun atau lebih daripada tujuh kali lipat APBN 2009 dan satu setengah kali PDB saat ini. Sementara itu, kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan mencapai 30 juta orang. Ekonomi kelautan semakin strategis bagi Indonesia, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Dewasa ini, 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$1.300 triliun per tahun.
Roadmap pembangunan kelautan
Sayang, potensi ekonomi kelautan yang begitu besar ibarat 'raksasa yang tertidur', itu belum dapat kita transformasikan menjadi sumber kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa. Sebabnya adalah ketidakseriusan kita dalam mendayagunakan sumber daya kelautan. Bayangkan, dari 114 pelabuhan umum yang kita miliki, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Pada 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. Sementara itu, Indonesia dengan panjang garis pantai 81 ribu km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan yang sekelas di Thailand dan Jepang. Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai.
Oleh sebab itu, kini saatnya kita melakukan reorientasi paradigma pembangunan (paradigm shift), dari pembangunan berbasis daratan menjadi pembangunan berbasis kelautan dan kepulauan. Kita galakkan pendayagunaan sumber daya kelautan melalui peningkatan alokasi anggaran publik, kredit, sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, dan management inputs lainnya berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara terpadu dan ramah lingkungan. Dalam jangka pendek, kita optimalkan pembangunan sektor-sektor ekonomi kelautan yang bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, seperti perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, pelayaran, pelabuhan, dan industri galangan kapal.
Sekadar contoh, dengan potensi total muatan nasional 502 juta ton/tahun (200 juta ton batu bara, 55 juta ton crude oil, 60 juta ton CPO, 7 juta ton produk perikanan, 8 juta ton LNG, 2 juta ton LPG, 120 juta ton containers, dan 50 juta ton general cargo), melalui pendekatan cluster maritime kita bisa meraup devisa perhubungan laut US$15 miliar setiap tahunnya (IMPC, 2008). Untuk dapat melayani kebutuhan angkutan muatan sebesar itu, diperlukan sekitar 650 kapal tambahan dengan total investasi sebesar US$5 miliar. Selain itu, cluster maritime juga akan meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja baru sedikitnya untuk 1 juta orang, membangkitkan sejumlah multiplier effects, dan mendongkrak daya saing ekonomi nasional. Cluster maritime juga dapat mempercepat pembentukan 24 pelabuhan sebagai hub port. Hingga kini, semua pelabuhan Indonesia masih berstatus sebagai feeder port. Ini menjadi salah satu penyebab utama yang membuat ekonomi kita kurang kompetitif karena hampir 70% dari ekspor barang dan komoditas Indonesia harus melalui Singapura.
Agar tidak selalu menjadi 'bangsa pemadam kebakaran', dalam jangka panjang kita kembangkan SDM dan teknologi kelautan mutakhir (future technology) seperti bioteknologi, teknologi informasi dan komunikasi, nannotechnology, coastal and ocean engineering, bioenergi dari alga, gas hidrat, dan teknologi pemanfaatan SDA nonkonvensional lainnya.
Dengan roadmap (peta jalan) pembangunan seperti itu, pulau-pulau kecil dan wilayah laut diyakini tidak lagi menjadi 'beban pembangunan' (cost center) serta tempat berlangsungnya perampokan, penyelundupan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya, tetapi akan menjadi pusat-pusat kemajuan dan kemakmuran yang tersebar di seluruh Nusantara. Wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang makmur (prosperity belt) secara otomatis bakal menjadi sabuk pengaman (security belt) yang semakin mengukuhkan kedaulatan NKRI. Lebih daripada itu, implementasi peta jalan pembangunan kelautan nasional ini secara cerdas dan konsisten juga diyakini mampu menghantarkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada 2025 bersama Brasil, Rusia, India, dan China.
Oleh Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS, Guru Besar Manajemen Pembangunan Kelautan IPB
Indonesia adalah negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Sekitar tiga perempat wilayahnya berupa laut seluas 5,8 juta km2 yang mempersatukan 17.504 pulau dengan 95.161 km garis pantai, terpanjang kedua setelah Kanada. Dalam wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan itu terdapat potensi berbagai SDA dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar, yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. Sayangnya, sejak zaman kolonial sampai sekarang, paradigma pembangunan nasional terlalu berorientasi pada daratan (land-based development). Sementara itu, laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi SDA secara ekstraktif, pembuangan limbah ('keranjang sampah'), dan berlangsungnya berbagai kegiatan ilegal.
Boleh jadi, pola pembangunan berbasis daratan itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab kurang efisiennya pembangunan ekonomi Indonesia selama ini. Kita belum memanfaatkan fakta geografis negara maritim dan kepulauan terbesar di bumi ini sebagai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif bangsa.
Berkah ekonomi kelautan
Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.
Potensi produksi lestari sumber daya ikan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton/tahun atau 7,5% dari potensi lestari ikan laut dunia. Saat ini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 4,5 juta ton. Kendati belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari, jika dibandingkan dengan Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai yang hanya 2.100 km dan mampu menghasilkan devisa pariwisata bahari sebesar US$2 miliar/tahun, sejatinya potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sangat besar.
Sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut, potensinya diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik. Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai Barat Sumatra dan Selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar, melebihi seluruh potensi minyak dan gas bumi (Richardson, 2008).
Belum lagi potensi ekonomi dari industri dan jasa maritim (seperti galangan kapal, coastal and offshore engineering, pabrik peralatan dan mesin kapal serta perikanan, dan teknologi komunikasi dan informasi), pulau-pulau kecil, dan SDA nonkonvensional yang sangat besar. SDA nonkonvesional adalah SDA yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, tetapi karena belum ada teknologinya atau secara ekonomi belum menguntungkan sehingga belum bisa dimanfaatkan. Contohnya adalah deep sea water industries, gas hidrat dan biogenik, bioenergi dari alga laut, energi gelombang, energi pasang surut, OTEC (ocean thermal energy conversion), sumber-sumber mata air tawar di dasar laut (Becker and Carlin, 2004), energi listrik dari ion Na+ dan Cl-, energi nuklir, dan mineral laut.
Potensi total ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$800 miliar (Rp7.200 triliun) per tahun atau lebih daripada tujuh kali lipat APBN 2009 dan satu setengah kali PDB saat ini. Sementara itu, kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan mencapai 30 juta orang. Ekonomi kelautan semakin strategis bagi Indonesia, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Dewasa ini, 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$1.300 triliun per tahun.
Roadmap pembangunan kelautan
Sayang, potensi ekonomi kelautan yang begitu besar ibarat 'raksasa yang tertidur', itu belum dapat kita transformasikan menjadi sumber kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa. Sebabnya adalah ketidakseriusan kita dalam mendayagunakan sumber daya kelautan. Bayangkan, dari 114 pelabuhan umum yang kita miliki, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Pada 2000, Jepang dengan panjang garis pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan. Artinya pada setiap 11 km garis pantai terdapat satu pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai 52 pelabuhan perikanan, yang berarti satu pelabuhan perikanan untuk setiap 50 km garis pantai. Sementara itu, Indonesia dengan panjang garis pantai 81 ribu km hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan yang sekelas di Thailand dan Jepang. Artinya satu pelabuhan perikanan untuk setiap 4.500 km garis pantai.
Oleh sebab itu, kini saatnya kita melakukan reorientasi paradigma pembangunan (paradigm shift), dari pembangunan berbasis daratan menjadi pembangunan berbasis kelautan dan kepulauan. Kita galakkan pendayagunaan sumber daya kelautan melalui peningkatan alokasi anggaran publik, kredit, sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur, dan management inputs lainnya berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara terpadu dan ramah lingkungan. Dalam jangka pendek, kita optimalkan pembangunan sektor-sektor ekonomi kelautan yang bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, seperti perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, pelayaran, pelabuhan, dan industri galangan kapal.
Sekadar contoh, dengan potensi total muatan nasional 502 juta ton/tahun (200 juta ton batu bara, 55 juta ton crude oil, 60 juta ton CPO, 7 juta ton produk perikanan, 8 juta ton LNG, 2 juta ton LPG, 120 juta ton containers, dan 50 juta ton general cargo), melalui pendekatan cluster maritime kita bisa meraup devisa perhubungan laut US$15 miliar setiap tahunnya (IMPC, 2008). Untuk dapat melayani kebutuhan angkutan muatan sebesar itu, diperlukan sekitar 650 kapal tambahan dengan total investasi sebesar US$5 miliar. Selain itu, cluster maritime juga akan meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja baru sedikitnya untuk 1 juta orang, membangkitkan sejumlah multiplier effects, dan mendongkrak daya saing ekonomi nasional. Cluster maritime juga dapat mempercepat pembentukan 24 pelabuhan sebagai hub port. Hingga kini, semua pelabuhan Indonesia masih berstatus sebagai feeder port. Ini menjadi salah satu penyebab utama yang membuat ekonomi kita kurang kompetitif karena hampir 70% dari ekspor barang dan komoditas Indonesia harus melalui Singapura.
Agar tidak selalu menjadi 'bangsa pemadam kebakaran', dalam jangka panjang kita kembangkan SDM dan teknologi kelautan mutakhir (future technology) seperti bioteknologi, teknologi informasi dan komunikasi, nannotechnology, coastal and ocean engineering, bioenergi dari alga, gas hidrat, dan teknologi pemanfaatan SDA nonkonvensional lainnya.
Dengan roadmap (peta jalan) pembangunan seperti itu, pulau-pulau kecil dan wilayah laut diyakini tidak lagi menjadi 'beban pembangunan' (cost center) serta tempat berlangsungnya perampokan, penyelundupan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya, tetapi akan menjadi pusat-pusat kemajuan dan kemakmuran yang tersebar di seluruh Nusantara. Wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang makmur (prosperity belt) secara otomatis bakal menjadi sabuk pengaman (security belt) yang semakin mengukuhkan kedaulatan NKRI. Lebih daripada itu, implementasi peta jalan pembangunan kelautan nasional ini secara cerdas dan konsisten juga diyakini mampu menghantarkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada 2025 bersama Brasil, Rusia, India, dan China.
Oleh Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS, Guru Besar Manajemen Pembangunan Kelautan IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar