Oleh Ahmad Yunus
Ernest Hemingway, seorang novelis, menulis sebuah kisah ciamik tentang pergulatan seorang lelaki tua dan laut. Novel ini mengisahkan tentang gejolak bathin dan fisik manusia tentang makna sebuah perjalanan hidup. Laut memberikan makna yang luas, kehidupan alam sejati. Tanpa aturan. Tanpa tapal batas.
Lelaki tua, yang menjelang kehidupannya akan berakhir, harus menentukan arah hidup. Ke mana ia akan melangkah setelah kematian tiba menjemputnya. Lelaki tua. Kesendirian. Laut lepas. Memberikan ikatan yang kuat. Sekaligus sebuah kegetiran.
Lelaki tua tak mudah menaklukan laut. Ia terlalu kuat. Dan lelaki tua terlalu ringkih. Bahkan, sampan yang ia tumpangi, terlalu rapuh untuk menahan gempuran ombak. Dan gemuruh badai. Laut dengan mudah menelan sampan dan lelaki tua. Namun, laut juga tahu, kisah perjalanan lelaki tua belum berhenti di sana. Bahkan ketika kematian telah menjemputnya.
Ernest hanya menulis dalam bentuk sebuah novel. Saya tidak tahu, apa kisah “The Old Men and The Sea” adalah tentang dirinya. Dimana, ia menemukan inspirasi ketika memulai novel legendaris itu?
Saya teringat pada perjalanan Fadzham Fadlil. Seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap karena terbakar matahari, dan menemukan hidupnya di atas laut. Ia melakukan perjalanan dari New York hingga ke Indonesia. Seorang diri dengan kapal layar.
Kisahnya, petualangannya tak jauh-jauh amat seperti kisah Robinson Crusoe. Dan ia sendiri pengagum kisah petualangan itu. Beberapa kali, laut dan badai hampir menghempaskan kapalnya. Dan cuaca dingin mengakibatkan hemothermia tinggi.
Saya mengenal dia di Bandung. Dan sempat menulis kisah perjalanannya untuk Majalah Playboy Indonesia. Bahkan, dia sempat mengajak saya untuk ikut berlayar. Namun, sampai sekarang belum juga terwujud.
Fadzam Fadlil-akrab dipanggil, Sam- melalui pahit manis perjalanannya itu. Ia menutup sepenggal kalimat dalam buku travelingnya. The last but not least, the journeys more important than the destination it self.
Ernest Hemingway dan Fadzham Fadlil, menulis tentang dunia laut, kapal, dan manusia. Sebuah kisah tentang kehidupan. Wajah dari sebuah perjalanan.
Saya, bukan anak yang tumbuh dan dekat dengan laut. Bahkan, gambaran laut dalam benak saya, selalu menakutkan. Dunia yang penuh mitos dan kegetiran. Mungkin, dunia laut hanya cukup dinikmati melalui buku saja. Sambil minum kopi dan kudapan. Namun, perjalanan “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa” tak bisa menghindari laut. Perjalanan ini akan memakan waktu delapan bulan. Berkeliling Indonesia ke 100 pulau. Naik sepeda motor.
Kami-Saya dan Farid Gaban-melintasi dari satu pulau ke pulau lainnya. Dan singgah untuk melihat secara dekat bagaimana kehidupan manusia di 100 pulau itu. Kapal, sesuatu yang jarang kami tumpangi, akhirnya menjadi ruang yang dekat dengan kehidupan saya. Sebuah ruang komunal bersama. Perjumpaan dengan seribu wajah. Bahasa. Etnisitas. Dan segala tetek bengek lika liku kehidupan dalam kapal.
Kisah ini saya temukan dalam kapal perintis. Kapal pabrikan Jepang berkekuatan 900 ton. Namanya, Terigas. Pengelolanya PT. Mitra Nusantara Raya, sebuah perusahaan pelayaran nasional. Ia melayani pulau-pulau kecil. Dari Bengkulu, Pulau Enggano, Kepulauan Mentawai, Tanjung Pinang, Pulau Terempak, Pulau Midai, Pulau Laut, Pulau Sedanau, Ranai-Natuna, Pulau Subi hingga menyebrang ke Sintete di Kalimantan Barat.
Kapal ini bukan kapal penumpang. Melainkan kapal pengangkut barang. Mulai dari telur, terigu, beras, sabun mandi, minyak goreng, oli, sampai kertas. Namun, entah ide siapa, kapal ini akhirnya menjadi kapal penumpang orang. Di atas geladak kapal terbentang terpal berwarna biru. Mirip acara hajatan di kampung. Penumpang tidur, duduk, berdiri, jongkok, tengkurap, merokok, makan, minum bahkan mungkin pacaran di bawah terpal itu.
Republik ini tak mampu menyediakan sebuah kapal yang nyaman dan bersih. Sekaligus aman, banyak kasus kecelakaan akibat kapal penumpang tenggelam. Kalau lagi banyak muatan, alamak, mendadak geladak kapal seperti pasar. Tua muda. Lelaki perempuan. Anak-anak hingga bayi mungil berserakan macam ikan pindang. Berdesakan dan berebut tempat. Geladak juga penuh dengan dengan barang bawaan penumpang.
Paling menyedihkan adalah perempuan usia muda-tua, ibu menyusui dan tentunya anak-anak. Perempuan tak punya tempat khusus. Mulai dari toilet, kamar mandi, hingga tempat untuk merebahkan badan. Mereka juga sulit untuk naik turun ke atas geladak. Tingginya sekitar satu meter dan sempit. Sisi kiri kanan badan kapal dibatasi pagar besi. Kalau tak hati-hati bisa terkilir atau jatuh ke laut. Jalan sempit ini juga kotor penuh sampah. Terkadang licin akibat muntah penumpang.
Pemandangan terasa pengap. Udara kotor. Banyak debu. Angin laut langsung menerpa wajah. Kalau badai datang, angin terasa kuat dan cukup dingin. Saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib orang yang punya penyakit alergi. Atau terbiasa hidup mapan, naik mobil pribadi, ada fasilitas pendingin ruangan, biasa naik pesawat terbang kelas satu, dan kemudian mencoba mencicipi tidur di atas geladak kapal ini.
Makan mie instant setiap hari, minum kopi dalam plastik, mandi dalam bak air yang keruh, buang hajat di toilet berukuran 1 x 1.5 meter persegi, atau makan ransum gratisan; nasi dengan menu kacang goreng dan satu sendok asin teri. Laju kapal ini seperti siput. Kalau gelombang keras, kapal goyang. Bikin mual. Bau muntah orang terasa menempel di hidung. Juga bau pesing yang datang dari mana.
Hiburan selama perjalanan adalah melihat matahari terbenam. Ini satu-satunya yang menarik perhatian. Kalau cuaca bagus, matahari seperti membakar langit. Lambat laun menjadi siluet. Dan meninggalkan warna emas, kuning dan biru kuat. Rasanya teduh melihat ada orang yang mengaji, suaranya terdengar samar-samar. Mendengar adzan Maghrib menjelang senja. Dan melihat orang yang tengah shalat sambil duduk menghadap kiblat.
Kami melewati kondisi seperti ini selama enam malam tujuh hari. Rata-rata untuk menempuh satu pulau ke pulau lainnya sekitar 12 jam. Setiap singgah sekitar dua hingga enam jam. Menurunkan penumpang, barang dagang, isi air bersih hingga menampung penumpang baru. Dua kali mandi dalam kapal. Dua kali berenang di pantai yang jernih.
Sedih dan pahit melihatnya. Pemerintahan Indonesia tak becus menyediakan fasilitas publik yang benar. Mungkin juga tutup mata untuk urusan seperti ini. Dan lebih penting suka mengobarkan perang terhadap terorisme. Begitu juga dengan media yang sama sekali tidak menjalankan jurnalismenya. Dan melihat isu publik, seperti transportasi laut, kurang penting dan relevan.
Tapi warga republik ini tak punya pilihan. Ini satu-satunya transportasi umum. Kapal ini yang membantu mendorong roda geliat kehidupan di pulau-pulau kecil itu. Mengantarkan penumpang untuk melepas rasa rindu dengan keluarganya di rumah. Memutarkan ekonomi lokal.
Selama perjalanan, tak pernah saya melihat penyelenggara negara yang menggunakan kapal perintis ini. Kebanyakan pedagang dan masyarakat biasa saja. Warga yang biasa bertelanjang dada. Dan membiarkan bulu keteknya dilihat orang. Pedagang yang menjajakan barang dagangannya- jualan kerupuk, jeruk, semangka-. Dan ketika laku, si penjual langsung merapal doa, agar si pembeli rejekinya bertambah dan menjadi sholehah.
Dalam geladak saling bercengkrama, menatap, memberikan senyum dan sentuhan dengan cara sendirinya. Tanpa ada yang mengatur dan memimpin. Ada Jawa. Melayu. Tionghoa. Sunda. Acheh. Seperti keluarga besar. Tak ada prasangka ras, perselisihan agama, maupun perbedaan pandangan politik. Kecuali, waspada agar barang bawaan pribadi hilang atau tertukar. Inilah wajah Indonesia di atas geladak kapal. Rasanya seperti sambal. Kalau dirasakan terlalu dalam bisa mencret dan sakit perut.
Orang macam saya juga tak bisa protes. Apalagi mengeluh minta pelayanan khusus. Cukup melihat. Mendengar. Merasakan sedikit mual. Dan menulis dengan senang hati di atas geladak kapal. Diantara lalu lalang dan gemuruh suara orang yang bercengkrama. Dan jerit tangisan seorang bayi kecil yang merengek. Cukup tersenyum melihat wajah Indonesia yang jauh dari Jakarta. ***
Sumber: http://zamrud- khatulistiwa. or.id/?p= 773
Ernest Hemingway, seorang novelis, menulis sebuah kisah ciamik tentang pergulatan seorang lelaki tua dan laut. Novel ini mengisahkan tentang gejolak bathin dan fisik manusia tentang makna sebuah perjalanan hidup. Laut memberikan makna yang luas, kehidupan alam sejati. Tanpa aturan. Tanpa tapal batas.
Lelaki tua, yang menjelang kehidupannya akan berakhir, harus menentukan arah hidup. Ke mana ia akan melangkah setelah kematian tiba menjemputnya. Lelaki tua. Kesendirian. Laut lepas. Memberikan ikatan yang kuat. Sekaligus sebuah kegetiran.
Lelaki tua tak mudah menaklukan laut. Ia terlalu kuat. Dan lelaki tua terlalu ringkih. Bahkan, sampan yang ia tumpangi, terlalu rapuh untuk menahan gempuran ombak. Dan gemuruh badai. Laut dengan mudah menelan sampan dan lelaki tua. Namun, laut juga tahu, kisah perjalanan lelaki tua belum berhenti di sana. Bahkan ketika kematian telah menjemputnya.
Ernest hanya menulis dalam bentuk sebuah novel. Saya tidak tahu, apa kisah “The Old Men and The Sea” adalah tentang dirinya. Dimana, ia menemukan inspirasi ketika memulai novel legendaris itu?
Saya teringat pada perjalanan Fadzham Fadlil. Seorang lelaki paruh baya, berkulit gelap karena terbakar matahari, dan menemukan hidupnya di atas laut. Ia melakukan perjalanan dari New York hingga ke Indonesia. Seorang diri dengan kapal layar.
Kisahnya, petualangannya tak jauh-jauh amat seperti kisah Robinson Crusoe. Dan ia sendiri pengagum kisah petualangan itu. Beberapa kali, laut dan badai hampir menghempaskan kapalnya. Dan cuaca dingin mengakibatkan hemothermia tinggi.
Saya mengenal dia di Bandung. Dan sempat menulis kisah perjalanannya untuk Majalah Playboy Indonesia. Bahkan, dia sempat mengajak saya untuk ikut berlayar. Namun, sampai sekarang belum juga terwujud.
Fadzam Fadlil-akrab dipanggil, Sam- melalui pahit manis perjalanannya itu. Ia menutup sepenggal kalimat dalam buku travelingnya. The last but not least, the journeys more important than the destination it self.
Ernest Hemingway dan Fadzham Fadlil, menulis tentang dunia laut, kapal, dan manusia. Sebuah kisah tentang kehidupan. Wajah dari sebuah perjalanan.
Saya, bukan anak yang tumbuh dan dekat dengan laut. Bahkan, gambaran laut dalam benak saya, selalu menakutkan. Dunia yang penuh mitos dan kegetiran. Mungkin, dunia laut hanya cukup dinikmati melalui buku saja. Sambil minum kopi dan kudapan. Namun, perjalanan “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa” tak bisa menghindari laut. Perjalanan ini akan memakan waktu delapan bulan. Berkeliling Indonesia ke 100 pulau. Naik sepeda motor.
Kami-Saya dan Farid Gaban-melintasi dari satu pulau ke pulau lainnya. Dan singgah untuk melihat secara dekat bagaimana kehidupan manusia di 100 pulau itu. Kapal, sesuatu yang jarang kami tumpangi, akhirnya menjadi ruang yang dekat dengan kehidupan saya. Sebuah ruang komunal bersama. Perjumpaan dengan seribu wajah. Bahasa. Etnisitas. Dan segala tetek bengek lika liku kehidupan dalam kapal.
Kisah ini saya temukan dalam kapal perintis. Kapal pabrikan Jepang berkekuatan 900 ton. Namanya, Terigas. Pengelolanya PT. Mitra Nusantara Raya, sebuah perusahaan pelayaran nasional. Ia melayani pulau-pulau kecil. Dari Bengkulu, Pulau Enggano, Kepulauan Mentawai, Tanjung Pinang, Pulau Terempak, Pulau Midai, Pulau Laut, Pulau Sedanau, Ranai-Natuna, Pulau Subi hingga menyebrang ke Sintete di Kalimantan Barat.
Kapal ini bukan kapal penumpang. Melainkan kapal pengangkut barang. Mulai dari telur, terigu, beras, sabun mandi, minyak goreng, oli, sampai kertas. Namun, entah ide siapa, kapal ini akhirnya menjadi kapal penumpang orang. Di atas geladak kapal terbentang terpal berwarna biru. Mirip acara hajatan di kampung. Penumpang tidur, duduk, berdiri, jongkok, tengkurap, merokok, makan, minum bahkan mungkin pacaran di bawah terpal itu.
Republik ini tak mampu menyediakan sebuah kapal yang nyaman dan bersih. Sekaligus aman, banyak kasus kecelakaan akibat kapal penumpang tenggelam. Kalau lagi banyak muatan, alamak, mendadak geladak kapal seperti pasar. Tua muda. Lelaki perempuan. Anak-anak hingga bayi mungil berserakan macam ikan pindang. Berdesakan dan berebut tempat. Geladak juga penuh dengan dengan barang bawaan penumpang.
Paling menyedihkan adalah perempuan usia muda-tua, ibu menyusui dan tentunya anak-anak. Perempuan tak punya tempat khusus. Mulai dari toilet, kamar mandi, hingga tempat untuk merebahkan badan. Mereka juga sulit untuk naik turun ke atas geladak. Tingginya sekitar satu meter dan sempit. Sisi kiri kanan badan kapal dibatasi pagar besi. Kalau tak hati-hati bisa terkilir atau jatuh ke laut. Jalan sempit ini juga kotor penuh sampah. Terkadang licin akibat muntah penumpang.
Pemandangan terasa pengap. Udara kotor. Banyak debu. Angin laut langsung menerpa wajah. Kalau badai datang, angin terasa kuat dan cukup dingin. Saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib orang yang punya penyakit alergi. Atau terbiasa hidup mapan, naik mobil pribadi, ada fasilitas pendingin ruangan, biasa naik pesawat terbang kelas satu, dan kemudian mencoba mencicipi tidur di atas geladak kapal ini.
Makan mie instant setiap hari, minum kopi dalam plastik, mandi dalam bak air yang keruh, buang hajat di toilet berukuran 1 x 1.5 meter persegi, atau makan ransum gratisan; nasi dengan menu kacang goreng dan satu sendok asin teri. Laju kapal ini seperti siput. Kalau gelombang keras, kapal goyang. Bikin mual. Bau muntah orang terasa menempel di hidung. Juga bau pesing yang datang dari mana.
Hiburan selama perjalanan adalah melihat matahari terbenam. Ini satu-satunya yang menarik perhatian. Kalau cuaca bagus, matahari seperti membakar langit. Lambat laun menjadi siluet. Dan meninggalkan warna emas, kuning dan biru kuat. Rasanya teduh melihat ada orang yang mengaji, suaranya terdengar samar-samar. Mendengar adzan Maghrib menjelang senja. Dan melihat orang yang tengah shalat sambil duduk menghadap kiblat.
Kami melewati kondisi seperti ini selama enam malam tujuh hari. Rata-rata untuk menempuh satu pulau ke pulau lainnya sekitar 12 jam. Setiap singgah sekitar dua hingga enam jam. Menurunkan penumpang, barang dagang, isi air bersih hingga menampung penumpang baru. Dua kali mandi dalam kapal. Dua kali berenang di pantai yang jernih.
Sedih dan pahit melihatnya. Pemerintahan Indonesia tak becus menyediakan fasilitas publik yang benar. Mungkin juga tutup mata untuk urusan seperti ini. Dan lebih penting suka mengobarkan perang terhadap terorisme. Begitu juga dengan media yang sama sekali tidak menjalankan jurnalismenya. Dan melihat isu publik, seperti transportasi laut, kurang penting dan relevan.
Tapi warga republik ini tak punya pilihan. Ini satu-satunya transportasi umum. Kapal ini yang membantu mendorong roda geliat kehidupan di pulau-pulau kecil itu. Mengantarkan penumpang untuk melepas rasa rindu dengan keluarganya di rumah. Memutarkan ekonomi lokal.
Selama perjalanan, tak pernah saya melihat penyelenggara negara yang menggunakan kapal perintis ini. Kebanyakan pedagang dan masyarakat biasa saja. Warga yang biasa bertelanjang dada. Dan membiarkan bulu keteknya dilihat orang. Pedagang yang menjajakan barang dagangannya- jualan kerupuk, jeruk, semangka-. Dan ketika laku, si penjual langsung merapal doa, agar si pembeli rejekinya bertambah dan menjadi sholehah.
Dalam geladak saling bercengkrama, menatap, memberikan senyum dan sentuhan dengan cara sendirinya. Tanpa ada yang mengatur dan memimpin. Ada Jawa. Melayu. Tionghoa. Sunda. Acheh. Seperti keluarga besar. Tak ada prasangka ras, perselisihan agama, maupun perbedaan pandangan politik. Kecuali, waspada agar barang bawaan pribadi hilang atau tertukar. Inilah wajah Indonesia di atas geladak kapal. Rasanya seperti sambal. Kalau dirasakan terlalu dalam bisa mencret dan sakit perut.
Orang macam saya juga tak bisa protes. Apalagi mengeluh minta pelayanan khusus. Cukup melihat. Mendengar. Merasakan sedikit mual. Dan menulis dengan senang hati di atas geladak kapal. Diantara lalu lalang dan gemuruh suara orang yang bercengkrama. Dan jerit tangisan seorang bayi kecil yang merengek. Cukup tersenyum melihat wajah Indonesia yang jauh dari Jakarta. ***
Sumber: http://zamrud- khatulistiwa. or.id/?p= 773
Tidak ada komentar:
Posting Komentar