31 Agustus, 2009

SEMANGAT BAHARI: Saatnya Berpaling (Lagi) ke Laut

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Kejayaan nenek moyang bangsa ini sebagai pelaut ulung bukanlah cerita asing di kalangan anak-anak muda. Akan tetapi, sepertinya bangsa ini menganggap kejayaan masa lalu itu berhenti hanya sebagai sejarah. Generasi muda sekarang pun berpaling makin jauh sebagai cucu dari para pelaut mumpuni yang pernah disegani bangsa-bangsa di dunia.

Kesadaran wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahnya berupa laut, begitu jauh dari kalangan anak-anak muda. Sebut saja mahasiswa. Kenyataan itu tidaklah mengherankan karena bangsa ini memang tidak jua berpaling pada kekuatan sebagai negara maritim.

Saat bicara soal lautan Indonesia yang luas, yang ada di benak anak-anak muda baru sebatas kekaguman betapa sebenarnya Indonesia ini luar biasa. Angan-angan pun melambung, membayangkan betapa Indonesia bisa jadi negara makmur jika mampu memanfaatkan sumber daya alam di laut yang belum banyak ”dilirik” dalam pembangunan bangsa.

Pengenalan dan pemahaman geografis Indonesia, yang mestinya juga tidak mengabaikan laut, belum tumbuh dengan baik. Dalam realitas kehidupan masyarakat, justru terlihat nyata betapa timpangnya pembangunan dan kemajuan antara masyarakat yang hidup di sekitar laut dan darat.

Akibatnya, pengembangan laut bagi kesejahteraan bangsa pun semakin jauh. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang berpihak pada pengembangan potensi bahari masih minim. Pengembangan ilmu kelautan dalam berbagai aspek juga terbatas, antara lain karena bidang ini tak diminati banyak generasi muda sebagai pilihan studi.

Perasaan miris juga muncul saat melihat kehidupan masyarakat di wilayah kepulauan yang lambat berkembang. Tidak sedikit yang masih terisolasi dengan pulau-pulau lain.

Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah saat menerima rombongan Arung Sejarah Bahari IV/2009, akhir Juli lalu, mengakui memang tidak mudah mengelola sebuah provinsi maritim. Butuh biaya besar. Namun, hingga saat ini anggaran yang dikucurkan pusat untuk wilayah- wilayah maritim masih minim.

Sebagai contoh, untuk menyediakan alat transportasi di darat, seperti bus ber-AC dengan kapasitas 60 tempat duduk, hanya butuh biaya dalam hitungan ratusan juta rupiah. Namun, untuk kapal dengan kapasitas sama bisa mencapai Rp 4,5 miliar. Belum lagi harus disediakan pelabuhan, lalu menjaga supaya laut tidak dangkal.

Pembangunan infrastrukturnya mahal. Meskipun punya banyak sumber daya alam, susah juga memanfaatkannya karena kendala transportasi dan fasilitas lainnya. Potensi wilayah-wilayah maritim diakui besar, tapi baru sebatas pengakuan, belum sampai pada dukungan nyata untuk bisa mengoptimalkan laut dan potensinya.

”Kami terus berjuang supaya pemerintah pusat memberikan perhatian yang besar untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur serta hasil laut. Jika tidak ada keberpihakan, banyak warga pulau yang terbelakang terus,” kata Ismeth.

Kondisi itu jauh berbeda dengan Singapura, sebagai negara tetangga yang cukup dekat dengan Indonesia. Peranan pulau-pulau yang tadinya penting dalam jalur perdagangan, termasuk di Kepulauan Riau, tenggelam dengan mencuatnya Singapura. Negeri Singa itu justru berkembang jadi negara maju dengan pelabuhan yang penting bagi dunia.

Wilayah kepulauan yang didominasi perairan membutuhkan pengembangan jaringan pelayaran sebagai salah satu penentu dinamika ekonomi di sana. Dalam dinamika yang tumbuh itu, memungkinkan interaksi dari banyak pihak, yang memunculkan budaya baru bagi berkembangnya peradaban umat manusia.

Peranan Indonesia dalam perniagaan dan peradaban sudah terbukti pada masa lalu. Bukan hanya maju dalam perniagaan semata. Dalam penyebaran budaya juga diakui. Sebagai misal, bahasa Melayu yang berkembang sebagai bahasa penghubung antara pelaut dan pedagang yang kemudian membentuk jaringan kebahasaan di bumi Nusantara hingga ke Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Semangat kebaharian

Kecenderungan yang terus berlanjut di mana orientasi pembangunan lebih terfokus ke darat dan mengabaikan watak dasar keindonesiaan sebagai negara kepulauan yang berbasis maritim mestinya segera dihentikan. Di tangan generasi muda sebagai penerus bangsa seharusnya perubahan itu disiapkan untuk mewujudkan kekuatan Indonesia kembali sebagai negara maritim yang unggul dalam perdagangan dunia.

”Tidak banyak yang saya ketahui soal sektor bahari Indonesia. Sebagai anak muda yang besar di kota, saya senang menikmati pantai yang di sekitarnya tumbuh resor-resor bagus. Tetapi, kini saya baru tahu bahwa pemerintah tidak seharusnya menganaktirikan masyarakat yang tinggal di sekitar laut,” kata Asrining Tyas, mahasiswa Universitas Indonesia.

Kesadaran yang diungkapkan Tyas muncul saat dirinya bersama sekitar 100 mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia mengikuti kegiatan Arung Sejarah Bahari IV/2009 di Kepulauan Riau. Perjalanan menyusuri jejak kejayaan bangsa dalam kebaharian seketika menyentak kesadaran mereka.

Mahasiswa lain, Diana AP Korawa, sebenarnya tidak asing dengan laut. Di masa kecilnya di Kampung Samau, Biak Numfor, Papua, mahasiswa tingkat akhir Universitas Cenderawasih itu menikmati mandi di pantai. Dia juga terbiasa melihat masyarakat yang mengandalkan hidup dari hasil laut dengan mengekspor ikan ke negara tetangga.

Namun, seiring waktu karena keterbatasan fasilitas dan pengembangan laut di wilayahnya, nasib nelayan pun lama-lama terpuruk. Kondisi itu membuat Diana sebagai anak muda tidak tertarik untuk bisa mengeksplorasi potensi laut.

Akan tetapi, ketidakpedulian itu seketika memudar saat pengenalan kebaharian diterimanya dalam kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Geografi Sejarah Ditjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

”Saya baru tersadar, seharusnya kita mencintai laut. Saya baru merasa terbuka pikiran untuk bisa menoleh kembali ke laut. Setidaknya, untuk penyusunan skripsi, saya mau membuat penelitian yang berhubungan dengan laut,” ujar Diana yang belajar di bidang pendidikan ilmu pengetahuan sosial.

Tengku Munawar, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, menekankan bangsa ini harus berpaling kembali ke laut. ”Di zaman dulu lebih banyak perahu daripada jalan di darat. Tetapi sekarang sangat timpang,” kata mahasiswa asal Pulau Lingga, Kepulauan Riau, itu.

Munawar juga melihat anak-anak pulau sendiri lebih tertarik untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau lainnya daripada berkecimpung di laut. Pasalnya, kehidupan nelayan yang ada di pulau jauh dari sejahtera karena terbatasnya peralatan dan keterampilan memberdayakan hidup dari hasil laut.

Kesempatan untuk bisa mengarungi sejarah kejayaan kerajaan maritim Indonesia membuat mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu itu mau berefleksi apa yang sesungguhnya terlupakan dalam pembangunan bangsa ini. Dalam keberbedaan disiplin ilmu, mahasiswa diajak untuk bisa bekerja sama mengembangkan potensi laut yang masih terlupakan.

Endjat Djaenuderadjat, Direktur Sejarah Geografi, mengatakan bahwa semangat kebaharian mesti ditumbuhkan di kalangan generasi muda. Tujuannya supaya mereka paham tentang peradaban maritim dan potensi kelautan dalam peningkatan sumber daya ekonomi.
Selama ini pembangunan terhadap peradaban bahari seolah-olah ditinggalkan sehingga keberadaan pulau-pulau terluar dan pulau kecil sering diabaikan. Begitu juga dengan penggalian sumber daya bahari yang berlimpah belum tergarap dengan baik.

Laut hendaknya tidak hanya dilihat sebagai kumpulan air yang sangat luas. Dalam kebaharian juga menyangkut aspek-aspek kehidupan yang ada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kegiatan Arung Sejarah Bahari ini sebagai kegiatan mengarungi sejarah kehidupan manusia dalam lingkup dan tingkat peradaban yang telah dicapainya.

Dalam kegiatan itu, mahasiswa mengunjungi obyek-obyek yang berkaitan dengan peradaban bahari. Mereka juga mengarungi laut untuk menuju pulau-pulau penting dalam catatan sejarah kejayaan bahari Indonesia. Lalu, mereka juga berdiskusi bagaimana seharusnya kita memandang laut dan apa yang mestinya dilakukan pada laut Indonesia nan luas itu. Tak ada kata terlambat untuk mengajak generasi muda berpaling (lagi) ke laut. Entah kesadaran itu hanya emosi sesaat atau sebagai pencerahan, mahasiswa yang ikut dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari bertekad untuk ”melirik” dan mencintai laut.

Sumber: http://koran. kompas.com

Tidak ada komentar: