SUARA PEMBARUAN DAILY
[JAKARTA] Negara harus memberi pengakuan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat. Pemberian pengakuan ini dapat dilakukan dengan sepenuhnya mengadopsi pola pengelolaan tradisional sumber daya kelautan dan perikanan yang telah dipraktikkan masyarakat adat sejak abad XVI.
Praktik tersebut, terbukti arif terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan kelangsungan hidup sumber daya alam yang dikandungnya. Oleh karena itu, sudah semestinya negara mengadopsinya dalam tata hukum pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional.
Dalam hal penguatan kapasitas organisasi masyarakat adat ini, pemerintah harus memperhatikan kepentingan kelompok dan sektoralnya. Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dan pola kluster perikanan bukanlah jalan pemberian politik pengakuan terhadap masyarakat adat, justru bisa menimbulkan konflik.
Hal itu merupaka pernyataan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang disampaikan di Jakarta, Sabtu (8/8).
Kearifan tradisional masyarakat adat itu, antara lain Sasi di Pulau Haruku (Maluku Tengah), Ola Nua di Lamalera (Nusa Tenggara Timur), Mane'e di Sulawesi Utara, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Semah Laut di Pulau Bengkalis (Riau), Parompong di Sulawesi Selatan, dan Panglima Laot di Aceh.
Koordinator Program Kiara, Abdul Halim mengemukakan, kearifan itu menunjukkan adanya keterhubungan antara manusia dan alam. Saat ini, menurutnya, ekspansi pembangunan tak lagi menempatkan bumi, air, udara, beserta sumber daya alam yang dikandungnya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Keseimbangan ekosistem laut diacuhkan dan keberadaan masyarakat adat dipinggirkan.
"Peminggiran masyarakat adat ini erat terkait dengan konflik kepentingan antardepartemen teknis pelaksana pembangunan. Hal lain yang luput dari perhatian negara adalah dipinggirkannya pengetahuan lingkungan hidup lokal, sejak dari kurikulum pendidikan hingga muatan kebijakan pusat-daerah, " tutur Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Teguh Surya.
Sekretaris Nasional KNTI, Dedy Ramanta menambahkan, kebanyakan pelaku pencemaran laut berasal dari daerah lain. [S-26]
Sumber: http://suarapembaru an.com/
[JAKARTA] Negara harus memberi pengakuan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat. Pemberian pengakuan ini dapat dilakukan dengan sepenuhnya mengadopsi pola pengelolaan tradisional sumber daya kelautan dan perikanan yang telah dipraktikkan masyarakat adat sejak abad XVI.
Praktik tersebut, terbukti arif terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan kelangsungan hidup sumber daya alam yang dikandungnya. Oleh karena itu, sudah semestinya negara mengadopsinya dalam tata hukum pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional.
Dalam hal penguatan kapasitas organisasi masyarakat adat ini, pemerintah harus memperhatikan kepentingan kelompok dan sektoralnya. Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dan pola kluster perikanan bukanlah jalan pemberian politik pengakuan terhadap masyarakat adat, justru bisa menimbulkan konflik.
Hal itu merupaka pernyataan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang disampaikan di Jakarta, Sabtu (8/8).
Kearifan tradisional masyarakat adat itu, antara lain Sasi di Pulau Haruku (Maluku Tengah), Ola Nua di Lamalera (Nusa Tenggara Timur), Mane'e di Sulawesi Utara, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Semah Laut di Pulau Bengkalis (Riau), Parompong di Sulawesi Selatan, dan Panglima Laot di Aceh.
Koordinator Program Kiara, Abdul Halim mengemukakan, kearifan itu menunjukkan adanya keterhubungan antara manusia dan alam. Saat ini, menurutnya, ekspansi pembangunan tak lagi menempatkan bumi, air, udara, beserta sumber daya alam yang dikandungnya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Keseimbangan ekosistem laut diacuhkan dan keberadaan masyarakat adat dipinggirkan.
"Peminggiran masyarakat adat ini erat terkait dengan konflik kepentingan antardepartemen teknis pelaksana pembangunan. Hal lain yang luput dari perhatian negara adalah dipinggirkannya pengetahuan lingkungan hidup lokal, sejak dari kurikulum pendidikan hingga muatan kebijakan pusat-daerah, " tutur Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Teguh Surya.
Sekretaris Nasional KNTI, Dedy Ramanta menambahkan, kebanyakan pelaku pencemaran laut berasal dari daerah lain. [S-26]
Sumber: http://suarapembaru an.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar