Sebanyak 11 negara yakni Indonesia, Australia, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Timor Leste, Papua New Guinea dan Philipina berkomitmen untuk mewujudkan praktek penangkapan ikan yang bertanggungjawab.
Hal itu dikatakan oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Aji Sularso kepada wartawan, kemarin di Hotel Ritzy, di Manado.
Menurut Sularso, bahwa program ini telah digagas sebelumnya 11 negara tersebut, yang masuk dalam Regional Plan of Action (RPOA), yang dibeberkan dalam Capacity Building and MCS Curriculum Decelopment Workshop.
Pelaksanaan workshop ini untuk membahas kebutuhan capacity building di kawasan RPOA seperti laut China Selatan, Laut Sulu-Sulawesi, Laut Arafura-Timor, serta menyusun program guna mendukung kebutuhan capacity building termasuk penelitian dan pengelolaan.
Selain itu, tak kalah pentingnya adalah untuk menyusun kurikulum dan program training monitoring, Controll and Survaillance (MCS).
Secara garis besar, konsep ini berawal dari kesepakatan beberapa negara peserta RPOA, dimana tercipta satu pemahaman untuk meningkatkan dan memperkuat pengelolaan perikanan guna kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungan laut, serta mengoptimalkan manfaat dari adopsi praktek perikanan yang bertanggungjawab.
Kerangka kerja RPOA, kata Sularso, juga selaras dengan seluruh perjanjian internasional, kesepakatan bersama dan pengaturan serta rencana-rencana lainnya yang relevan terhadap manajemen berkelanjutan sumberdaya hayati secara regional.
“Dengan adanya komitmen ini maka diharapkan bisa mengurangi illegal fishing yang selama ini selalu menjadi persoalan di antara negara-negara kelautan,” katanya. (*Bo/an)
Hal itu dikatakan oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Aji Sularso kepada wartawan, kemarin di Hotel Ritzy, di Manado.
Menurut Sularso, bahwa program ini telah digagas sebelumnya 11 negara tersebut, yang masuk dalam Regional Plan of Action (RPOA), yang dibeberkan dalam Capacity Building and MCS Curriculum Decelopment Workshop.
Pelaksanaan workshop ini untuk membahas kebutuhan capacity building di kawasan RPOA seperti laut China Selatan, Laut Sulu-Sulawesi, Laut Arafura-Timor, serta menyusun program guna mendukung kebutuhan capacity building termasuk penelitian dan pengelolaan.
Selain itu, tak kalah pentingnya adalah untuk menyusun kurikulum dan program training monitoring, Controll and Survaillance (MCS).
Secara garis besar, konsep ini berawal dari kesepakatan beberapa negara peserta RPOA, dimana tercipta satu pemahaman untuk meningkatkan dan memperkuat pengelolaan perikanan guna kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungan laut, serta mengoptimalkan manfaat dari adopsi praktek perikanan yang bertanggungjawab.
Kerangka kerja RPOA, kata Sularso, juga selaras dengan seluruh perjanjian internasional, kesepakatan bersama dan pengaturan serta rencana-rencana lainnya yang relevan terhadap manajemen berkelanjutan sumberdaya hayati secara regional.
“Dengan adanya komitmen ini maka diharapkan bisa mengurangi illegal fishing yang selama ini selalu menjadi persoalan di antara negara-negara kelautan,” katanya. (*Bo/an)
http://www.stopiuufishing.com/news-article,artikel_detail,lang,in,id,71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar