Oleh Mustopa
KASUS pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia hingga kini masih menjadi persoalan pelik yang belum teratasi. Kasus 'illegal fishing' itu bahkan telah memunculkan dampak yang multidimensional bagi Indonesia selaku negara maritim terbesar di dunia. Sebab, akibat kasus tersebut Indonesia tidak saja mengalami kerugian besar karena sumberdaya perikanan yang dimilikinya banyak dicuri oleh kapal-kapal asing, tetapi juga saat ini Indonesia telah dituduh sebagai 'pelaku' pencurian ikan terbesar di dunia oleh kalangan negara-negara di dunia.
Ini sungguh ironis. Sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki 'coral triangle' karena memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, Indonesia dituduh sebagai pencuri ikan terbesar di dunia karena menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya melebihi kuota yang ditetapkan oleh negara-negara lain, terutama kelompok negara tujuan ekspor. Padahal, penangkapan jenis ikan yang populasinya semakin berkurang di dunia itu dilakukan oleh para nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.
Sikap sejumlah negara yang menetapkan kuota ekspor ikan tuna sirip biru asal Indonesia jelas sangat tidak berdasar. Sebab, selain penetapan kuota itu dilakukan secara sepihak, juga umumnya hanya berdasarkan pada alasan yang mengada-ada, misalnya karena populasi ikan termahal di dunia itu saat ini semakin menipis. Bahkan, tak jarang ketika negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Uni Eropa melakukan penangkapan jenis ikan tuna sirip biru itu secara berlebihan, malah Indonesia yang dituntut melakukan moratorium. Tuntutan semacam itu terkesan hanya 'akal-akalan' negara lain untuk mencegah dominasi produk ikan asal Indonesia di pasar dunia. Langkah itu bisa juga merupakan bentuk konspirasi sejumlah negara yang sesungguhnya menjadi 'pelaku' pencurian ikan tuna sirip biru, tetapi mereka 'melempar' tanggung jawabnya ke Indonesia. Sebab, kerapkali penolakan ekspor produk ikan asal Indonesia di negara lain dan tuntutan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru di wilayah perairan laut nusantara tidak berdasarkan alasan yang rasional.
Bayangkan, sebagai negara bahari yang mempunyai potensi bidang perikanan yang berlimpah, Indonesia diharuskan membatasi upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang dimilikinya oleh masyarakat dunia. Padahal, seperti negara lain yaitu Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon yang memiliki 'coral triangle' yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia hingga sekarang masih tergolong rendah.
Karena itu, pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru oleh sejumlah negara jelas sangat merugikan Indonesia, bukan saja kerugian finansial seperti yang dialami oleh para eksportir nasional tetapi juga kerugian non-finansial karena citra Indonesia sebagai negara maritim menjadi buruk di mata dunia. Apalagi jika pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru itu selalu dikaitkan dengan tuduhan sejumlah negara lewat laporan Convention for the Conservation of Southern Blue fin Tuna (CCSBT) yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus pencurian ikan di dunia.
Untuk memberi legitimasi terhadap citra buruk yang melekat pada Indonesia terkait dengan tuduhan sebagai 'pelaku' utama pencurian ikan terbesar di dunia, sejumlah negara di kawasan Uni Eropa dan Amerika selama ini terkesan mempersulit masuknya produk ekspor ikan asal Indonesia dengan berbagai dalih. Perlakuan buruk dari sejumlah negara terhadap produk ekspor ikan asal Indonesia itu tentu tidak bisa dibiarkan. Apalagi jika yang menjadi alasan munculnya perlakuan itu hanya tuduhan tak berdasar sejumlah negara terhadap Indonesia yang dianggap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia. Sebab, pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan, Indonesia termasuk negara yang sangat dirugikan karena berdasarkan data Departemen Perikanan dan Kelautan setiap tahun banyak sekali kapal asing yang tertangkap saat mereka tengah mencuri ikan di perairan milik Indonesia.
Bahkan, menurut Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi yang mengutip data FAO, setiap tahun Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp30 triliun akibat kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asing. Pelaku-pelaku pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia itu diduga merupakan kelompok terorganisasi tingkat dunia yang secara periodik selalu melakukan aksinya. Namun demikian, dari sekian pelaku pencurian ikan yang tertangkap di wilayah perairan Indonesia, sebagian besar berasal dari Thailand dan Vietnam. Sementara itu berdasarkan data yang dimiliki oleh Kiara diketahui bahwa negara yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia selama ini selain Thailand dan Vietnam, juga Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Kamboja, Myanmar, dan Cina.
Bertolak dari hal-hal di atas, maka sudah sepantasnya jika pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah berani untuk memperjuangkan dirinya mendapatkan hak-haknya sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Bahkan, berkaitan dengan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru, Indonesia seharusnya berani melakukan penolakan melalui forum-forum internasional seperti sidang tahunan IOTC [Indian Ocean Tuna Commission] atau Konferensi Kelautan Dunia [World Ocean Confrence/WOC] dan Coral Triangle Initiative [CTI] yang akan diselenggarakan di Manado pada Mei 2009.
Pada forum-forum seperti itu, delegasi Indonesia harus berani mempersoalkan sikap dunia yang selama ini terus menuduh Indonesia sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia, padahal pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan tersebut Indonesia adalah korban dan bukan pelaku. Di sisi lain, sebagai negara yang wilayah perairannya menjadi tempat hidup dan ber-kembang biak ikan tuna sirip biru, maka tentu tidaklah adil apabila Indonesia hanya diperbolehkan menangkapnya sebanyak 750 ton setiap tahunnya.
Untuk itu, Indonesia harus memperjuangkan tidak adanya pembatasan secara sepihak oleh sejumlah negara terkait pengambilan ikan tuna sirip biru yang di Indonesia terdapat di sepanjang perairan Sumatera hingga Nusa Tenggara itu. Dengan demikian, cap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia tidak lagi bisa melekat, karena sebagai pemilik wilayah perairan yang kaya ikan tuna sirip biru itu, tentu sudah sewajarnya jika Indonesia memiliki hak penuh untuk mengambil-nya sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang ada. (Penulis adalah wartawan Harian Terbit)
Sumber: http://www.hariante rbit.com
KASUS pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia hingga kini masih menjadi persoalan pelik yang belum teratasi. Kasus 'illegal fishing' itu bahkan telah memunculkan dampak yang multidimensional bagi Indonesia selaku negara maritim terbesar di dunia. Sebab, akibat kasus tersebut Indonesia tidak saja mengalami kerugian besar karena sumberdaya perikanan yang dimilikinya banyak dicuri oleh kapal-kapal asing, tetapi juga saat ini Indonesia telah dituduh sebagai 'pelaku' pencurian ikan terbesar di dunia oleh kalangan negara-negara di dunia.
Ini sungguh ironis. Sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki 'coral triangle' karena memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, Indonesia dituduh sebagai pencuri ikan terbesar di dunia karena menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya melebihi kuota yang ditetapkan oleh negara-negara lain, terutama kelompok negara tujuan ekspor. Padahal, penangkapan jenis ikan yang populasinya semakin berkurang di dunia itu dilakukan oleh para nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.
Sikap sejumlah negara yang menetapkan kuota ekspor ikan tuna sirip biru asal Indonesia jelas sangat tidak berdasar. Sebab, selain penetapan kuota itu dilakukan secara sepihak, juga umumnya hanya berdasarkan pada alasan yang mengada-ada, misalnya karena populasi ikan termahal di dunia itu saat ini semakin menipis. Bahkan, tak jarang ketika negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Uni Eropa melakukan penangkapan jenis ikan tuna sirip biru itu secara berlebihan, malah Indonesia yang dituntut melakukan moratorium. Tuntutan semacam itu terkesan hanya 'akal-akalan' negara lain untuk mencegah dominasi produk ikan asal Indonesia di pasar dunia. Langkah itu bisa juga merupakan bentuk konspirasi sejumlah negara yang sesungguhnya menjadi 'pelaku' pencurian ikan tuna sirip biru, tetapi mereka 'melempar' tanggung jawabnya ke Indonesia. Sebab, kerapkali penolakan ekspor produk ikan asal Indonesia di negara lain dan tuntutan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru di wilayah perairan laut nusantara tidak berdasarkan alasan yang rasional.
Bayangkan, sebagai negara bahari yang mempunyai potensi bidang perikanan yang berlimpah, Indonesia diharuskan membatasi upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang dimilikinya oleh masyarakat dunia. Padahal, seperti negara lain yaitu Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon yang memiliki 'coral triangle' yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia hingga sekarang masih tergolong rendah.
Karena itu, pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru oleh sejumlah negara jelas sangat merugikan Indonesia, bukan saja kerugian finansial seperti yang dialami oleh para eksportir nasional tetapi juga kerugian non-finansial karena citra Indonesia sebagai negara maritim menjadi buruk di mata dunia. Apalagi jika pembatasan kuota ekspor ikan tuna sirip biru itu selalu dikaitkan dengan tuduhan sejumlah negara lewat laporan Convention for the Conservation of Southern Blue fin Tuna (CCSBT) yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus pencurian ikan di dunia.
Untuk memberi legitimasi terhadap citra buruk yang melekat pada Indonesia terkait dengan tuduhan sebagai 'pelaku' utama pencurian ikan terbesar di dunia, sejumlah negara di kawasan Uni Eropa dan Amerika selama ini terkesan mempersulit masuknya produk ekspor ikan asal Indonesia dengan berbagai dalih. Perlakuan buruk dari sejumlah negara terhadap produk ekspor ikan asal Indonesia itu tentu tidak bisa dibiarkan. Apalagi jika yang menjadi alasan munculnya perlakuan itu hanya tuduhan tak berdasar sejumlah negara terhadap Indonesia yang dianggap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia. Sebab, pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan, Indonesia termasuk negara yang sangat dirugikan karena berdasarkan data Departemen Perikanan dan Kelautan setiap tahun banyak sekali kapal asing yang tertangkap saat mereka tengah mencuri ikan di perairan milik Indonesia.
Bahkan, menurut Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi yang mengutip data FAO, setiap tahun Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp30 triliun akibat kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asing. Pelaku-pelaku pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia itu diduga merupakan kelompok terorganisasi tingkat dunia yang secara periodik selalu melakukan aksinya. Namun demikian, dari sekian pelaku pencurian ikan yang tertangkap di wilayah perairan Indonesia, sebagian besar berasal dari Thailand dan Vietnam. Sementara itu berdasarkan data yang dimiliki oleh Kiara diketahui bahwa negara yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia selama ini selain Thailand dan Vietnam, juga Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Kamboja, Myanmar, dan Cina.
Bertolak dari hal-hal di atas, maka sudah sepantasnya jika pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah berani untuk memperjuangkan dirinya mendapatkan hak-haknya sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Bahkan, berkaitan dengan pembatasan penangkapan ikan tuna sirip biru, Indonesia seharusnya berani melakukan penolakan melalui forum-forum internasional seperti sidang tahunan IOTC [Indian Ocean Tuna Commission] atau Konferensi Kelautan Dunia [World Ocean Confrence/WOC] dan Coral Triangle Initiative [CTI] yang akan diselenggarakan di Manado pada Mei 2009.
Pada forum-forum seperti itu, delegasi Indonesia harus berani mempersoalkan sikap dunia yang selama ini terus menuduh Indonesia sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia, padahal pada kenyataannya dalam kasus pencurian ikan tersebut Indonesia adalah korban dan bukan pelaku. Di sisi lain, sebagai negara yang wilayah perairannya menjadi tempat hidup dan ber-kembang biak ikan tuna sirip biru, maka tentu tidaklah adil apabila Indonesia hanya diperbolehkan menangkapnya sebanyak 750 ton setiap tahunnya.
Untuk itu, Indonesia harus memperjuangkan tidak adanya pembatasan secara sepihak oleh sejumlah negara terkait pengambilan ikan tuna sirip biru yang di Indonesia terdapat di sepanjang perairan Sumatera hingga Nusa Tenggara itu. Dengan demikian, cap sebagai pelaku pencurian ikan terbesar di dunia tidak lagi bisa melekat, karena sebagai pemilik wilayah perairan yang kaya ikan tuna sirip biru itu, tentu sudah sewajarnya jika Indonesia memiliki hak penuh untuk mengambil-nya sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang ada. (Penulis adalah wartawan Harian Terbit)
Sumber: http://www.hariante rbit.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar