Surabaya (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Blok Ambalat itu merupakan bagian dari hak berdaulat Indonesia, namun laut Ambalat itu sesungguhnya bukan kedaulatan Indonesia.
"Blok Ambalat tidak masuk dalam 12 mil dari baseline (tepi pangkal) yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia, tapi laut Ambalat itu masuk wilayah hak berdaulat dari Indonesia yang berada di luar 12 mil dan masih menjadi hak eksplorasi Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga" yang diadakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu, Triyono Wibowo, ia mengatakan negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih).
Kendati wilayah hak berdaulat itu bukan wilayah kedaulatan, tapi wilayah hak berdaulat yang dihitung setelah 12 mil itu memberi kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan eksplorasi sumberdaya laut yang ada.
"Masalahnya, provokasi yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir sudah melanggar keduanya yakni wilayah kedaulatan Indonesia dan wilayah hak berdaulat Indonesia itu," katanya ketika ditanya ANTARA setelah memberi kuliah tamu.
Namun, kata Menteri yang menyelesaikan program doktor di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat itu, Indonesia tidak ingin berperang dengan Malaysia.
"Kita memiliki perbatasan laut dengan 10 negara dan perbatasan darat dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini, karena itu kita mengedepankan perundingan, bukan perang," katanya.
Menurut dia, perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena itu bila penyelesainnya lama bukan berarti pemerintah tidak serius atau lembek.
"Dalam sengketa dengan Vietnam terkait Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara, ternyata dapat diselesaikan dalam 32 tahun, sedangkan penyelesaian sengketa Indonesia-Singapura membutuhkan waktu lima tahun," katanya.
Terkait dengan laut Ambalat, katanya, pihaknya saat ini sudah melakukan 13 kali perundingan, namun provokasi dari Malaysia juga sudah banyak.
"TNI AL lewat Panglima TNI sudah berkali-kali menyampaikan surat ke saya terkait adanya insiden dengan mencatat nama kapal, berapa kali masuk, dan langkah-langkah yang sudah dilakukan TNI AL," katanya.
Hasilnya, katanya, surat Panglima TNI itu sudah disampaikan kepadanya dan dirinya juga sudah menyampaikan nota protes kepada Menlu Malaysia.
"Protes itu sendiri masih ditanggapi dengan klaim Malaysia, karena itu kita akan memprioritaskan pada perundingan agar masalah itu tidak berlarut-larut, tapi saya setuju bila TNI AL melakukan perkuatan personel di sana agar Malaysia dapat menahan diri sebelum perundingan selesai," katanya.(*)
"Blok Ambalat tidak masuk dalam 12 mil dari baseline (tepi pangkal) yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia, tapi laut Ambalat itu masuk wilayah hak berdaulat dari Indonesia yang berada di luar 12 mil dan masih menjadi hak eksplorasi Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga" yang diadakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu, Triyono Wibowo, ia mengatakan negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih).
Kendati wilayah hak berdaulat itu bukan wilayah kedaulatan, tapi wilayah hak berdaulat yang dihitung setelah 12 mil itu memberi kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan eksplorasi sumberdaya laut yang ada.
"Masalahnya, provokasi yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir sudah melanggar keduanya yakni wilayah kedaulatan Indonesia dan wilayah hak berdaulat Indonesia itu," katanya ketika ditanya ANTARA setelah memberi kuliah tamu.
Namun, kata Menteri yang menyelesaikan program doktor di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat itu, Indonesia tidak ingin berperang dengan Malaysia.
"Kita memiliki perbatasan laut dengan 10 negara dan perbatasan darat dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini, karena itu kita mengedepankan perundingan, bukan perang," katanya.
Menurut dia, perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena itu bila penyelesainnya lama bukan berarti pemerintah tidak serius atau lembek.
"Dalam sengketa dengan Vietnam terkait Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara, ternyata dapat diselesaikan dalam 32 tahun, sedangkan penyelesaian sengketa Indonesia-Singapura membutuhkan waktu lima tahun," katanya.
Terkait dengan laut Ambalat, katanya, pihaknya saat ini sudah melakukan 13 kali perundingan, namun provokasi dari Malaysia juga sudah banyak.
"TNI AL lewat Panglima TNI sudah berkali-kali menyampaikan surat ke saya terkait adanya insiden dengan mencatat nama kapal, berapa kali masuk, dan langkah-langkah yang sudah dilakukan TNI AL," katanya.
Hasilnya, katanya, surat Panglima TNI itu sudah disampaikan kepadanya dan dirinya juga sudah menyampaikan nota protes kepada Menlu Malaysia.
"Protes itu sendiri masih ditanggapi dengan klaim Malaysia, karena itu kita akan memprioritaskan pada perundingan agar masalah itu tidak berlarut-larut, tapi saya setuju bila TNI AL melakukan perkuatan personel di sana agar Malaysia dapat menahan diri sebelum perundingan selesai," katanya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar