Ninok Leksono
”Terrae protestas finitur, ubi finitur armorum vis—Kedaulatan teritorial berakhir di mana kekuatan senjata berakhir. ” (Cornelis van Bynkershoek, De Dominio Maris Desertatio, 1703)
Apa yang disampaikan oleh Bynkershoek di atas mengingatkan pada semua negara yang memiliki wilayah laut, maka kedaulatan suatu negara di laut sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Artinya, kata Ahli Peneliti Utama LIPI, Syamsumar Dam, di Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Manado, Maret silam, semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh satu negara, semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya.
Indonesia, negara maritim terbesar di dunia dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km atau tiga perempat dari total luas wilayah, dengan perbatasan laut berimpit dengan 10 negara, jelas memiliki tanggung jawab sangat besar.
Sejauh ini, sebagaimana di perbatasan darat yang berimpit dengan perbatasan tiga negara, pemenuhan tanggung jawab terhadap wilayah laut dirasakan belum memadai.
Pernah satu ketika Laksamana Muda (Purn) Wahyono SK menyampaikan, kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal.
Padahal, sekarang ini, seperti dicatat The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki—tanpa memperhitungkan umurnya—hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit.
Ketika muncul ketegangan dengan negara lain, misalnya ketika Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih klaim teritorial, seperti terjadi di Ambalat, menguatlah kesadaran akan kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) laut.
Dipenuhi sendiri
Mengatasi kendala pembelian alutsista yang makin tak terjangkau, semangat yang pernah mencuat—dan sejauh ini banyak dijadikan bahan pernyataan politik—adalah ”penuhi sendiri” kebutuhan yang ada, kecuali yang belum bisa dibuat oleh industri dalam negeri.
Dalam realitas, meski PT PAL telah mencapai kemampuan untuk membuat korvet, bahkan juga kapal selam, belum ada order untuk pembuatan kapal-kapal jenis itu. (Dalam kaitan ini, bisa diwujudkannya order 150 panser untuk TNI AD dari PT Pindad amat membesarkan hati, dengan segala tantangan yang menyertainya. )
Yang lebih memprihatinkan, kabar yang muncul beberapa pekan terakhir dari PT PAL justru bernuansa suram. Industri kapal nasional yang sebelum ini banyak dibanggakan ini justru dilanda kelangkaan dana, merugi, sehingga terpaksa harus menggilir kerja karyawan.
Benturan dengan logika
Ilustrasi PT PAL dewasa ini sekali lagi melukiskan adanya kesenjangan antara penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Kemampuan rekayasa maju pesat diwujudkan dengan bisa memproduksi tanker 30.000 ton dan kapal barang 50.000 ton, juga kapal patroli cepat FPB 57. Sekali lagi, relevan apa yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa untuk masalah teknologi, kemampuan bangsa kita tak perlu diragukan. Tapi kemampuan manajemen, yang mencakup keterampilan untuk mengoordinasikan berbagai urusan, tampaknya masih banyak yang harus dipelajari.
Pada masa lalu, mantan Presiden BJ Habibie yang juga pernah memimpin PT PAL sering menyampaikan, menurut teori, kebutuhan akan kapal di Indonesia, mulai dari kapal perang hingga kapal nelayan, tidak akan pernah ada habisnya.
Pendekatan lain
Persoalan laut ini rupanya juga bisa dikaji dari disiplin lain. Dalam studi hubungan internasional dikenal politik kelautan, yang bertumpu pada pandangan kaum realis. Di sini, pemikir kekuatan laut Amerika, Alfred Mahan, menyatakan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional.
Pandangan Mahan di atas, menurut Syamsumar Dam, telah diperkaya oleh ahli teori lain, seperti Hans Morgenthau, Eric Grove, dan Sam Tangredi, yang memasukkan berbagai faktor untuk mendukung kelangsungan hidup satu negara, mulai dari geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan, hingga perdagangan maritim internasional.
Dan, ditegaskan, meski tidak akan menjadi kekuatan laut utama dunia seperti AS, Indonesia juga tidak ingin lagi dijadikan mangsa oleh bangsa lain.
Dalam konteks inilah Indonesia membutuhkan peninjauan kembali atas politik kelautan yang selama ini diterapkan.. Kelapangan untuk mengakui masih adanya kelemahan dalam implementasi politik kelautan nasional diharapkan bisa menjadi pembuka jalan bagi hadirnya wawasan baru yang lebih progresif dan menjawab tantangan zaman.
Sumber: http://cetak. kompas.com
”Terrae protestas finitur, ubi finitur armorum vis—Kedaulatan teritorial berakhir di mana kekuatan senjata berakhir. ” (Cornelis van Bynkershoek, De Dominio Maris Desertatio, 1703)
Apa yang disampaikan oleh Bynkershoek di atas mengingatkan pada semua negara yang memiliki wilayah laut, maka kedaulatan suatu negara di laut sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Artinya, kata Ahli Peneliti Utama LIPI, Syamsumar Dam, di Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Manado, Maret silam, semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh satu negara, semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya.
Indonesia, negara maritim terbesar di dunia dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan luas laut 5,8 juta km atau tiga perempat dari total luas wilayah, dengan perbatasan laut berimpit dengan 10 negara, jelas memiliki tanggung jawab sangat besar.
Sejauh ini, sebagaimana di perbatasan darat yang berimpit dengan perbatasan tiga negara, pemenuhan tanggung jawab terhadap wilayah laut dirasakan belum memadai.
Pernah satu ketika Laksamana Muda (Purn) Wahyono SK menyampaikan, kebutuhan ideal untuk menjaga wilayah laut kita dapat dihitung dari luas wilayah dibagi dengan kemampuan jelajah kapal. Bila sebuah frigat bisa mengawasi luas 300.000 km, kebutuhan kapal jenis ini adalah hampir 20 unit. Sementara untuk kapal patroli yang masing-masing punya jelajah pengawasan 50.000 km, yang dibutuhkan adalah 116 kapal.
Padahal, sekarang ini, seperti dicatat The Military Balance IISS (2008), jumlah frigat yang kita miliki—tanpa memperhitungkan umurnya—hanya 11 unit, sementara kapal patroli dan kapal yang punya kemampuan tempur pantai hanya 41 unit.
Ketika muncul ketegangan dengan negara lain, misalnya ketika Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih klaim teritorial, seperti terjadi di Ambalat, menguatlah kesadaran akan kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) laut.
Dipenuhi sendiri
Mengatasi kendala pembelian alutsista yang makin tak terjangkau, semangat yang pernah mencuat—dan sejauh ini banyak dijadikan bahan pernyataan politik—adalah ”penuhi sendiri” kebutuhan yang ada, kecuali yang belum bisa dibuat oleh industri dalam negeri.
Dalam realitas, meski PT PAL telah mencapai kemampuan untuk membuat korvet, bahkan juga kapal selam, belum ada order untuk pembuatan kapal-kapal jenis itu. (Dalam kaitan ini, bisa diwujudkannya order 150 panser untuk TNI AD dari PT Pindad amat membesarkan hati, dengan segala tantangan yang menyertainya. )
Yang lebih memprihatinkan, kabar yang muncul beberapa pekan terakhir dari PT PAL justru bernuansa suram. Industri kapal nasional yang sebelum ini banyak dibanggakan ini justru dilanda kelangkaan dana, merugi, sehingga terpaksa harus menggilir kerja karyawan.
Benturan dengan logika
Ilustrasi PT PAL dewasa ini sekali lagi melukiskan adanya kesenjangan antara penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen. Kemampuan rekayasa maju pesat diwujudkan dengan bisa memproduksi tanker 30.000 ton dan kapal barang 50.000 ton, juga kapal patroli cepat FPB 57. Sekali lagi, relevan apa yang dikemukakan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa untuk masalah teknologi, kemampuan bangsa kita tak perlu diragukan. Tapi kemampuan manajemen, yang mencakup keterampilan untuk mengoordinasikan berbagai urusan, tampaknya masih banyak yang harus dipelajari.
Pada masa lalu, mantan Presiden BJ Habibie yang juga pernah memimpin PT PAL sering menyampaikan, menurut teori, kebutuhan akan kapal di Indonesia, mulai dari kapal perang hingga kapal nelayan, tidak akan pernah ada habisnya.
Pendekatan lain
Persoalan laut ini rupanya juga bisa dikaji dari disiplin lain. Dalam studi hubungan internasional dikenal politik kelautan, yang bertumpu pada pandangan kaum realis. Di sini, pemikir kekuatan laut Amerika, Alfred Mahan, menyatakan, potensi kelautan yang dimiliki oleh satu negara harus dapat dijadikan sebagai kekuatan laut yang menjadi unsur utama kekuatan nasional.
Pandangan Mahan di atas, menurut Syamsumar Dam, telah diperkaya oleh ahli teori lain, seperti Hans Morgenthau, Eric Grove, dan Sam Tangredi, yang memasukkan berbagai faktor untuk mendukung kelangsungan hidup satu negara, mulai dari geografis, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiapan militer, penduduk, karakter nasional, moral nasional, kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan, hingga perdagangan maritim internasional.
Dan, ditegaskan, meski tidak akan menjadi kekuatan laut utama dunia seperti AS, Indonesia juga tidak ingin lagi dijadikan mangsa oleh bangsa lain.
Dalam konteks inilah Indonesia membutuhkan peninjauan kembali atas politik kelautan yang selama ini diterapkan.. Kelapangan untuk mengakui masih adanya kelemahan dalam implementasi politik kelautan nasional diharapkan bisa menjadi pembuka jalan bagi hadirnya wawasan baru yang lebih progresif dan menjawab tantangan zaman.
Sumber: http://cetak. kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar