Sejumlah Petani dan Nelayan Banyuwangi Jawa Timur ngluruk ke Jakarta, mendesak dihentikannya rencana pengerukan emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka mendesak pemerintah mencabut ijin petambangan dan AMDAL tambang emas PT Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat dan menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan.
Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjangRajekwesi sampai Muncar – Banyuwangi akan terancam hidupnya, termasuk perikanan. Kerasahan warga memuncah saat sadar, bahwa Dokumen Amdal PT IMN menyebutkan akan menggunakan air Sungai Kali Baru untuk proses ekstraksi emas hingga 2,38
juta liter per hari. Mereka juga berencana membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika eksploitasi terjad, i saat tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah yang mengandung logam berat ini beresiko mencemari kawasan perairan, mempengaruhi ekositemnya dan menyebabkan gangguan kesehatan, yang mengancam keberlanjutan hidup warga dan masa depan lingkungan Banyuwangi.
PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas yang dipimpin Fauzi Djafar Amri (General Manager) yang kini juga menjabat Sekjen DPP PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Andreas Reza selaku Direktur. Luas konsesi yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha. Saat ini perusahaan menampung 125 warga menjadi buruh kasar. Tanpa peduli penolakan warga, Mentri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT- VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009. Pengesahan Dokumen Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur dan kedatangan Mentri Kehutanan MS Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.
“Penambangan emas di Tumpang Pitu akan mengancam perairan dan keberlangsungan jasa Pertanian. Sungai Kali Baru yang sejak lama memenuhi kebutuhan irigasi pertanian akan disedot untuk kebutuhan tambang. Saat yang sama, PT IMN akan merusak Gunung Tumpang Pitu, yang dibawahnya terdapat perkebunan Jeruk dan pertanian pangan warga” ujar Ngadni, petani jeruk. Kawasan ini menghidupi ratusan petani Jeruk, yang menggarap 12.442,84 ha lahan dengan produksi 83.142 ton per tahun. Banyuwangi juga dikenal salah satu lumbung pangan Jatim. Tahun lalu saja memasok 656.997,43 ton dari 111.537 ha lahan basahnya, atau sekitar 10% dari total kebutuhan pangan Jatim.
Kawasan yang akan digali meliputi Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung Macan dan kawasan lindung setempat yang menurut RTRW Jatim 2020 telah ditetapkan menjadi kawasan resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.
“Kami ke Jakarta mengadukan nasib ribuan nelayan, saudara kami di Pancer, Lampon, Grajakan, Rajegwesi, hingga Muncar yang terancam bahaya tambang PT IMN. Padahal penghasilan perikanan tahun lalu saja setara dengan 93,2 miliar, telah menjadikan Banyuwangi sebagai Daerah produksi ikan terbesar Indonesia”, ujar Nanik, nelayan Grajakan. Perusahaan besar, termasuk sekitar 30-an pabrik beserta ribuan karyawan pengalengan dan penepungan ikan di Muncar, terancam limbah PT
IMN. Juga nelayan kecil, pengais minyak ikan Lemuru, serta nelayan karang yang biasa mencari kerang jenis simpeng di bibir pantai. Kedatangan perwakilan nelayan dan petani Banyuwangi ini menambah deretan kasus konflik antara warga dan lingkungan dengan industri keruk pertambangan. Ini memicu kembali pertanyaan mengenai kemampuan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang baru disahkan DPR Senayan akhir tahun lalu. Bukannya mengurangi konflik sosial, UU baru yang isinya kadaluarsa ini justru akan memperpanjang deretan konflik pertambangan.
Selama dua hari di Jakarta, perwakilan nelayan dan petani Banyuwangi ini akan melakukan pertemuan dengan wakil rakyat di DPR Senayan dan instansi terkait, mulai Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Komnas HAM. Mereka mendesak semua pihak turun tangan agar PT IMN segera hengkang dari kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi. \
Siaran Pers KARST, KT3P, JATAM, WALHI, ICEL & KIARA - 27 Februari 2009 Kontak Media : Luluk Uliyah (0815 9480 246).
Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjangRajekwesi sampai Muncar – Banyuwangi akan terancam hidupnya, termasuk perikanan. Kerasahan warga memuncah saat sadar, bahwa Dokumen Amdal PT IMN menyebutkan akan menggunakan air Sungai Kali Baru untuk proses ekstraksi emas hingga 2,38
juta liter per hari. Mereka juga berencana membuang limbah tailing sebesar 2.361 ton/hari. Jika eksploitasi terjad, i saat tutup akan ada 3,4 juta ton tailing di laut Pancer dan sekitarnya. Limbah yang mengandung logam berat ini beresiko mencemari kawasan perairan, mempengaruhi ekositemnya dan menyebabkan gangguan kesehatan, yang mengancam keberlanjutan hidup warga dan masa depan lingkungan Banyuwangi.
PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas yang dipimpin Fauzi Djafar Amri (General Manager) yang kini juga menjabat Sekjen DPP PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Andreas Reza selaku Direktur. Luas konsesi yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha. Saat ini perusahaan menampung 125 warga menjadi buruh kasar. Tanpa peduli penolakan warga, Mentri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT- VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009. Pengesahan Dokumen Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur dan kedatangan Mentri Kehutanan MS Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.
“Penambangan emas di Tumpang Pitu akan mengancam perairan dan keberlangsungan jasa Pertanian. Sungai Kali Baru yang sejak lama memenuhi kebutuhan irigasi pertanian akan disedot untuk kebutuhan tambang. Saat yang sama, PT IMN akan merusak Gunung Tumpang Pitu, yang dibawahnya terdapat perkebunan Jeruk dan pertanian pangan warga” ujar Ngadni, petani jeruk. Kawasan ini menghidupi ratusan petani Jeruk, yang menggarap 12.442,84 ha lahan dengan produksi 83.142 ton per tahun. Banyuwangi juga dikenal salah satu lumbung pangan Jatim. Tahun lalu saja memasok 656.997,43 ton dari 111.537 ha lahan basahnya, atau sekitar 10% dari total kebutuhan pangan Jatim.
Kawasan yang akan digali meliputi Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung Macan dan kawasan lindung setempat yang menurut RTRW Jatim 2020 telah ditetapkan menjadi kawasan resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.
“Kami ke Jakarta mengadukan nasib ribuan nelayan, saudara kami di Pancer, Lampon, Grajakan, Rajegwesi, hingga Muncar yang terancam bahaya tambang PT IMN. Padahal penghasilan perikanan tahun lalu saja setara dengan 93,2 miliar, telah menjadikan Banyuwangi sebagai Daerah produksi ikan terbesar Indonesia”, ujar Nanik, nelayan Grajakan. Perusahaan besar, termasuk sekitar 30-an pabrik beserta ribuan karyawan pengalengan dan penepungan ikan di Muncar, terancam limbah PT
IMN. Juga nelayan kecil, pengais minyak ikan Lemuru, serta nelayan karang yang biasa mencari kerang jenis simpeng di bibir pantai. Kedatangan perwakilan nelayan dan petani Banyuwangi ini menambah deretan kasus konflik antara warga dan lingkungan dengan industri keruk pertambangan. Ini memicu kembali pertanyaan mengenai kemampuan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang baru disahkan DPR Senayan akhir tahun lalu. Bukannya mengurangi konflik sosial, UU baru yang isinya kadaluarsa ini justru akan memperpanjang deretan konflik pertambangan.
Selama dua hari di Jakarta, perwakilan nelayan dan petani Banyuwangi ini akan melakukan pertemuan dengan wakil rakyat di DPR Senayan dan instansi terkait, mulai Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Komnas HAM. Mereka mendesak semua pihak turun tangan agar PT IMN segera hengkang dari kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi. \
Siaran Pers KARST, KT3P, JATAM, WALHI, ICEL & KIARA - 27 Februari 2009 Kontak Media : Luluk Uliyah (0815 9480 246).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar