Oleh: Brigitta Isworo Laksmi
Laut sebagai sebuah entitas ekosistem yang sedemikian kaya sekarang semakin menarik selera para penanam modal, terutama di bidang pariwisata, karena pemerintah mulai mencoba menggali sumber-sumber daya pariwisata sebagai antisipasi habisnya sumber daya alam.
Pariwisata diyakini merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam.
Pariwisata bahari kemudian datang sebagai ”pendatang baru” di dunia pariwisata yang selama ini banyak terkonsentrasi di hinterland. Orientasi sekonyong-konyong pindah ke daerah pantai dan laut karena pariwisata daratan kemudian berkonotasi dengan kehancuran sehingga semakin menurunkan daya saing pariwisata.
Wisata bahari selama ini masih sedemikian sempit pengembangannya. Tujuan wisata untuk wisata bahari pun masih amat terbatas, di antaranya Bali dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara wisata bahari yang berbasiskan pulau-pulau kecil belum digarap. Kekayaan yang sudah terinventarisasi saat ini adalah 59 pulau potensial dan 13 pulau unggulan. Kondisi seperti itu sudah menjanjikan bahwa pariwisata bahari Indonesia memiliki nilai jual tinggi karena ekosistem dan alam lautnya amat menarik.
Dengan modalitas pariwisata bahari berupa ketertarikan pada keunikan ekosistem dan sumber daya bahari serta pada interaksi sosial dan praktik-praktik lokal yang ”unik” kebaharian, yang patut dikembangkan adalah pariwisata bahari (marine ecotourism).
Istilah ecotourism bukanlah ”obat paling manjur” yang dapat mengobati ”kerusakan akibat kegiatan pariwisata”. Pariwisata yang dihayati dan dipraktikkan selama ini dengan taman-taman, daerah perbelanjaan, kuliner, dan produk ecotourism artifisial lainnya ternyata (nyaris selalu) tidak baik bagi lingkungan yang menjadi obyek jualan ecotourism itu sendiri.
Yang perlu digarisbawahi adalah lingkungan itu rentan dan sensitif dengan perubahan besar yang berlangsung secara tiba-tiba, termasuk di dalamnya hewan, tanaman, dan masyarakat yang ada di dalamnya (masyarakat lokal).
Ada kecurigaan bahwa perubahan amat cepat dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini bukan didorong oleh itikad untuk berbuat lebih baik dari yang sebelumnya (di daratan), melainkan didorong semata-mata oleh keinginan mencari pengganti (daratan) saja atau replacement.
Aksesibilitas
Pembangunan atau apa pun istilahnya, sentuhan investor pada sebuah sumber daya alam yang selama ini terjadi telah meninggalkan ”trauma” tersendiri kepada masyarakat lokal. Kisah-kisah pembangunan/ penanaman modal di bidang pertambangan dan perkebunan selama ini hanya berupa kisah-kisah kelabu dan kisah pilu masyarakat lokal.
Pengembangan pariwisata sebenarnya tak jauh berbeda dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebagian pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap, bahkan dijual kepada pihak asing. Sementara itu, masyarakat ”gigit jari” karena aksesnya untuk menangkap ikan semakin terbatas.
Seorang panelis menyatakan kekhawatirannya akan pendekatan pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism. Dia menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam undang-undang itulah bersembunyi sejumlah ancaman yang berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, membuat mereka ”gigit jari” menonton hiburan berupa marine ecotourism di wilayah mereka tinggal bertahun-tahun sebelumnya.
Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah yang telah diterbitkan HP-3-nya.
Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya sertifikat HP-3 ditentukan hanya oleh dua pihak, yaitu pemilik modal (pihak swasta) dan pemerintah daerah. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakan, padahal merekalah yang akan menerima akibatnya secara langsung.
Hak tersebut dapat dimiliki oleh sektor swasta (termasuk asing) dengan periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Disebutkan, masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akan mendapatkan kompensasi karena dia telah kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Peraturan boleh berbicara demikian, tetapi temuan panelis tersebut di lapangan merupakan sebuah realitas yang berbeda. Temuan di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, menunjukkan bahwa di lapangan terjadi pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai dive point dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Daerah ini dikelola sebuah perusahaan dari Swiss.
Realitas lain, yaitu di Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, perusahaan dari Italia telah mengenakan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer. Alasannya: konservasi.
Sementara di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, investor membatasi akses masyarakat nelayan karena dianggap sebagai ancaman. Tahun 2002 dan 2003 konflik antara pengusaha dan masyarakat telah menelan korban jiwa.
Panelis tersebut menyitir isi UUD 1945 Pasal 33 yang intinya menegaskan bahwa kekayaan alam dan sumber daya air, udara, dan sebagainya harus dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang bukan kemakmuran yang didapat, sebaliknya sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam justru identik dengan kemiskinan karena masyarakat lokal terpinggirkan dari hiruk pikuk investasi.
Dengan berbagai catatan tersebut di atas, rencana pengembangan pariwisata bahari atau pariwisata lingkungan kelautan (marine ecotourism) perlu mempertimbangkan beberapa catatan tambahan.
Catatan tambahan itu, jika mau bisa disebut rekomendasi, antara lain, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri, perlu dilakukan pendekatan humanis, demokratis, transparan, dan bottom up.
Lalu, konsultatif dengan masyarakat, komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari (pendekatan kultural), inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir.
Dengan melakukan sesuai catatan-catatan di atas, diharapkan ada kesetaraan di antara para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah (daerah atau pusat), pengusaha swasta, dan masyarakat. Lalu, mungkin suatu kali nanti tercapai situasi di mana pariwisata bahari bukan lagi sekadar privatisasi yang menyisakan tangis dan kemiskinan.. ..
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/20/ 09240367/ dilema.privatisa si.pariwisata. bahari
Laut sebagai sebuah entitas ekosistem yang sedemikian kaya sekarang semakin menarik selera para penanam modal, terutama di bidang pariwisata, karena pemerintah mulai mencoba menggali sumber-sumber daya pariwisata sebagai antisipasi habisnya sumber daya alam.
Pariwisata diyakini merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam.
Pariwisata bahari kemudian datang sebagai ”pendatang baru” di dunia pariwisata yang selama ini banyak terkonsentrasi di hinterland. Orientasi sekonyong-konyong pindah ke daerah pantai dan laut karena pariwisata daratan kemudian berkonotasi dengan kehancuran sehingga semakin menurunkan daya saing pariwisata.
Wisata bahari selama ini masih sedemikian sempit pengembangannya. Tujuan wisata untuk wisata bahari pun masih amat terbatas, di antaranya Bali dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara wisata bahari yang berbasiskan pulau-pulau kecil belum digarap. Kekayaan yang sudah terinventarisasi saat ini adalah 59 pulau potensial dan 13 pulau unggulan. Kondisi seperti itu sudah menjanjikan bahwa pariwisata bahari Indonesia memiliki nilai jual tinggi karena ekosistem dan alam lautnya amat menarik.
Dengan modalitas pariwisata bahari berupa ketertarikan pada keunikan ekosistem dan sumber daya bahari serta pada interaksi sosial dan praktik-praktik lokal yang ”unik” kebaharian, yang patut dikembangkan adalah pariwisata bahari (marine ecotourism).
Istilah ecotourism bukanlah ”obat paling manjur” yang dapat mengobati ”kerusakan akibat kegiatan pariwisata”. Pariwisata yang dihayati dan dipraktikkan selama ini dengan taman-taman, daerah perbelanjaan, kuliner, dan produk ecotourism artifisial lainnya ternyata (nyaris selalu) tidak baik bagi lingkungan yang menjadi obyek jualan ecotourism itu sendiri.
Yang perlu digarisbawahi adalah lingkungan itu rentan dan sensitif dengan perubahan besar yang berlangsung secara tiba-tiba, termasuk di dalamnya hewan, tanaman, dan masyarakat yang ada di dalamnya (masyarakat lokal).
Ada kecurigaan bahwa perubahan amat cepat dari paradigma terestrial ke paradigma kelautan ini bukan didorong oleh itikad untuk berbuat lebih baik dari yang sebelumnya (di daratan), melainkan didorong semata-mata oleh keinginan mencari pengganti (daratan) saja atau replacement.
Aksesibilitas
Pembangunan atau apa pun istilahnya, sentuhan investor pada sebuah sumber daya alam yang selama ini terjadi telah meninggalkan ”trauma” tersendiri kepada masyarakat lokal. Kisah-kisah pembangunan/ penanaman modal di bidang pertambangan dan perkebunan selama ini hanya berupa kisah-kisah kelabu dan kisah pilu masyarakat lokal.
Pengembangan pariwisata sebenarnya tak jauh berbeda dengan eksploitasi sumber daya alam. Sebagian pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap, bahkan dijual kepada pihak asing. Sementara itu, masyarakat ”gigit jari” karena aksesnya untuk menangkap ikan semakin terbatas.
Seorang panelis menyatakan kekhawatirannya akan pendekatan pengembangan pariwisata bahari atau marine ecotourism. Dia menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam undang-undang itulah bersembunyi sejumlah ancaman yang berpotensi memiskinkan masyarakat lokal, membuat mereka ”gigit jari” menonton hiburan berupa marine ecotourism di wilayah mereka tinggal bertahun-tahun sebelumnya.
Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa kegiatan pariwisata bahari dapat diberikan melalui sertifikat HP-3, yaitu sertifikat hak pengusahaan, perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar perairan. Jangan coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah yang telah diterbitkan HP-3-nya.
Perencanaan strategis sebagai prasyarat terbitnya sertifikat HP-3 ditentukan hanya oleh dua pihak, yaitu pemilik modal (pihak swasta) dan pemerintah daerah. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakan, padahal merekalah yang akan menerima akibatnya secara langsung.
Hak tersebut dapat dimiliki oleh sektor swasta (termasuk asing) dengan periode pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Disebutkan, masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akan mendapatkan kompensasi karena dia telah kehilangan akses ke lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Peraturan boleh berbicara demikian, tetapi temuan panelis tersebut di lapangan merupakan sebuah realitas yang berbeda. Temuan di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, menunjukkan bahwa di lapangan terjadi pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap karena diperuntukkan sebagai dive point dengan kompensasi Rp 5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa. Daerah ini dikelola sebuah perusahaan dari Swiss.
Realitas lain, yaitu di Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, perusahaan dari Italia telah mengenakan larangan untuk kegiatan perikanan tradisional sejauh 7 kilometer. Alasannya: konservasi.
Sementara di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, investor membatasi akses masyarakat nelayan karena dianggap sebagai ancaman. Tahun 2002 dan 2003 konflik antara pengusaha dan masyarakat telah menelan korban jiwa.
Panelis tersebut menyitir isi UUD 1945 Pasal 33 yang intinya menegaskan bahwa kekayaan alam dan sumber daya air, udara, dan sebagainya harus dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang bukan kemakmuran yang didapat, sebaliknya sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alam justru identik dengan kemiskinan karena masyarakat lokal terpinggirkan dari hiruk pikuk investasi.
Dengan berbagai catatan tersebut di atas, rencana pengembangan pariwisata bahari atau pariwisata lingkungan kelautan (marine ecotourism) perlu mempertimbangkan beberapa catatan tambahan.
Catatan tambahan itu, jika mau bisa disebut rekomendasi, antara lain, pariwisata bahari tidak boleh dipandang sebagai komoditas industri, perlu dilakukan pendekatan humanis, demokratis, transparan, dan bottom up.
Lalu, konsultatif dengan masyarakat, komunitas nelayan dan masyarakat lain yang bergantung pada sumber daya laut harus menjadi titik berangkat kegiatan pariwisata bahari (pendekatan kultural), inisiatif konservasi masyarakat perikanan tradisional harus dipahami sebagai inisiatif sadar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melindungi sekaligus mendapatkan keuntungan dari sumber daya pesisir.
Dengan melakukan sesuai catatan-catatan di atas, diharapkan ada kesetaraan di antara para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah (daerah atau pusat), pengusaha swasta, dan masyarakat. Lalu, mungkin suatu kali nanti tercapai situasi di mana pariwisata bahari bukan lagi sekadar privatisasi yang menyisakan tangis dan kemiskinan.. ..
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/03/20/ 09240367/ dilema.privatisa si.pariwisata. bahari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar