10 Januari, 2009

Moratorium Arafura Harus Segera Disahkan

Oleh Akhmad Solihin

Ketidakjelasan dasar hukum penggunaan pukat ikan atau yang dibahasa inggriskan oleh Pemerintah sebagai ”fishnet”, semakin membuat sumber daya ikan Indonesia babak belur. Di samping rakusnya alat tangkap ini, penamaan fishnet bertentangan dengan ketentuan FAO, yang mengelompokkan cara operasi pukat ikan ke dalam mid-water trawl. Ketidakjelasan penamaan pukat ikan tersebut lebih mencerminkan pengelabuan hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof Ari Purbayanto pada artikelnya yang berjudul ”Pengelabuan Nomenkaltur Pukat Ikan” (Sinar Harapan, 19 November 2008).

Terkait dengan pengelabuan hukum tersebut, mungkinkah ada tekanan asing dalam pemberian izin pukat ikan yang beroperasi di seluruh perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)? Sementara, pada beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia terjadi gejala tangkap lebih (overfishing) , termasuk di WPP Laut Arafura sehingga perlu dilakukan penataan perizinan, khususnya pada alat tangkap pukat ikan yang penuh dengan ketidakjelasan.

Penggunaan pukat ikan yang dioperasikan di seluruh perairan ZEEI telah diatur sejak tahun 1990-an. Dasar hukum perizinan pukat ikan pertama kali dikeluarkan melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 816/Kpts/IK.120/11/90 tentang Penggunaan Kapal Perikanan Berbendera Asing dengan Cara Sewa untuk menangkap Ikan di ZEEI. Menurut Kepmentan ini, alat tangkap pukat ikan boleh digunakan oleh perusahaan perikanan yang telah memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP) yang menggunakan kapal perikanan berbendera asing dengan cara sewa untuk menangkap ikan di ZEEI.

Tercermin bahwa tekanan asing begitu kuat sehingga Pemerintah saat itu berani mengeluarkan perizinan penggunaan kapal ikan berbendera asing melalui cara sewa. Padahal, cara sewa ditasbihkan menjadi salah satu sebab kehancuran sumber daya ikan dan merugikan nelayan lokal. Mengingat, pengusaha perikanan Indonesia saat itu hanya menjadi ”mafia” yang dibekingi oleh institusi kekuasaan (Kusumastanto, 2003).

Dasar Hukum yang Sudah Usang Peraturan yang berkaitan dengan penggunaan pukat ikan kembali dikeluarkan pada tahun 1996 melalui Kepmentan Nomor. 770/Kpt/IK.120/ 10/96 tentang Penggunaan Pukat Ikan di ZEEI Samudera Hindia Perairan Barat Sumatera Sekitar Daerah Istimewa Aceh. Konsiderannya adalah ”perairan ZEEI Samudera Hindia Perairan Barat Sumatera Sekitar Daerah Istimewa Aceh dengan batas koordinat 40 LU sampai dengan 960 BT memiliki potensi sumber daya ikan demersal yang besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.” Kepmentan tahun 1996 hanya memfokuskan pada pengaturan kegiatan penangkapan yang menggunakan pukat ikan di ZEEI Samudera Hindia Perairan Barat Sumatera Sekitar Daerah Istimewa Aceh. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu membuka kembali isi Kepmentan Nomor 816/Kpts/IK. 120/11/90. Pada Kepmentan tahun 1990 itu, alat tangkap pukat ikan tidak boleh digunakan di ZEEI Selat Malaka (Pasal 2 Ayat 2). Dengan kata lain, pukat ikan sesungguhnya tidak dapat dioperasikan di seluruh perairan ZEEI. Ini sangat wajar mengingat sudah sejak lama kondisi sumber daya ikan di WPP Selat Malaka mengalami overfishing, khususnya pada sumber daya ikan demersal dan udang. Maka, dikeluarkannya Kepmentan Pukat Ikan tahun 1996 secara tidak langsung untuk menafikan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) mengenai pembatasan penggunaan pukat ikan di ZEEI Selat Malaka.

Argumen yang dijadikan dasar pernyataan di atas harus dilawan dan disikapi secara serius oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), demi mewujudkan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya ikan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995). Kajian FKPPS mengungkapkan ZEEI Samudera Hindia Barat Sumatera sudah berada pada kondisi fully exploited. Apabila penggunaan pukat ikan ini diabaikan maka akan sangat mungkin kondisi fully exploited berubah menjadi overfishing.

Dasar hukum yang menjadi rujukan pengoperasian pukat ikan sudah cukup usang, sehingga perlu ada kebijakan baru dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menata pengoperasian pukat ikan di seluruh perairan ZEE Indo-nesia, khususnya di ZEEI Laut Arafura. Selain dasar hukum yang sudah terlalu lama, permasalahan yang terjadi adalah sinyal overfishing di Laut Arafura yang diungkapkan dari hasil kajian ilmiah oleh berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi. Kedua hal inilah yang semestinya menjadi dasar pemikiran Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengeluarkan kebijakan penataan pukat ikan di Laut Arafura.

Keberanian Pemerintah Kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menata pengoperasian pukat ikan secara umum sudah tercantum pada Pasal 7 Ayat (1) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lebih khusus, kewenangan menteri untuk menghentikan sementara (moratorium) pada daerah penangkapan atau Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tertentu dalam rangka menjaga kepentingan kelestarian sumber daya ikan tercantum pada Pasal 5 Permen Kelautan dan Perikanan (KP) No PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut sudah cukup untuk dijadikan dasar hukum dalam mengeluarkan kebijakan moratorium penangkapan ikan di Laut Arafura menggunakan pukat ikan.

Selain dasar hukum yang kuat, kebijakan moratorium tersebut harus didukung keberadaan data ilmiah terbaik yang tersedia sebagaimana yang dipersyaratkan oleh ketentuan-ketentuan internasional, khususnya kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries). Untuk itu, Departemen Kelautan dan Perikanan harus segera menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di Laut Arafura. Selain berisi status sumber daya ikan terkini, RPP akan memuat berbagai hal yang berkaitan dengan tindakan-tindakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab (Monintja et al. 2006). RPP Laut Arafura diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menciptakan kelestarian sumber daya ikan.
Perairan Laut Arafura sudah berada pada posisi yang mengkhawatirkan, sehingga perlu menjadi perhatian bersama seluruh stakeholder perikanan, khususnya Pemerintah. Untuk itu, kebijakan moratorium di Laut Arafura yang digulirkan sejak beberapa tahun lalu harus segera disahkan. Perlu keberanian pemerintah dalam menelurkan kebijakan moratorium dengan didukung data-data ilmiah terbaik yang tersedia sebagai dasar argumentasi kebijakan tersebut. Oleh karena itu, penyusunan RPP Laut Arafura adalah salah satu langkah untuk menutup sementara perairan Laut Arafura bagi pengoperasian pukat ikan maupun pukat udang dalam rangka menciptakan kelestarian sumber daya ikan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat lokal.

Penulis adalah dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, FPIK-IPB.

Tidak ada komentar: