16 Januari, 2009

Bagaimana Menghalau Pencuri Ikan Yang Tiada Henti

Oleh: Yonvitner *)

Pencurian ikan! Itulah masalah yang tak kunjung selesai sejak sebelum DKP berdiri hingga kini. Tragis memang, kita harus kehilangan sekitar Rp 400 miliar lebih setiap tahun dari orang asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Pemotongan anggaran DKP sekitar Rp 0,5 triliun pada APBN-P memang tergolong sedikit jika dibandingkan dengan departemen lain. Namun perlu dicatat bahwa ternyata DKP salah satu departemen yang menerima anggaran paling kecil. Sudah jelas ini akan makin menyulitkan DKP dalam upaya perbaikan, termasuk peningkatan fungsi pengawasan dan pemantauan.

Ikan-ikan di perairan kita memang rawan dicuri nelayan asing karena pengawasan yang sangat lemah. Daerah yang menjadi target pencurian adalah wilayah perairan yang memiliki cadangan sumber daya ikan yang besar seperti Laut Cina Selatan dan Arafuru.

Di laut Arafuru misalnya, setiap hari mata kita disuguhkan dengan pemandangan pencurian oleh kapal asing. Banyak kapal yang bersandar misalnya di PPN Tual milik Thailand tidak memiliki izin. Sementara itu, pemerintah daerah juga tidak bisa berbuat banyak, karena wilayah tangkap berada di wilayah kendali izin pusat. Daerah-daerah di sekitar Laut Arafuru hanya mendapatkan fee dari tambat kapal dan belanja nelayan asing tersebut. Sementara ikan-ikan hasil tangkapan langsung dibawa oleh kapal penampung ”mothership”.

Dalam pengetahuan nelayan awam sekalipun, Laut Arafuru dan Laut Banda adalah pusat daerah up-welling, dan subur karena memiliki banyak sungai, karang serta tingginya kandungan klorofil sehingga sumber daya ikan lebih tinggi. Berdasarkan kajian potensi dan pemanfaatan, untuk jenis ikan karang konsumsi telah mengalami over fishing, begitu juga lobster. Ikan dmersal baru mencapai 77,49 %, udang peneid 85,08 % dan pelagis besar 67,93 %. Sementara itu, jenis pelagis kecil seperti cumi-cumi masih memiliki peluang pmanfaatan yang tinggi, karena baru mencapai 2-9 persen dari pemanfaatannya (Purbayanto, et al. 2006).

Tak Punya Izin

Di wilayah ini, berdasarkan data tahun 2005 tercatat 58.947 unit kapal ikan yang beroperasi. Setelah dilakukan pendataan tahun 2006 hanya tercatat 1.650 unit yang memiliki izin. Sementara itu, kapal asing yang memiliki izin hanya 540 unit (baru lisensi menangkap). Sedangkan sisanya masih belum memiliki izin usaha pemanfaatan sumber daya ikan. Lebih tragisnya lagi kegiatan penangkapan juga dilakukan dengan menggunakan alat yang bersifat destruktif seperti pukat ikan dan pukat udang.

Selain itu, para nelayan asing tersebut juga bebas keluar masuk wilayah kedaulatan Indonesia tanpa harus menggunakan paspor. Ketidakmampuan pemerintah menjadi momen penting yang kemudian dimanfaatkan oleh asing untuk menguras sumber daya ikan perairan Indonesia. Kondisi ini terjadi tentunya karena kurangnya pengawasan sumber daya laut.

Di tengah kekomplekan pengelolaan wilayah perairan kita, perlu diingat bahwa perairan kita merupakan wilayah yang menjadi daerah perlintasan. Kita berada di wilayah ALKI I dan ALKI II, yang sudah barang tentu menjadi area bebas yang diaku secara internasional.

Fakta sejarah menunjukkan, wilayah ini juga merupakan daerah perlintasan kapal dagang dari China, Gujarat pada zaman majapahit yang sampai sekarang masih banyak dilalui kapal dagang. Celah ini tentunya memberikan ruang yang lebih kepada nelayan asing untuk beraktivitas dengan menangkap ikan. Salah satu contohnya kita dapat melihat di daerah-daerah homebase kapal Thailand kita temukan produk Thailand seperti di Tual dan Dobo.

Selain karena wilayah perairan kita yang terbuka dan kaya akan sumber daya tersebut, kebijakan pemanfaatan sumber daya ikan di negara lain juga menjadi pemicu terjadinya illegal fishing. Kebijakan kelautan negara tetangga seperti India, Thailand, Malaysia, Singapura, Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, dan Australia sudah sangat maju. Menurut catatan Valencia (1985), misi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut oleh negara-negara tetangga Indonesia sudah sangat mendetail. Karena secara keseluruhan, wilayah laut negara tersebut merupakan wilayah laut sangat multi-use.

Kebijakan pengelolaan laut India mengusung misi ekonomi, pertahanan, dan jasa. Padahal kita tahu India adalah negara continental (berbasis daratan). Brunei merupakan negara pantai dan memiliki laut semi tertutup mengedepankan misi ekonomi, jasa, dan pertahanan dari laut. Karena ekonomi Brunei sebagian besar bergantung dari hasil eksplorasi minyak di offshore.

Burma saat ini juga mulai menfokuskan perhatiannya untuk memanfaatkan wilayah lepas pantai (off shore) dengan eksplorasi dan ekspoitasi hidrokarbon dan perikanan di Teluk Martaban yang baseline-nya mengacu pada yang ditetapkan Amerika (Elliot, 1998) dan kawasan Kepulauan Mergui dengan Thailand.

Kebijakan kelautan Malaysia (Malaysia’s Evironmental Quality Act, 1974) mengedepankan fungsi laut sebagai pertahanan, basis ekonomi, dan lingkungan. Malaysia telah mengupayakan peningkatan keamanan dan perlindungan lingkungan laut, terutama di Selat Malaka untuk mulai mengembangankan ekspansi ekonomi di wilayah laut.

Peningkatan aktivitas perikanan, eksploitasi gas alam mulai dicanangkan sebagai basis ekonomi Malaysia. Sejak tahun 1985 Valencia telah melihat ekspansi Malaysia dengan mulai mengupayakan kerja sama dengan Cina untuk pengelolaan sumber daya di Tembungo (120 km dari Sabah).

Filipina juga menganut konsep Negara kepulauan karena terdiri dari ratusan pulau kecil ‘Archipelagic State”. Mereka mengusung konsep perlindungan konflik wilayah laut, perlindungan sumberdaya laut, pengelolaan pesisir untuk pertahanan dan keamanan, khususnya pengaruh aktivitas komunis dan militan Islam di Kepulauan Mindanao Selatan.

Mengatasi Krisis Ekonomi

Satu bagian penting yang perlu kita catat bahwa kebijakan kelautan di Thailand bertujuan mengatasi krisis ekonomi dengan mengakselerasi sistem eksploitasi sumber daya pesisir sehingga dapat mengurangi budget yang tersedia melalui kelautan dan pengelolaan sumber daya pesisir (Office of Environment Policy and Planning, 1999).

Untuk mencapai itu Thailand mendirikan sebuah komite nasional untuk pembangunan berkelanjutan di wilayah laut. Thailand menempatkan kelembagaan pengelolaan laut sebagai kelembagaan strategis yang langsung berada di bawah Royal Departemen Strategis (Departemen Strategis di Bawah Kerajaan). Tugas pokok kelembagaan hanya dua.

Pertama, sebagai pengendali pencemran. Kedua, sebagai pemanfaatan dan konservasi sumber daya hayati yang dilakukan oleh tujuh lembaga di bawah pengawasan kerajaan. Ketujuh lembaga itu adalah Departemen Pengendalian Pencemaran, Departemen Kepelabuhan, Departemen Perikanan, Departemen Kehutanan Kerajaan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perencanaan Kota, Departemen Tenaga Kerja dan Industri, serta Departemen dari Promosi Kualitas Lingkungan.

Selain itu dalam rencana strategis pengelolaan laut, terdapat butir penting yaitu ”selama 3 bulan” setiap tahunnya, kegiatan penangkapan komersial utama Thailand ditutup dengan alternatif pengembangan budidaya. Pada saat-saat inilah biasanya nelayan Thailand melakukan penangkapan di perairan Indonesia.

Lain lagi dengan Vietnam. Ekspansi Vietnam di wilayah laut untuk penguatan ekonomi dengan mengklaim kepemililkan atas Kepulauan Spratly, Teluk Tonkin terhadap Cina, dan Teluk Sebelah Timur dengan Thailand. Vietnam kemudian mengembangkan strategi peningkatan kekuatan berbasis wilayah laut. Kompetisi pemanfaatan wilayah laut ini lalu mendorong Vietnam untuk kemudian mengklaim kawasan laut pengelolaannya menjadi 200 mil laut, seperti yang dilakukan oleh Malaysia atas wilayah Ambalat.

Mencermati lemahnya dasar kebijakan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir Indonesia, maka diperlukan sebuah grand nasional strategis plan yang juga mengakomodasi bekerjanya misi ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan dengan menjadikan laut sebagai sumber kekuatan bangsa. Bertolak dari fakta dan data di atas, maka untuk mengantisipasi kerugian negara dari pencurian ikan diperlukan sinergi di antara lembaga pemerintah dalam pembangunan kelautan dan menjadikan matra laut sebagai sebuah kekuatan ekonomi strategis untuk membangun Indonesia.

*) Penulis adalah Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB.

Sumber : www.majalahsamudra. co.cc

1 komentar:

Askar mengatakan...

TRimah kasih postingannya..komandan