23 November, 2008

WORLD FISHERIES DAY (HARI PERIKANAN SEDUNIA)

Khalayak pasti tahu “Hari Anak Sedunia”, yang diacarakan tiap tahun; tetapi apakah juga tahu “World Fisheries Day” seperti mengenal hari lain yang sifatnya mendunia? Bahkan stakeholders perikanan pun kadang tidak tahu atau tidak mau tahu?

Keprihatinan pelaku perikanan

Sebelas tahun silam di salah satu negara Asia berkumpul para pelaku perikanan dunia di New Delhi India; tepatnya 21 November 1997. Dalam forum telah di deklarasikan bahwa tanggal tersebut disepakati sebagai World Fisheries Day (WFD) atau Hari Perikanan Sedunia. Gagasan munculnya kesepakatan WFD waktu itu tidak lain sebagai ungkapan rasa keprihatinan dan kekhawatiran melihat fakta makin menurunnya produksi perikanan. Padahal sisi lain dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia pasti diikuti meningkatnya kebutuhan pangan termasuk protein hewan ikani. Belum lagi beralihnya pola pangan “red meat” asal daging menjadi pola “white meat” asal ikan yang dianggap mempunyai arti tersendiri guna menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.

Turunnya produksi perikanan tidak lain akibat terjadinya ekses kapasitas dan gejala over fishing di beberapa perairan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Dari sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia misalnya diperoleh gambaran sudah full exploited bahkan seperti Laut Jawa, Selat Malaka sudah diklasifikasikan lampu merah untuk dikelola alias over fishing; pada hal kawasan itu padat nelayan yang mengadu nasib dibawah bayang-bayang ketidak pastian memperoleh hasil produksi ikan yang menguntungkan dirinya. Kondisi seperti ini perlu disikapi pembuat kebijakan mencarikan jalan pemecahannya. Faktor mis-management pengelolaan sumberdaya ikan rupanya juga menjadi pendorong percepatan gejala over fishing tersebut; karenanya implementasi fungsi2 manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Pemerintah perlu bersikat penuh kehati-hatian (precautionary approach) menetapkan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya ikan yang bermotif ekonomi berkelanjutan dengan mengedepankan nelayan skala kecil. Ketimpangan akan muncul jika kebutuhan nelayan dan industri perikanan tidak bisa sejalan dengan kebijakan pemerintah; kadang mereka harus melaksanakan kebijakan yang sering tidak bijaksana buat mereka sendiri. Jurang pemisah makin melebar khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia yang permasalahannya lebih kompleks karena didominasi usaha perikanan skala kecill; dan selama ini mereka justru belum ”memperoleh kepercayaan” dari perbankan untuk ikut menikmati pinjaman modal dengan bunga relatif rendah seperti saudara2nya di bidang pertanian tanaman pangan..

Tahun depan (2009) kita akan memilih “presiden baru” dengan sendirinya kabinet sebagai mesin pemerintahan pun diwarnai wajah baru pula. Tetapi apakah kebijakan pengelolaan perikanan juga harus baru? Pertanyaan yang perlu disikapi; dan memerlukan jawaban keberpihakannya pada nelayan skala kecil; utamanya bagi presiden terpilih. Pengalaman menunjukkan bahwa setiap perubahan menteri kebijakan pun berganti agar tidak dinilai sekedar ”copy paste” kabinet sebelumnya. Adalah merupakan keprihatinan jika pelaku perikanan harus menggunakan pedoman yang selalu berubah bak kompas kebijakan yang terus bergeser; akibat kebijakan yang tidak berkesinambungan. Namun jika dikaji lebih mendalam makna kebijakan baru oleh generasi penerus sebenarnya mengandung hal yang serupa hanya beda penampilan.

Ekosistem faktor kunci

Berbagai ekosistem pesisir (hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang maupun rumput laut alami) mempunyai peran pentig dari segi ekologis dan ekonomis. Namun demikian informasi fungsi ekologis berkaitan keanekaragaman hayati relatif terbatas; salah satu kendala dalam pengelolaannya. Ekosistem tersebut secara sinergis mempengaruhi keberadaan sumberdaya hayati; misal luruhan daun mangrove merupakan sumber nutrien utama bagi biota perairan. Selain itu juga berperan mencegah erosi dan kerusakan pantai, mencegah intrusi air laut ke daratan, serta menjaga kestabilan lapisan tanah. Kemudian ekosistem padang lamun sumber utama produksi primer, penyedia makanan bagi organisme (detritus), menstabilkan dasar yang lemah, tempat asuhan benih ikan dlsb. Lebih penting lagi bahwa lamun dapat digunakan indikator biologis perairan tercemar, logam berat Cd, Cu, Pb, dan Zn. Terumbu karang memiliki nilai konservasi tinggi karena keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah (Sawyer,1992). Produktivitas organik tinggi, disebabkan oleh kemampuan menahan nutrien dan berperan sebagai ”kolam” untuk menampung segala masukan dari luar. Berbagai jenis ikan hias yang indah, maupun ikan karang yang ekonomis penting untuk konsumsi dalam dan luar negeri menempatkannya pada posisi harga yang cukup tinggi. Ketiga ekosistem ini seakan menjadi ”pemasok” stok berbagai jenis ikan; karena itu perlu dijaga kelestariannya agar lingkungan/ekosistem tetap kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya biota perairan.

Satu hal menarik dari tulisan Dr. Ir.Achmad Fauzi, MSc (2005) adalah tentang Back to the Future (BTF); bahwasanya BTF dapat dijadikan momentum mengevaluasi kembali kebijakan perikanan yang telah berjalan. BTF merupakan pendekatan terpadu dengan menggunakan informasi ekosistem masa lalu (back) untuk dijadikan panduan kebijakan di masa mendatang (to the future); filosofinya adalah ”....rebuilding as proper goal of fisheries management....” Dalam konteks skenario pembangunan perikanan, harus diperhatikan bahwa realitas sumberdaya perikanan Indonesia dalam menghadapi rente ekonomi sudah mengalami penurunan akibat mis management dan berbagai faktor lainnya. Menyangkut potensi lestari Maximum Sustainable Yield (MSY) perairan Indonesia yang konon masih 6,2 juta ton per tahun, patut dipertanyakan; oleh karena sumberdaya ikan itu bukannya tak terbatas. Meski MSY masih bisa dijadikan sebagai acuan dasar; ke depan harus diilengkapi dengan sistem penghitungan stok yang baru. Dengan kondisi data potensi terbaru dan lebih teliti penghitungannya akan menjadi modal dasar menyusun kebijakan pengelolaan perikanan yang bertanggung dan berkesinambungan.

HARNUS Vs WFD

Hari Nusantara (Harnus) yang jatuh tanggal 13 Desember; momentum yang dicanangkan dalam Keppres No 126 Tahun 2001 oleh Presiden Megawati Soekarnopoetri waktu itu dikukuhkan sebagai Hari Nasional; mempunyai arti strategis bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Masa kecil kita sudah ditanamkan cinta laut; dengan lirik lagu “Nenek moyangku orang pelaut”, kemudian slogan cinta laut “Selamatkan terumbu karang sekarang”; tersirat harapan keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan dengan implementasi “pengelolaan sumberdaya perikanan/kelautan berkelanjutan (sustainable fisheries) ”, demi kelangsungan hidup anak cucu seperti makna HARNUS-WFD; yang intinya saling menguatkan dalam upaya melestarikan sumberdaya perikanan/kelautan.

Menghadapi situasi sekarang dan masa depan dalam mengambil hikmah kelahiran HARNUS-WFD ada yang perlu dipikirkan yaitu : (1) upaya penyelamatan sumberdaya keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sebagaimana jargon dunia yang biasa dikenal “To Save Marine Biodiversity”; (2) upaya melakukan penelitian dan kajian seluruh aspek keanekaragaman hayati; dikenal dengan “To Study Marine Biodiversity”; dan (3) upaya melaksanakan secara konsekuen cara memanfaatkan sumberdaya/keanekaragaman hayati pesisir dan laut yang optimal dan lestari bagi kesejahteraan bangsa atau “To Use Marine Biodiversity”.

Mengingat kembali nilai yang terkandung kedua hari bersejarah bagi pelaku perikanan kita mempunyai kewajiban melestarikan sumberdaya ikan demi generasi sekarang dan yang akan datang; antara lain melalui tindak konservasi. Kita tidak perlu khawatir karena sudah tersedia landasan hukum PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Makna konservasi sumberdaya ikan di dalamnya adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk akosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas dan nilsi keanekaragaman sumberdaya ikan. Dapatkah pelaku perikanan taat hukum dalam menjaga kelestarian sumberdaya demi sumber penghidupan mereka bersama keluarganya? Marilah kita tunggu apakah pelaksanaan aturan ini berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Penulis ::

Djoko Tribawono

Pensiunan PNS

Dosen Tidak Tetap PS Budidaya Perairan FKH UNAIR

ISPIKANI Jawa Timur

DPD HNSI Jawa Timur

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Semoga hasilnya sperti yang kita harapkan...
Salam kenal pak..tulisan ini memberi pemahaman yang benar tentang linkungan..terutama bagi masyarakat awam seperti saya, kebetulan saya juga masyarakat kendari.
Bagaimana kondisi teluk kendari saat ini pak..???

MUKHTAR A.Pi. M.Si mengatakan...

Terima kasih telah mengunjungi blog kami, Keadaan teluk kendari saat ini sangat memprihatikan dengan banyaknya pengendapan, pembuangan sampah dan perusakan bakau disekitarnya. Salam lestari