28 November, 2008

Tergerusnya Kultur Kebaharian

Oleh M Riza Damanik


Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI)


Konsepsi sebagai negeri kepulauan adalah sebuah ikrar negeri kesatuan Indonesia yang bersifat final, di mana salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahari yang melekat pada jati diri dan sistem sosial masyarakat untuk masa yang cukup panjang. Bahkan, di banyak tempat, cara pikir dan tindak kebaharian tersebut telah eksis sebelum Indonesia disebut sebagai sebuah negara. Kontribusi historis dan praktis inilah yang selanjutnya menjadi salah satu titik berangkat pentingnya jaminan bagi insan bahari untuk terus mempraktikkan serta mengembangkan tradisi dan adat budaya kebaharian tersebut. Termasuk di dalamnya, hak untuk menjalankan aturan adat yang kaya akan keberagaman dan bersifat dinamis. Sayangnya, cara pandang kebaharian tersebut semakin jauh ditinggalkan, terlebih pasca-dikeluarkanny a Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK).


Sebagian kelompok menilai UU tersebut tepat urgensinya, terkhusus dalam upaya memperkuat eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari gerakan sosial penting di Indonesia. Argumentasi ini muncul setelah UU PWP-PPK menyebutkan, satu dari tiga subjek hukum yang mendapat keistimewaan adalah masyarakat adat. Dua lainnya, perseorangan dan sektor swasta. Penulis mencoba memberikan pandangan berbeda terkait eksistensi hak masyarakat adat, di tengah-tengah formalisasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diamanatkan UU.


Sejak Indonesia menggunakan suaranya pada pemungutan suara (voting) majelis umum PBB untuk mendukung lahirnya Deklarasi tentang Hak-hak Adat atau United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), 13 September 2007 silam, perjuangan masyarakat adat di Tanah Air melewati satu tahapan pencapaiannya. Perjuangan selanjutnya adalah menempatkan produk deklarasi tersebut guna memotivasi terwujudnya pemenuhan hak dan kedaulatan yang sesungguhnya.


Tulisan ini adalah tambahan atas komentar yang saya sampaikan pada diskusi Sinar Harapan, Kamis 20 November 2008 tentang kelautan dan maritim untuk keamanan dan kesejahteraan.


Hak Adat yang Dirampas

Selama ini, bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia masih bersifat deklaratif, seperti yang tertuang di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Demikian halnya dalam UU PWP-PPK. Dalam pandangan ekologi politik, menempatkan masyarakat adat, individu, dan sektor swasta untuk berkompetisi mendapatkan hak pengusahaan, seperti yang dimaksudkan UU PWP-PPK, adalah sebuah kekeliruan mendasar negara dalam memahami dan menafsirkan kehendak penghormatan dan pemenuhan hak adat.

Belum lagi, jika terbukti objek yang dikompetisikan dalam pemberian hak tersebut adalah ruang hidup dan penghidupan masyarakat adat yang telah berlangsung dalam waktu yang panjang. Dalam kondisi demikian, dapat dipastikan, pemenuhan hak akses dan kontrol masyarakat adat terhadap sumber daya alam semakin sulit untuk terpenuhi.


Selain sebagai langkah mundur, pemberian hak pengusahaan seperti yang dimaksudkan UU PWP-PPK dapat dimaknai sebagai upaya sadar kebijakan negara untuk menyingkirkan dan memarginalkan eksistensi masyarakat adat dari ruang penghidupannya. Dasar pemikirannya adalah pada modalitas hak pengusahaan yang dianut UU PWP-PPK yang mempunyai dimensi ruang dan waktu serta batasan yuridiksi hukum formal yang notabene bersifat statis, mahal, dan dikendalikan oleh otoritas institusi negara.


Rezim ruang mengharuskan pemberian hak pengusahaan terhadap masyarakat adat akan dibatasi luasan atau ditentukan batasan ruang yang dialokasikan kepadanya. Begitu pun dengan rezim waktu yang mengharuskan hak tersebut memiliki batasan waktu pengusahaan, yakni 20 tahun, dan dapat diperpanjang untuk masa berikutnya. Dengan kata lain, hak tersebut bisa batal demi hukum setelah melampaui masanya.


Dengan kondisi ini, sesungguhnya masyarakat adat tidaklah berdaulat atas sumber daya alam dan relasi sosio-ekologisnya. Namun justru telah ditunggangi oleh otoritas kekuasaan yang jauh lebih besar dari kemampuan masyarakat adat untuk meninjaunya. Dari sinilah etnosida kultural berawal, manakala terjadi tindakan sistemik negara untuk menghilangkan integritas masyarakat adat dari nilai-nilai kultural yang dijalankannya. Tindakan itu berupaya mencerabut masyarakat adat dari ruang hidup dan sumber dayanya, dengan memberlakukan hukum, cara-cara administratif, dan lainnya guna menginfiltrasi kebudayaan, cara hidup, dan model pengelolaan yang diyakini oleh suatu komunitas masyarakat adat.


Mengembalikan Khitah Perjuangan

Deklarasi PBB tentang Hak-hak Adat menjelaskan kepada kita bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk mempraktikkan serta merevitalisasi tradisi-tradisi dan adat budayanya, termasuk di dalamnya, hak untuk mempertahankan, melindungi, dan mengembangkan manifestasi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang dari kebudayaan tersebut. Artinya, dalam hal pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, gerakan masyarakat adat tidak boleh terjebak dalam perjuangan simbolik semata, tanpa melihat relasi kebijakan yang ada secara utuh, serta implikasinya terhadap eksistensi masyarakat adat yang tinggal dan berpenghidupan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.


Bagi pemerintah Indonesia, kesungguhan dalam melindungi hak-hak adat dapat dimulai dengan merevisi UU PWP-PPK, terutama pada bagian-bagian yang secara gamblang memberikan ruang kepada sektor swasta (termasuk asing) dalam pengusahaan ruang kelola rakyat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya, wilayah tangkap tradisional menjadi wajib untuk dilindungi dan model-model pengelolaan tradisional yang respek dan terbukti menjamin keberlanjutan sumber daya perikanan harus terus dipromosikan, baik sebagai model pengelolaan maupun sebagai perilaku bangsa bahari yang sangat berharga.

Sesungguhnya, terdapat dua pertanyaan mendasar bagi negara yang benar-benar ingin sejahtera. Pertama, bagaimana mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang paling rentan, seperti masyarakat nelayan, petani, buruh, adat, baik perempuan maupun laki-laki, yang sudah dirampas, termasuk perampasan yang sering kali didukung dan dikukuhkan oleh hukum positif yang sudah dianut jauh hari sebelumnya? Kedua, bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di sekitar atau di dalam kawasan yang kaya sumber daya alam, tetapi justru mengalami kemiskinan yang paling akut? Sayangnya, Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tidak dapat menjawab keduanya.


Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI)

Tidak ada komentar: