13 Juni, 2008

Suaka Laut dan Solusi Illegal Fishing

Suaka Laut dan Solusi Illegal Fishing


Pembangunan sumber daya kelautan masih menghadapi banyak permasalahan dan tantangan dalam pengembangannya, misalnya kerusakan lingkungan pada ekosistem pesisir laut dan pencemaran.Terjadinya deforestrasi hutan mangrove, degradasi terumbu karang, dan padang lamun di kawasan pesisir dan laut mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut serta penambangan pasir laut secara ilegal masih memerlukan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.


Di samping itu, Masih banyaknya kegiatan yang merugikan negara yaitu praktik illegal fishing terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) oleh kapal-kapal asing dengan berbagai bentuk penangkapan ikan yang merugikan negara secara materi maupun moril.


Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported) dan tidak diatur (unregulated) yang dikenal dalam istilah IIU Fishing oleh FAO merupakan persoalan yang cukup serius
bukan saja bagi negara kita tetapi juga merupakan persoalan dunia yang mempunyai implikasi sangat kuat terhadap perikanan tangkap karena kerusakan yang ditimbulkan sangat besar dalam skala luas serta pemulihannya memerlukan investasi besar dan waktu lama.


Bentuk gangguan keamanan sumberdaya laut yang berdampak buruk bagi terbentuknya pengelolaan pesisir dan laut secara lestari tidak hanya dilakukan nelayan asing saja, akan tetapi juga nelayan Indonesia sendiri yang mengakibatkan negara kita yang mengalami kerugian secara materi hingga Rp30 triliun setiap tahun.
Atau, sekitar 25 persen total potensi perikanan yang ada, yaitu 1,6 juta ton per tahun.
Kerugian yang amat besar! Yang memprihatinkan lagi, saat ini, produk perikanan Indonesia menghadapi masa-masa kritis dalam perdagangan global.


Ekspor produk perikanan cenderung menurun. Tuntutan terhadap standar mutu dan keamanan produk yang semakin kuat membuat kinerja ekspor terus terpuruk.

Praktik illegal fishing yang tentunya jauh dari prinsip tata laksana perikanan yang bertanggung jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dipicu tingginya kebutuhan ekonomi masyarakat,
sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pesisir relative rendah, tingkat teknologi eksploitasi armada penangkapan ikan rendah serta law enforcement dan penegakannya di laut masih lemah.

Akibatnya, setiap tahun terjadi penurunan jumlah stok ikan yang tertangkap. Berdasarkan data potensi perikanan laut Indonesia hasil reevaluasi cadangan pada tahun 2002 berjumlah sekitar 6,1 juta ton per tahun.

Dari jumlah ini, bila dibandingkan dengan hasil evaluasi stok tahun 1997 (sekitar 6,7 juta ton per tahun) dan tahun 1999 (sekitar 6,2 juta ton per tahun) maka ditemukan penurunan yang sistematis pada jumlah stok ikan yang bisa ditangkap per tahunnya.

Dari hasil perhitungan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan IIU Fishing berkisar antara 1,8 sampai 4 milliar dolar US per tahun.
Kerugian negara dari kegiatan ilegal tadi meliputi nilai ikan yang dicuri, pemakaian bahan bakar, pajak dan selisih transaksi ekspor impor, serta beberapa pungutan yang seharusnya diterima negara.

Bentuk-bentuk Illegal fishing

Selain penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing atau yang berbendera Indonesia di perairan nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin, pelanggaran daerah penangkapan (fishing ground), menyalahi ketentuan alat tangkap,


melabuhkan hasil tangkapannya di negara lain, praktik penangkapan ikan ilegal yang tidak sedikit dilakukan nelayan kita sendiri adalah penangkapan dengan bahan peledak dan penangkapan ikan dengan cara membius dengan menggunakan sianida.

Menggunakan bahan peledak dalam penangkapan ikan merupakan cara yang tidak saja mudah dilakukan dan tanpa menggunakan tenaga kerja yang banyak, tetapi juga tidak membutuhkan biaya yang besar.
Dengan metode pengeboman ini nelayan bisa mendapatkan income sekitar 4 kali lipat dibanding bila menggunakan cara biasa. Hal ini jelas membahayakan perkembangan ikan dan menghancurkan terumbu karang sebagai habitat mereka hidup, sehingga dapat menurunkan stok sumberdaya ikan secara keseluruhan.

Menurut Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnya kurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15 hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi.

Sedangkan kerugian secara ekologis dengan metode penangkapan membius, dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampu mematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3 hingga 6 bulan.


Suaka Laut sebagai Solusi


Kekuatan laut tidak berarti tentara dan angkatan perang, melainkan juga penguasaan ilmu teknologi kelautan, pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah pesisir, pendayagunaan pulau kecil dan pemberdayaan masyarakat, serta segala aktivitas lainnya.

Pengelolaan laut secara lestari tidak saja memandang pada dimensi spasial menyangkut lokasi, luas, batas, letak dan intensitasnya tetapi juga menyangkut dimensi waktu yang panjang dari generasi ke generasi.
Suaka laut (Marine Sanctuary atau Marine Protected area) merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur bersama oleh masyarakat setempat yang secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif.


Untuk mengoptimalkan perlindungan sumberdaya laut dalam rangka menjamin pelestarian hidup, maka setiap orang berkewajiban menjaga, mengawasi dan memelihara lingkungan hidup dan dituangkan dalam suatu keputusan masyarakat sebagai masyarakat sadar hukum dan sadar lingkungan

Di dalam keputusan masyarakat tersebut harus termuat beberapa hal, yaitu pertimbangan dan aturan-aturan hukum yang mendasari pembentukan suaka laut, batas yuridiksi pengelolaan, tugas dan tanggung jawab pengelola, pendanaan dan, dan sanksi dan pengawasan.


Implementasi dari suaka laut akan mampu menurunkan gangguan yang berasal dari aktivitas illegal fishing karena masyarakat pengelolah suaka laut selalu berusaha menjaga, melindungi dan mempertahankan kawasan yang dikelola.

Ke depan, tren pengembangan teknologi penangkapan ikan harus ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (enviromental friendly fishing tecnology) yaitu suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan dampak terhadap bio-diversity serta target resources.

Andi Iqbal Burhanuddin (Ketua Jurusan Ilmu Kelautan-FIKP Unhas) Fajar Pos

Tidak ada komentar: