Oleh : PRADIPTA PANDU
Ikan diangkut ke atas kendaraan bak terbuka untuk dijual kembali ke pasar di TPI Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (3/8/2017).
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola yang belum optimal menjadi salah satu penyebab utama rendahnya penerimaan negara bukan pajak di sektor perikanan. Pada akhirnya, hal ini juga membuat nelayan skala kecil tak kunjung sejahtera. Oleh karena itu, perlu mengoptimalkan tata kelola ini, khususnya di seluruh wilayah pengelolaan perikanan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Suara dari Kampus untuk Perikanan dan Kelautan Indonesia yang Berkelanjutan”, Senin (3/5/2021). Turut hadir sebagai narasumber, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran (Unpad) Yudi Nurul, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan IPB University Fredinan Yulianda, serta Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Kelautan dan Perikanan Indonesia La Sara.
Yudi Nurul menyampaikan, kondisi perikanan dan kelautan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dari buruknya sarana dan prasarana, produktivitas dan daya saing yang masih rendah, serta tidak meratanya pembangunan atau pengelolaan perikanan. Padahal, potensi perikanan dan kelautan ini mayoritas berada di wilayah Indonesia timur.
Target penerimaan negara bukan pajak dari sektor perikanan sebesar Rp 12 triliun pada 2024 bisa tercapai jika 11 WPP sudah dikelola dengan baik.
Selain itu, belum optimalnya tata kelola juga menjadi salah satu permasalahan utama perikanan dan kelautan di Indonesia. Bahkan, 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dinilai belum mengoptimalkan aspek tata kelola ini.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Berbagai jenis hasil tangakapan nelayan yang dijual pedagang di Pasar Ikan Tawang, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Jumat (19/2/2021). Dalam beberapa pekan ini, komoditas hasil tangkapan menurun seiring dengan cuaca buruk yang melanda sekitar perairan utara jawa.
Yudi memandang target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan sebesar Rp 12 triliun pada 2024 bisa tercapai jika 11 WPP sudah dikelola dengan baik. Kurang optimalnya manajemen WPP tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab PNBP sektor perikanan tidak maksimal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, PNBP sektor perikanan pada 2020 hanya sebesar Rp 600 miliar.
Menurut Yudi, setiap WPP perlu dibangun minimal satu sentra kelautan perikanan terpadu (SKPT) sehingga ikan yang ditangkap bisa dikontrol dan negara mendapatkan PNPB. ”Setiap WPP perlu dikelola dengan baik dan kolaborasi siapa saja yang terlibat sehingga akan diketahui stok dan pendekatan yang berbeda-beda. Setiap WPP akan memberikan kontribusi ekonomi yang cukup tinggi,” ujarnya.
Baca Juga: Perikanan Berkelanjutan Hadapi Banyak Tantangan
Fredinan Yulianda mengatakan, pemerintah perlu melakukan inventarisasi sumber daya dalam upaya meningkatkan PNBP sektor perikanan dan menyejahterakan nelayan. Inventarisasi bertujuan untuk mengetahui jumlah, kondisi, habitat, hingga karakteristik ikan. Semua data tersebut nantinya bisa dijadikan pemetaan, sinkronisasi, dan strategi pengelolaan perikanan ke depan.
Sementara khusus untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemerintah dinilai perlu memberikan kesempatan, keadilan, dan fasilitas yang memadai. Sebab, penyebab nelayan di Indonesia sulit sejahtera karena adanya okupansi wilayah penangkapan ikan oleh industri besar. Di sisi lain, tangkapan nelayan juga harus dihargai secara proporsional.
”Jika ingin menyejahterakan nelayan, konteks budidaya perikanan juga harus didorong dalam skala industri ekonomi kerakyatan dan industri besar. Namun, permasalahan di lapangan itu terkait dengan lokasi untuk budidaya yang belum dipetakan. Kemudian perlu juga mendorong produksi, teknologi, dan manajemen pascapanen,” tuturnya.
Meningkatkan PAAP
La Sara menekankan pentingnya meningkatkan pengelolaan akses area perikanan (PAAP) dalam upaya mengoptimalkan PNBP sekaligus menyejahterakan nelayan. Ini karena PAAP dibuat dengan pendekatan perikanan berkelanjutan yang mengintegrasikan antara konservasi berbasis masyarakat dan manajemen spasial untuk memulihkan dan melindungi perikanan skala kecil.
Peningkatan PAAP juga telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hingga 2021, terdapat 14 kelompok PAAP di Sulawesi Utara yang telah mendapatkan akta notaris. PAAP tersebut berada di 11 kabupaten pesisir dan 222 desa pesisir serta melibatkan 47.617 nelayan. Seluas 334.741 hektar juga masih berpotensi menjadi kawasan PAAP.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Perahu nelayan merapat seusai melaut di perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/11/2020). Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah nelayan di Indonesia terus menurun.
La Sara menambahkan, ke depan, pemerintah perlu melakukan identifikasi komoditas potensial kebutuhan ekspor di setiap WPP untuk dikembangkan teknologi budidayanya. Hal ini juga harus didukung fasilitas pelaksanaan riset untuk menghasilkan teknologi yang tepat dan efektif.
Ia juga meminta agar pengembangan komoditas budidaya jangan dihomogenisasi atau diseragamkan secara nasional. Sebab, bisa jadi komoditas tersebut tidak sesuai dengan kondisi WPP tertentu. Pada akhirnya, kondisi ini akan memengaruhi kebijakan alokasi anggaran untuk pengembangan komoditas unggulan di setiap daerah sehingga aspek keadilan sangat diperlukan agar pembangunan tetap merata.
Baca Juga: Kebijakan Perikanan Jangan Abaikan Prinsip Keberlanjutan
Sumber WA Group :
Lihat Artikel Perikanan Tangkap Lainnya
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar