10 Juli, 2018

Cerita Namu, Dulu Desa Pengebom Ikan Kini Surga Keindahan Alam

Saya mengunjungi Desa Wisata Namu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/6/18). Desa ini jadi buah bibir warga Sultra, terutama Kota Kendari karena keindahan alamnya. 
 
Namu dihuni 481 jiwa dengan 121 keluarga,  yang menggantungkan hidup dari bertani dan melaut. Penduduk mayoritas Suku Tolaki.
Kala musim barat, laut cenderung teduh, masyarakat ramai melaut. Saat musim timur,  ketika ombak tak bersahabat, warga memilih bertani.

Banyak potensi wisata dapat dinikmati di sini. Mulai keindahan laut biru dengan hamparan pasir putih, terumbu karang, suasana tenang, dan air terjun.
Hamparan pasir putih sekitar satu kilometer lebih, begitu terjaga dari tangan jahil penambang. Kala matahari cerah, hamparan pasir bak permadani memanjakan pengunjung menikmati sinar matahari pagi.

Bagi penyelam, sekitar 10 menit berperahu dari bibir pantai, surga bawah laut menawarkan keindahan tiada tara. Terumbu karang hasil revitalisasi masyarakat telah mengundang para penyelam dari pelosok negeri sekadar berswafoto.
Namu dapat diakses via kapal angkutan milik nelayan. Di utara bibir pantai, ada air terjun Namu berbentuk punden berundak. Ia mirip air terjun Moramo, di Kecamatan Moramo, Konawe Selatan. Air tak pernah berhenti mengalir meski kemarau panjang.

Di kelilingi hutan alam lebat dengan kelestarian terjaga dipercaya jadi penjaga ketersediaan air di Namu. Kelestarian hutan Namu ini membawa berkah pada kehidupan flora dan fauna di sana.
Jejeran nyiur rimbun jadi daya pikat untuk membentang tikar di pantai. Di sana, ada beberapa warung dan rumah tinggal sewaan bagi wisatawan. Kalau mengenal warga, biasa wisatawan dapat potongan harga.

Birunya laut membentang sejauh mata memandang hingga ke bibir pantai mengajak pengunjung untuk mandi berlama-lama. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Bom ikan
Di balik keindahan alam Namu, ternyata pernah ada cerita kelam. Dulu, nelayan masih menggunakan bom untuk menangkap ikan. Mereka kebanyakan warga pesisir.

Dulu, mereka gunakan pancing. Seiring marak bom ikan berbahan pupuk urea dan amonium nitrat, nelayan mulai ramai memakai ‘senjata’ baru ini. Tak pelak, tak hanya ikan-ikan mati, terumbu karang pun mengalami kerusakan.
Susi Pudjiastuti,  Menteri Kelautan dan Perikanan pernah mengatakan,  hasil dari kunjungan ke beberapa provinsi mendapatkan keluhan nelayan asal Sultra suka pakai bom saat menangkap ikan.

“Yang saya sampaikan ini bener lho, nelayan dari beberapa daerah itu mengeluh karena yang melakukan pemboman ikan itu dari Sultra. Karena itu,  saya datang meminta nelayan di daerah ini hentikan penggunaan bom ikan,” kata Susi di hadapan para mahasiswa dan civitas akademika Universitas Halu Oleo di Kendari, awal 2018.

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Konawe Selatan, kerusakan terumbu karang 70% di Namu.  “Kerusakan di pesisir Laonti, dekat Namu, terjadi pengeboman ikan masif, sekarang sudah mulai berkurang,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, Askabul Kijo.
Pernyataan Askabul dibenarkan sejumlah komunitas pecinta alam. Sambil terus mengintip kondisi di sana, ternyata mereka sudah berpikir tentang sesuatu yang besar sejak 2015.

***
Di Namu,  saya bertemu Yos Hasrul, pekerja sosial pengembangan pariwisata. Dia bercerita, Namu sebelumnya dikenal orang sebagai surga pembom ikan,  kini dikenal sebagai pusat wisata luar biasa.
“Di sini dulu jalur pengeboman ikan nyaris tak berhenti, hingga membentuk citra buruk,” katanya.

Seiring perjalanan waktu, Yos bercerita mereka mulai masuk dan mendobrak kebiasaan warga. Sosialisasi dilakukan, mulai mendatangi rumah warga dari pintu ke pintu sampai pertemuan yang dihadiri bupati maupun camat.
Nelayan belajar memanfaatkan kekayaan laut dengan arif. Hampir tiap hari mereka mendapat ilmu tentang pentingnya menjaga karang. Masyarakat sepakat menolak keras segala bentuk tindakan merusak laut.

“Kami bersama pemerintah setempat mengajarkan kepada masyarakat bagaimana daerah ini agar berkembang jadi tempat wisata. Ini diterima oleh semua,” kata Yos.

Laut biru berpadu dengan pemandangan jejeran pohon kelapa dan pemukiman warga, begitu memanjakan mata. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Kekompakan warga bangun desa wisata
Kini, warga menolak bom ikan di laut mereka.  “Kami marah kalau ada bom ikan. Itu cerita masa lalu, jangan diulang lagi. Mari kita membangun daerah ini,” kata Ridwan, nelayan Namu.
Wajah desa kini berubah total. Dari desa pembom ikan dan tanpa gairah, jadi kantong penghasilan yang memberikan kehidupan bagi warga.
Secara sosial dan ekonomi, berbagai perubahan kini dirasakan warga sekitar. Jika menyusuri jalan-jalan seputar desa, kini berbagai layanan penunjang wisata banyak bertebaran di sepanjang jalan.
“Banyak yang kami dapatkan untuk menunjang ekonomi kami sendiri. Tidak saja menjadi nelayan tapi di waktu libur melaut kami membuat seperti tempat-tempat istirahat untuk orang berwisata. Kami juga budidaya kerang laut,” ucap Ridwan.

Hampir seluruh warga Namu bergotong royong membangun desa wisata. Kampanye peniadaan bom ikan pun terus disampaikan warga. Sukses wisata di Namu, terkait erat dengan dua hal besar. Pertama, kuatnya dukungan masyarakat setempat terhadap perubahan. Kedua, kesuksesan mengembalikan terumbu karang rusak karena bom.
“Karena itu kami kalau melaut tidak jauh-jauh karena ikan juga sudah kembali,” ucap Nuni, juga warga Namu.

***
Desa Namu terletak di pesisir,  bisa diakses oleh transportasi laut. Pada sisi timur desa berhadapan langsung dengan Pulau Buton bagian utara, di sisi selatan, berdampingan langsung dengan Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan.

Namu juga cukup mudah diakses dari ibukota Konawe Selatan, di sisi utara desa, sedangkan sisi barat, berbatasan dengan wilayah administrasi Kota Kendari, berjarak tempuh sekitar dua jam perjalanan.
Namu terbentuk sebagai desa wisata setelah Yuddin jadi kepala desa yang terpilih kembali pada pilkades 2015. Dia bertekad jadi Namu sebagai desa wisata.

Mimpi Yuddin tentu bukan isapan jempol belaka. Dia sadar betul dengan keindahan dan potensi alam desa ini.
Saya menemui, Yuddin. Dia bercerita, sejumlah obyek wisata di Namu, seperti pasir putih membentang laksana alis seorang putri. Garis pantai ini terletak di empat dusun terpisah. Paling indah dan pusat wisata di pantai Dusun 1. Panjang garis  pantai mencapai satu kilometer.

Masih di Dusun 1, pasir putih dekat dermaga di sisi  selatan jadi daya tarik tersendiri.“Saat air pasang, pasir putih tenggelam hingga cocok untuk snorkeling. Saat surut,  pasir panjang membentang luas bisa untuk berjemur dan jadi arena olah raga sepakbola atau voly pantai,” katanya.
Tak jauh dari pasir panjang, pengunjung disuguhkan keindahan bebatuan alam berwana hitam pekat  (black stone) mirip di Uluwatu,  Bali, dan cocok untuk pemotretan. Hamparan batu hitam ini terhubung dengan tanjung dan bebatuan berwarna merah (red stone).

Kedua sisi hamparan batu hitam dan batu merah terdapat kumpulan pepohonan mangrove dan cemara laut nan indah. Di tanjung,  wisatawan bisa menyaksikan keindahan laut di Dusun 3 dan Dusun 4 Desa Namu. Pemukiman penduduk juga tampak indah dari kejauhan.
”Di tanjung ini, alam bawah laut cocok jadi lokasi penyelaman. Hasil eksplorasi tim penyelam menemukan kondisi  terumbu karang masih alami, mirip alam bawah laut Wakatobi,” ucap Yuddin.

Ke Namu,  saya tak saja menikmati keindahan laut. Di belakang desa ada danau biru dengan sumber air dari pegunungan Namu. Sekitar satu kilometer di punggung bukit desa, juga ada wisata air terjun setinggi 12 meter, mirip air terjun Moramo pada Suaka Margasatwa Tanjung Peropa.
Aneka satwa masih sering dijumpai di sini, seperti rusa, anoa, kera hitam Sulawesi, rangkong, elang Sulawesi hingga  babi hutan.  Begitu juga aneka flora endemik tumbuh subur di hutan Namu, seperti anggrek macan corak kuning yang sangat langka.

Keterangan foto utama: Pemerintah desa dan aktivis sosial terus menggenjot pengembangan wisata Namu. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia



(Visited 1 times, 2 visits today)
 
 

Tidak ada komentar: