Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berulang kali menyatakan keberadaan rumpon di tengah laut mempercepat eksploitasi tuna sekaligus menyebabkan bergesernya lokasi penangkapan (fishing ground) makin jauh ke tengah laut.
Besarnya permintaan tuna di pasar global memacu pengusaha perikanan memasang rumpon ilegal
untuk “memanen” tuna yang berenang di sekitar rumpon. Kelestarian tuna
semakin terancam dengan banyaknya pemasangan rumpon ditambah belum
efektifnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.
Rumpon dalam istilah asing disebut fish aggregating device (FAD) atau payaos
(bagi pelaut Filipina) merupakan sejenis pelampung yang dipasang di
laut untuk menarik ikan berkumpul di dekatnya sebelum ditangkap oleh
nelayan.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen tuna terbesar dengan memproduksi 16% atau 185.675 metrik ton atau setara $1,9 miliar per tahun. Sebagian besar industri perikanan tuna memang berkaitan dengan penggunaan rumpon.
Keberadaan rumpon telah mengubah paradigma hunting menjadi harvesting
karena risiko ketidakpastian lokasi tuna dapat diminimalkan dengan
mengumpulkan ikan di lokasi-lokasi tertentu. Diperkirakan lebih dari 50% hasil tangkapan tuna di dunia berasal dari penangkapan yang berasosiasi dengan rumpon.
Petualangan saya dengan kapal pancing ulur (handline)
berukuran 9 gross tonnage (GT) dimulai dari Pelabuhan Perikanan Samudera
Bitung-Sulawesi Utara pada awal Januari 2016. Dua pekan perjalanan
membuat saya mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk rumpon. Kapal
kami mendatangi sebuah rumpon milik kapal jaring lingkar (purse seine) di Laut Maluku, sekitar 130 kilometer dari daratan. Lokasi ini dapat ditempuh 8-9 jam dengan kecepatan kapal 8-9 knot.
Kapten dan anak buah kapal mengungkapkan bahwa, memancing tuna
bukanlah perkara mudah. Sebab tuna, yang dikenal sebagai ikan peruaya
jauh, merupakan perenang cepat dan kerap berpindah tempat. Dibutuhkan
keterampilan dan insting yang kuat untuk mengetahui keberadaan ikan
pelagis besar ini.
Pada awalnya rumpon dipasang di dekat pantai. Namun, saat ini banyak
rumpon yang dipasang di wilayah laut lepas atau zona ekonomi eksklusif
(ZEE). Sebagian besar rumpon tersebut dijaga oleh kapal lampu guna
mencegah pencurian ikan serta memantau tuna.
Sedangkan di sekitar laut teritorial seperti Maluku dan Sulawesi, sebagian besar rumpon
dijaga oleh seorang nelayan yang menempati rakit atau gubuk apung
yang diikatkan ke pelampung rumpon. Mereka memantau keberadaan tuna
dengan menyelam di sekitar rumpon dan mengamati permukaan perairan.
Rakit dilengkapi generator dan panel surya, radio komunikasi, alat
masak, dan lampu neon 6-8 buah yang dipasang mengelilingi. Cahaya lampu
berperan sangat penting, agar ikan berkumpul pada malam hari. Cahaya
lampu juga berguna untuk keamanan rumpon agar terlihat oleh kapal yang
melintas pada malam hari.
Penjaga rumpon mengawasi dan menginformasikan keberadaan tuna kepada pemilik rumpon atau kapal purse seine.
Mereka pula yang menentukan siapa dan berapa jumlah kapal pancing tuna
yang diizinkan menambatkan kapalnya untuk memancing tuna di sekitar
rumpon. Penjaga rumpon tinggal selama 6-12 bulan di rakit dengan
mengandalkan suplai makanan dan bahan bakar minyak dari pemilik rumpon.
Untuk mengusir kebosanan, mereka melengkapi isi rakitnya dengan hiburan
televisi dan DVD player.
Mayoritas pekerja ilegal
Sebagian besar penjaga rumpon adalah nelayan ilegal dari perbatasan Filipina seperti General Santos (Gensan)
dan Davao. Lemahnya pengawasan nelayan asing di masa lalu, terutama di
daerah perbatasan telah dimanfaatkan oleh para pemilik rumpon untuk
mempekerjakan nelayan asing secara ilegal, tidak terkecuali sebagai
penjaga rumpon di tengah laut.
Terlebih lagi pasca-berlakunya moratorium izin operasional kapal eks asing dan pengetatan alih muatan ikan di laut (transhipment), banyak nelayan kehilangan pekerjaan. Tidak terkecuali nelayan asing,
alih-alih kembali ke negara asal, mereka berupaya tetap tinggal di
Indonesia. Menjaga rumpon, dengan gaji Rp750 ribu-1,5 juta per bulan,
merupakan satu alternatif pekerjaan agar mereka dapat bertahan hidup.
Namun, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp40-60 juta
selama setahun dari hasil memancing tuna di rumpon.
Dulu, nelayan pancing dan nelayan pancing joran (pole and line)
selalu mengandalkan tanda-tanda alam dari kawanan lumba-lumba atau
burung laut untuk mengetahui lokasi tuna. Namun, sekarang mereka lebih
memilih mencari tuna di sekitar rumpon. Mereka dapat berpindah dari satu
rumpon ke rumpon lain sembari terus berkomunikasi dengan penjaga rumpon
lain untuk mendapatkan informasi keberadaan tuna.
Cara kerja rumpon
Nelayan telah mengetahui sejak lama sifat alamiah ikan yang cenderung
berkumpul di sekitar objek terapung seperti batang pohon dan kayu yang
hanyut di laut. Pengetahuan ini terus berkembang sampai akhirnya nelayan
berinisiatif membuat pelampung buatan yang disebut rumpon.
Rumpon pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Jepang dan Filipina kepada nelayan Indonesia pada 1980-an pada saat mereka ekspansi penangkapan tuna ke wilayah Indonesia.
Setidaknya terdapat dua jenis rumpon yang digunakan di perikanan tuna, yaitu rumpon hanyut (drifting FAD) dan rumpon jangkar (anchored FAD).
Rumpon hanyut sebagian besar digunakan oleh nelayan Amerika dan Eropa
dengan menambahkan beberapa peralatan canggih, pada bagian pelampung
dipasang echosounder, sejenis alat akustik untuk memantau keberadaan ikan hingga kedalaman ratusan meter. Dilengkapi pula dengan radio beacon dan GPS yang berfungsi mengirim titik koordinat rumpon.
Sedangkan di bagian bawahnya, nelayan memasang jaring bekas sebagai pengumpul ikan (attractor)
yang dipasang dibawah pelampung. Sistem ini sangat membantu nelayan
untuk mengetahui lokasi rumpon dan mengetahui rumpon mana yang didapati
banyak tuna. Apalagi jenis kapal penangkap yang beroperasi dengan jenis
rumpon ini berukuran sangat besar, sering disebut super purse seines
(1.000-2.000 GT). Tidak jarang mereka juga menggunakan bantuan
helikopter untuk memantau gerombolan tuna dari atas rumpon yang mereka
miliki.
Adapun rumpon jangkar yang digunakan oleh nelayan Indonesia desainnya
cukup sederhana. Alat ini terdiri dari pelampung, pengumpul ikan (attractor)
, dan jangkar (pemberat). Dulu nelayan menggunakan bambu sebagai bahan
pelampung. Kini mereka menggunakan bahan yang lebih tahan lama seperti
gabus persegi (styrofoam) dan pelampung silinder besi (pontoon).
Untuk bagian attractor, nelayan menggunakan daun kelapa atau
nipah yang dibenamkan di kedalaman 10-30 meter. Sedangkan pemberat
dapat berupa serangkaian drum minyak bekas kapasitas 200 liter berjumlah
4-6 buah yang diisi semen. Rumpon jangkar dapat dipasang di wilayah
laut yang memiliki kedalaman 2.000-4.000 meter.
Kontroversi: spesies non-target juga ditangkap
Keberadaan rumpon berdampak positif dimana penangkapan tuna menjadi
lebih efisien. Mengapa? Karena kapal penangkap hanya menangkap ikan di
lokasi tertentu setelah mendapatkan informasi dari penjaga rumpon.
Dampak positif lainnya bagi lingkungan adalah mengurangi risiko pembuangan gas karbondioksida dari pembakaran solar yang menggerakkan kapal.
Namun penggunaan rumpon juga tidak lepas dari kritikan para pemerhati
perikanan tangkap. Sebagian dari mereka mengungkapkan, maraknya
penggunaan rumpon memicu meningkatnya jumlah tangkapan tuna. Penggunaan rumpon yang berasosiasi dengan alat penangkapan cenderung tidak selektif, seperti jaring purse seine telah meningkatkan risiko penangkapan baby tuna dan spesies non-target seperti lumba-lumba, penyu, hiu, atau biota lain.
Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa keberadaan rumpon berisiko menjadi jebakan ekologi bagi tuna karena berpotensi mengubah
alur migrasi tuna. Pada area rumpon yang dipasang di wilayah perairan
yang tidak subur, banyak tuna tertangkap dengan kondisi lambung kosong, walaupun perlu penelitian lebih jauh untuk memastikan dampak terhadap siklus hidup tuna.
Bagaimana status penggunaan rumpon di Indonesia?
Saat ini Indonesia belum memiliki manajemen yang tepat untuk
mengelola perikanan tuna berbasis rumpon walaupun sudah ada Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26/2014 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 107/2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Cakalang dan Tongkol (RPP TCT).
Belum terlaksananya tata kelola rumpon yang baik disebabkan karena
lemahnya dokumentasi perizinan pemasangan rumpon, dan lemahnya monitoring
jumlah dan distribusi rumpon serta rendahnya kesadaran dari para pelaku
usaha perikanan dan nelayan untuk melaporkan jumlah rumpon milik
mereka.
Langkah utama yang seharusnya segera dilakukan pemerintah adalah
mendata kembali jumlah rumpon yang masih aktif. Hal ini penting sebagai
dasar untuk monitoring dan survei jumlah dan distribusi rumpon
di area perairan tertentu, serta menentukan berapa jumlah optimal rumpon
yang dapat dipasang di suatu wilayah perairan.
Kebijakan pengelolaan rumpon dari pemerintah seharusnya menghasilkan win-win solution agar produksi perikanan tuna tetap terjaga untuk generasi mendatang.
https://theconversation.com/dilema-penggunaan-rumpon-kepentingan-ekonomi-versus-konservasi-tuna-82719
Tidak ada komentar:
Posting Komentar