KKPNews,
Maluku – Polres Kabupaten Aru menangkap 5 nelayan yang membawa 38 ekor
penyu dari Pulau Enu, Aru Bagian Bagian Tenggara, Maluku, pada Senin
(20/2). Sebanyak 6 ekor dari 38 ekor penyu yang diduga akan
diperdagangkan itu ditemukan dalam keadaan mati. Selanjutnya, 32 ekor
penyu yang masih hidup dilepasliarkan dan 6 ekor yang mati dikuburkan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang
Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, tindak lanjut tersebut
adalah hasil koordinasi antara petugas lapangan Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan di Wilayah
Kerja Aru Bagian Tenggara yang merupakan unit kerja pengelola Suaka Alam
Perairan (SAP) Aru Bagian Tenggara dengan Kapolres Aru dan Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aru.
“Tindaklanjutnya telah dilakukan
pelepasan 32 ekor penyu yang masih hidup dan penguburan 6 ekor yang mati
di pulau Wamar pada tanggal 21 dan 22 Februari 2017. Pelepasan dan
penguburan penyu hijau tersebut langsung dipimpin oleh Wakil Bupati Aru
bersama Polres Aru, Lanal Dobo, Kejaksaan, perwakilan Kementerian
Kelautan dan Perikanan di Dobo (Wilker SAP Aru Bagian Tenggara dan Pos
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan),” terang Brahmantya di
Jakarta, Kamis (23/2).
Brahmantya menegaskan, upaya penangkapan penyu secara ilegal dan tidak sesuai dengan konsep penanganan animal welfare
sehingga menyebabkan sebagian penyu mati lemas. Untuk itu, menurutnya
harus dilakukan sosialisasi upaya perlindungan penyu dan sumberdaya
ikan, serta ekosistem dalam kawasan SAP Aru Bagian Tenggara.
“Upaya perlindungan penyu, ikan, dan
ekosistem harus disosialisasikan dan memang telah disosialisasikan ke
masyarakat desa dan adat, serta siswa SD, SMP, dan SMA. Kemudian
pemberdayaan masyarakat nelayan diarahkan untuk penyadaran masyarakat
dan mendorong peran pemerintah desa dan adat terhadap perlindungan
penyu, sumberdaya ikan dan ekosistem perairan laut dalam SAP Aru Bagian
Tenggara,” jelas dia.
Populasi penyu di wilayah perairan Aru
Bagian Tenggara didominasi oleh 2 jenis dari 6 jenis penyu yang ada di
Indonesia, yaitu populasi penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Kedua jenis penyu ini berfungsi sebagai katalisator biologis untuk
perkembangan karang dan secara ekologis berfungsi sebagai penyeimbang
ekosistem perairan.
Brahmantya menjelaskan, jumlah populasi
penyu di perairan ini akan mempengaruhi tingkat kesuburan dan stabilitas
ekosistem. Penyu hijau misalnya, memiliki jarak tempuh mencapai ribuan
mil laut dapat menyebar nutrisi penting ke laut melalui kotorannya.
Kotorannya dapat menjadi pupuk atau pakan bagi tumbuhan dan hewan laut
lainnya. Adapun penyu sisik adalah pemakan terumbu karang yang tidak
sehat sehingga menjadi sehat kembali. Terumbu karang yang sehat dapat
menjadi habitat sekaligus sumber makanan bagi ikan. “Tanpa adanya penyu,
populasi ikan akan menurun. Pada akhirnya hasil tangkapan ikan dan
pendapatan nelayan akan turun,” tambahnya.
Menurut Brahmantya, kasus pemanfaatan penyu secara illegal
di kabupaten Aru khususnya Aru Bagian Tenggara yang masih sering
terjadi karena lemahnya pengawasan dan proses penegakan hukum terhadap
pelaku penampungan di Dobo. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang
mengkonsumsi daging dan telur penyu juga menjadi faktor sosial
pendorong. Oleh karena itu, kejadian ini menjadi barometer pemerintah
dan aparat hukum untuk meningkatkan peran pengendalikan pemanfaatan dan
peredaran biota laut yang dilindungi sesuai UU No. 5/1990 dan PP No.
7/1999.
“Peristiwa ini menunjukkan bahwa
perdagangan penyu bukan berasal dari hasil tangkapan nelayan secara
tidak sengaja, tetapi perburuan penyu sebagai target ekonomi. Karena
itu, yang diutamakan dalam proses tersebut adalah penegakan hukum sesuai
dengan ketentuan dan perundang-udang yang berlaku. Keterlibatan Pemda
dalam proses pelepasan dan komitmen Kapolres untuk proses penegakan
hukum diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku penangkapan dan
perdagangan illegal penyu,” tandasnya. (AFN/DS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar