07 Januari, 2016

Kebijakan KKP Wujudkan Perikanan Berkelanjutan di Perairan 0-4 Mil


Indonesia yang memiliki luasan  2/3 bagian yang terdiri dari laut, menjadikan sumberdaya  kelautan dan perikanan  merupakan  komponen penting dalam mewujudkan keberhasilan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini disebabkan antara lain karena sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai salah satu sumber devisa negara dan  penyedia bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan protein hewani.

Saat ini, akar permasalahan terjadinya Illegal, Unregulated and Unreported Fishing (IUUF) adalah regulasi sistem tata kelola perikanan yang dibuat belum mengikuti tuntutan dinamika perkembangan dan kompleksitas permasalahan yang semakin tinggi. Apabila tata kelola perikanan tangkap tidak segera dilakukan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan maka tidak menutup kemungkinan over fishing semakin banyak bahkan eksploitasi sumber daya ikan akan terjadi.
Narmoko Prasmadji, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Senin (21/12) menjelaskan, over fishing dapat disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sehingga kebutuhan akan pangan termasuk dari ikan semakin meningkat. Selain itu harga komoditas perikanan menunjukkan nilai jual semakin tinggi dan  dianggap merupakan ladang bisnis yang menarik dan menjanjikan, sehingga terjadi kompetisi yang serius dengan menggunakan kemampuan yang dominan artinya yang punya modal besar akan mendapatkan lebih cepat. 

Tak hanya itu, ketersediaan sumber daya ikan di negara-negara dunia selain Indonesia semakin memperlihatkan kecenderungan menurun, sehingga  dorongan kebijakan negara dunia untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada selain di negaranya sendiri termasuk ke perairan Indonesia. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan penduduk yang secara signifikan selalu meningkat, permintaan terhadap kebutuhan ikan semakin meningkat,  masyarakat pesisir yang  sebagin besar masyarakat dikatagorikan termasuk  miskin dan lahan pertanian semakin berkurang untuk berusaha, serta kecenderungan memilih sebagai nelayan apabila mendapatkan pemutusan hasil pekerjaan (PHK), ditambah lagi dengan penegakan hukum yang masih rendah, sehingga tekanan sumberdaya ikan semakin besar.
Sebagai contoh, laut utara Jawa yang telah dieksplotasi oleh ±390.000 nelayan dengan ±122.500 unit alat tangkap yang berbeda (DJPT,2010). Tekanan penangkapan ini termasuk pada tingkat yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah perairan pantai lainnya. Hampir semua jenis perikanan di pantai Utara Jawa sudah diidentifikasi mengalami tangkap penuh (fully-exploited) maupun tangkap lebih (over exploited) (KepMen KP No. 45/men/2011). Jenis tekanan lainnya yang juga mengancam kelangsungan sumber daya 0 – 4 mil Utara Jawa ialah: penangkapan tidak ramah lingkungan, pencemaran, sedimentasi, dan pembangunan di wilayah pesisir (RRSEA, 2002). 
Pengelolaan 0 – 4 mil laut berbasis konservasi yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentunya akan memberikan dampak positif. Yaitu memberikan kesempatan kepada sumber daya ikan di kawasan 0 – 4 mil laut Pantai Utara Jawa untuk beregenerasi dan memulihkan diri. Umumnya daerah  terumbu karang dan padang lamun berada pada kawasan di bawah 4 mil dimana kawasan ini meruoakan daerah pemijahan, pengasuhan dan pembesaran serta merupakan rantai makanan yang paling penting. Namun hal ini tentunya tidak dapat dirasakan secara langsung dalam waktu yang singkat oleh masyarakat. Dalam jangka panjang dengan pengelolaan bebasis konservasi, dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi kelangsungan sumberdaya ikan dan ekonomi masyarakat di pesisir Pantai Utara Jawa. 
Indonesia telah mencanangkan pada tahun 2020 memiliki 20 juta Ha kawasan konservasi. Saat ini telah terbentuk ±16 juta Ha kawasan konservasi yang umumnya terdapat pada wilayah 0-4 mil (KKPD). Sistem zonasi ditetapkan pada kawasan konservasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan dan zona lainnya. 
“KKP telah mengeluarkan kebijakan untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Salah satu kebijakannya adalah pengelolaan perikanan tangkap di perairan 0-4 mil yang dikhususkan untuk nelayan dengan kapal di bawah 10 GT, sedangkan nelayan skala industri (10 GT ke atas) dapat memanfaatkan sumber daya ikan di jalur penangkapan di atas 4 mil,” ujarnya
Narmoko menuturkan perairan di bawah 4 mil merupakan penyangga dari pengelolaan sumberdaya ikan secara utuh. Wilayah ini merupakan daerah pemijahan, daerah asuh dan daerah sumber makanan bagi ikan kecil  dan biota laut yang secara rantai makanan akan menopang ikan-ikan di di atas perairan 4 mil.
“Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut tujuannya untuk mewujudkan keberlanjutan sumberdaya ikan di perairan laut Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu pilar pembangunan KKP untuk mendukung Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Narmoko.
Ditambahkannya, nelayan lokal sebenarnya justru lebih memahami betul bagaimana memanfaatkan ikan secara berkelanjutan seperti, adanya hak-hak ulayat yang telah dibangun mereka sejak lama untuk keberlanjutan sumberdaya ikan. Perairan di bawah 4 mil memang seharusnya dimanfaatkan hanya oleh nelayan kecil dan bukan untuk nelayan industri. 
“Nelayan kecil, modalnya sedikit dan menggunakan teknologi yang sederhana sehingga tidak mampu menangkap ikan ke arah yang lebih jauh. Sedangkan nelayan industri mempunyai modal besar dan teknologi yang tinggi pula, jadi silakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan ke arah jelajah yang lebih jauh. Bahan baku untuk industri perikanan sudah pasti tersedia, jadi untuk kapal besar tidak perlu lagi mengambil ikan di wilayah 4 mil, biarkanlah wilayah tersebut untuk para nelayan dengan kapal dibawah 10 GT,” pungkasnya. (MA/CP)

Tidak ada komentar: