Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman
Jl. Sambaliung Kampus Gunung
Kelua, Samarinda, Kalimantan Timur
Email : kholidikairo@yahoo.co.id
Secara filosofis kekayaan sumber daya
alam yang terkandung di perairan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
kepada segenap bangsa Indonesia. Hal tersebut mengandung
makna bahwa siapa saja dapat memanfaatkan dan memperoleh nikmat dari anugerah
tersebut.[1] Salah satu kekayaan sumber daya alam
yang terkandung di perairan Indonesia adalah sumber daya perikanan. Potensi
sumber daya perikanan yang dimiliki merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan
untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Sumber
daya perikanan sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, meningkatkan
penerimaan devisa negara, dan menyediakan perluasan kesempatan kerja.
Sumber daya perikanan merupakan
kekayaan alam yang begitu penting dan melimpah yang berada di laut. Untuk itu
diperlukan dasar hukum pengelolaan sumber daya perikanan yang mampu menampung
semua aspek pengelolaan sumber daya perikanan dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum dan teknologi. Kehadiran Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diharapkan mampu mengantisipasi sekaligus
sebagai solusi terhadap perubahan yang sangat besar di bidang perikanan, baik
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya perikanan, kelestarian sumber
daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien dan modern. Undang-Undang tentang perikanan tersebut tidak
hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia saja, tapi juga Warga Negara Asing (WNA) yang melakukan aktifitas penangkapan
ikan di wilayah perikanan Republik Indonesia. Selain itu, Undang-Undang tentang
perikanan juga memberikan sanksi bagi pihak yang melanggar Undang-Undang
tersebut (illegal fishing).
Agar dapat mengakomodir potensi
perikanan yang berada di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Indonesia kemudian meratifikasi
konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut Tahun 1982 dengan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan atas United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hak
berdaulat (sovereign right) untuk
melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE
Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar
internasional yang berlaku.
UNCLOS 1982 memang memberikan hak kepada setiap negara pantai
maupun negara kepulauan untuk melakukan klaim terhadap wilayah yurisdiksi
maritim. Untuk itu,
UNCLOS 1982 memberikan pengaturan mengenai zona laut yang dapat di klaim oleh
suatu negara pantai maupun negara kepulauan. Zona laut tersebut adalah Laut
Teritorial sejauh 12 mil (pasal 3 UNCLOS 1982), Zona Laut Tambahan sejauh 24
mil (pasal 33 UNCLOS 1982), Zona Laut Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil (pasal 57
UNCLOS 1982), dan Landas Kontinen yang tidak boleh melebihi 350 mil atau
disebut dengan Landas Kontinen Ekstensi (pasal 76 ayat 4 huruf (a) UNCLOS
1982).[2]
Berdasarkan pengaturan tersebut maka
setiap negara berlomba untuk melakukan klaim terhadap wilayah laut mereka.
Keadaan demikian menimbulkan pertanyaan apakah negara yang melakukan klaim
terhadap wilayah lautnya, tidak akan tumpang tindih dengan klaim wilayah laut
negara lain. jawabannya adalah klaim suatu negara akan berpotensi tumpang
tindih dengan klaim wilayah laut negara lain yang disebut dengan overlapping claim. Overlapping claim tersebut dapat terjadi mengingat jarak antara
negara yang satu dengan yang lain saling berdekatan. Sehingga jika ada negara A
dan negara B yang berdekatan ingin melakukan klaim wilayah laut teritorial
sejauh 12 mil, tentu masih tidak menimbulkan permasalahan. Permasalahan akan
muncul tatkala kedua negara saling menetapkan ZEE sejauh 200 mil, maka dapat
dipastikan ZEE kedua negara akan tumpang tindih.[3]
Batas maritim antara Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka, merupakan contoh adanya overlapping claim dari kedua negara. Overlapping claim tersebut terjadi ketika kedua negara melakukan
klaim terhadap ZEE masing-masing negara, sehingga ZEE kedua negara saling
melampaui yang menimbulkan kawasan yang belum ada batas dan perjanjiannya
diantara ZEE kedua negara tersebut.
Telah
penulis sebutkan bahwa di antara ZEE Indonesia dan Malaysia terdapat kawasan
yang belum ada perjanjian batasnya. Sehingga jika terdapat kegiatan penangkapan
ikan di kawasan tersebut tentu dapat menimbulkan salah paham dari petugas kedua
negara. Terutama petugas Indonesia akan kesulitan dalam mengindentifikasi
kegiatan penangkapan ikan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan illegal atau tidak sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Undang-Undang tentang perikanan tersebut.[4]
Terlebih di Selat Malaka tempat dimana kawasan yang belum ada perjanjiannya
tersebut berada, marak terjadi kegiatan
Illegal Fishing. Kondisi sedemikian rupa tentu akan berdampak pada semakin
meningkatnya aktivitas-aktivitas pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan
tersebut.
Aktivitas-aktivitas pelanggaran hukum
tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar. Adapun aktivitas-aktivitas
yang berasal dari dalam seperti: pencurian benda purbakala, illegal fishing (pencurian ikan secara illegal), people smuggling (penyelundupan manusia), dan perompakan. Adapun
aktivitas-aktivitas pelanggaran hukum yang berasal dari luar adalah seperti:
terorisme, narkotika, perompakan, pencurian pasir laut, illegal logging, penyelundupan senjata dan bahan peledak, human trafficking, imigran gelap dan
perdagangan satwa yang dilindungi. Semua aktivitas pelanggaran hukum tersebut
melewati jalur Selat Malaka sebagai pintu masuk ke Indonesia. Artinya adalah, Selat Malaka merupakan kawasan yang
demikian strategis. Dari semua aktivitas-aktivitas pelangaran hukum tersebut, illegal fishing merupakan aktivitas yang
paling menonjol dan paling banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas
pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan tersebut. [5]
Selat Malaka merupakan kawasan yang
memang rawan terhadap kegiatan aktivitas Illegal
Fishing. Stasiun Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan merilis
data Illegal Fishing di Selat Malaka
pada tahun 2007 sebanyak 4 buah kapal berbendera Malaysia, tahun 2008 sebanyak
2 buah kapal berbendera Indonesia, tahun 2009 sebanyak 3 kapal berbendera
Malaysia dan 11 kapal berbendera Thailand, tahun 2010 sebanyak 16 kapal
berbendera Malaysia, tahun 2011 sebanyak 4 kapal asal Malaysia, tahun 2012
sebanyak 4 kapal berbendera Indonesia , 1 kapal berbendera Malaysia, dan 6
kapal berbendera Thailand, tahun 2013 sebanyak 2 kapal berbendera Indonesia dan
2 kapal berbendera Malaysia. Total,
kapal berbendera Malaysia merupakan peringkat pertama yang melakukan aktifitas Illegal Fishing di Selat Malaka.[6]
Adanya tumpang tindih batas yang
belum memiliki perjanjian dari kedua Negara, telah menyebabkan terjadinya insiden di
Selat Malaka pada tanggal 7 April 2011. Pada saat itu, kapal patroli HIU-007
milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menangkap dua kapal Illegal Fishing berbendera Malaysia yang
sedang melakukan aktifitas penangkapan ikan. Petugas Indonesia kemudian
menggiring kedua kapal tersebut menuju Pelabuhan Belawan. Di tengah perjalanan,
petugas Indonesia dicegat oleh tiga helikopter Malaysia. Dari dalam helikopter,
petugas Malaysia meminta agar kedua kapal tersebut dilepas, dengan alasan bahwa
kedua kapal tersebut melakukan aktifitas penangkapan ikan masih di kawasan ZEE
Malaysia. Merasa yakin bahwa kedua kapal tersebut melakukan Illegal Fishing di ZEE Indonesia,
petugas KKP tetap membawa kedua kapal tersebut ke Pelabuhan Belawan. Tentu saja
helikopter Malaysia tidak berani mengejar hingga ke wilayah Indonesia. Kedua
awak kapal tersebut segera diproses oleh petugas Pelabuhan Belawan. Konsulat
Jenderal (konjen), Kedutaan Malaysia yang berkedudukan di Medan segera merespon
berita penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas Indonesia dengan menyediakan
pengacara yang akan menangani kasus yang menimpa warga negara mereka.
[7] Kesalahpahaman ini dapat terjadi akibat belum adanya perjanjian mengenai kepastian dan kejelasan batas maritim dari kedua negara.
[7] Kesalahpahaman ini dapat terjadi akibat belum adanya perjanjian mengenai kepastian dan kejelasan batas maritim dari kedua negara.
Apakah
Aktivitas Penangkapan Ikan di ZEE Yang Belum Ada Perjanjiannya Dapat
Dikategorikan Termasuk Kegiatan Illegal
Fishing ?
Sebelum
kita mulai menganalisa aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan di ZEE yang
belum ada perjanjiannya, adalah lebih
bijak jika kita menelusuri terlebih dahulu apa dan seperti apa illegal fishing itu. Sayangnya, Pengertian illegal fishing di dalam peraturan perundang-undangan yang ada,
tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Walaupun demikian kita dapat
melacak definisi illegal fishing tersebut
dari sisi ethimologi bahasanya. Illegal
fishing berasal dari bahasa Inggris yakni illegal yang berarti tidak sah; gelap; dan melanggar hukum.
Sedangkan fishing berarti kegiatan penangkapan ikan;
menangkap ikan.[8]
Dari kedua kalimat dalam bahasa Inggris tersebut jika disatukan berarti,
kegiatan penangkapan ikan yang melanggar atau tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku.
International Plan of Actions to Prevent Determine and
Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing)[9]
memberikan pengertian illegal fishing yang
terbagi dalam tiga bagian yakni: 1. Penangkapan ikan yang illegal, dalam artian suatu kapal tidak memiliki izin dari suatu
untuk melakukan penangkapan ikan diwilayahnya. 2. Unreported fishing, yakni penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah
suatu negara yang tidak dilaporkan baik data operasionalnya, maupun data kapal
beserta hasil tangkapannya. 3. Unregulated
fishing, yaitu suatu kegiatan penangkapan ikan yang tidak mematuhi aturan
yang berlaku di negara tersebut.
Selain itu, wikipedia bahasa Indonesia,
turut memberikan definisi mengenai illegal
fishing. Menurut wikipedia bahasa Indonesia, illegal fishing adalah penangkapan ikan yang dilakukan dengan
melanggar hukum yang telah ditetapkan di perairan suatu negara. Definisi
penangkapan ikan illegal biasanya
beriringan dengan penangkapan ikan yang tidak diregulasi dan yang tidak
dilaporkan, sehingga menyulitkan otoritas setempat untuk memantau sumber daya
yang telah dieksploitasi.[10]
Definisi illegal fishing menurut
wikipedia ini, sesuai dengan definisi illegal
fishing yang menurut IPOA-IUU.
Berdasarkan definisi-definisi yang
telah ada diatas, maka dapat disimpulkan bahwa illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan
yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara tidak sah,
dan tidak dilaporkan ke otoritas yang berwenang dari suatu negara dan dilakukan
di wilayah suatu negara, baik oleh nelayan asing maupun oleh nelayan dari
negara itu sendiri. Definisi tersebut bertentangan
dengan anggapan umum yang berkembang di masyarakat dengan persepsi bahwa illegal fishing merupakan kegiatan
pencurian ikan saja.
Diantara sekian banyak permasalahan, illegal fishing atau IUU Fishing oleh nelayan-nelayan atau armada
kapal ikan asing adalah yang paling banyak merugikan negara. Pencurian ikan
oleh kapal ikan asing dari wilayah laut Indonesia diperkirakan sebesar 4
triliun pertahun, sumber daya perikanan tersebut terus dijarah. Selain kerugian
sebesar itu, pencurian ikan oleh nelayan asing berarti juga mematikan peluang
nelayan Indonesia untuk mendapatkan 1 juta ton ikan setiap tahunnya. Volume
ikan yang dijarah tersebut juga akan mengurangi pasokan ikan segar (raw materials) bagi industri pengolahan
hasil perikanan nasional, serta berbagai industri dan jasa yang terkait.
Sehingga impor ikan baik volume maupun jumlahnya terus menurun secara
signifikan.[11]
Pada
dasarnya praktek illegal fishing
terbesar adalah dengan menggunakan metode Poaching,
yakni penangkapan ikan oleh negara lain di suatu wilayah negara, tanpa izin
dari negara tersebut.[12]
Pada dasarnya keterlibatan keterlibatan
pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongan menjadi dua hal. Yang pertama,
adalah pencurian
semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan dengan kapal asing dengan
memanfaatkan surat izin penangkapan legal
yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera
lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai illegal fishing, karena selain menangkap
ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku juga tidak jarang langsung
mengirim hasil tangkapannya tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah
yang tidak sah. Praktek perikanan demikian juga disebut sebagai praktek “pinjam
bendera” (flag of convenience). Kedua,
adalah pencurian murni illegal, yaitu
proses penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan asing dan kapal asing
tersebut menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah suatu negara.
Illegal fishing, dilakukan di
wilayah perairan suatu negara tanpa izin, tanpa sepengetahuan dan tidak
dilaporkan pada otoritas yang berwenang di negara yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap negara berhak
untuk memanfaatkan wilayah laut, baik itu negara berpantai ataupun negara tidak
berpantai. Hal tersebut mengingat sumber daya yang berada di laut tersebut
sangat besar dan harus dimanfaatkan tanpa harus di monopoli oleh negara-negara
berpantai atau negara maju saja. Terlebih di kawasan ZEE suatu negara memiliki
hak berdaulat dimana di kawasan tersebut juga harus diperhatikan hak dari
negara lain selama tidak mengganggu keamanan negara yang bersangkutan. Inilah
yang menyebabkan kawasan ZEE dalam hukum internasional disebut sebagai kawasan
yang sui generis, yakni kawasan yang
memiliki keunikan dan diperlukan pengaturan tersendiri untuk pengaturannya.
Dalam konteks Indonesia terkait
dengan wilayahnya terutama di wilayah lautnya, Indonesia masih memiliki
sejumlah pekerjaan rumah untuk menyelesaikan wilayah batas maritimnya dengan negara tetangganya. Beberapa batas maritim
Indonesia dengan negara tetangganya ada yang masih belum selesai dan
bahkan belum ada batas maritimnya sama sekali. Batas maritim Indonesia dengan
negara tetangga yang belum ada batas maritimnya adalah dengan Filipina, Palau
dan Timor Leste. Belum
adanya batas maritim antara Indonesia dan Filipina disebabkan karena kedua
negara dalam melakukan klaim batas maritimnya menggunakan dasar hukum yang
berbeda. Indonesia dalam melakukan batas maritimnya yang berbatasan dengan
Filipina merujuk pada UNCLOS 1982, sedangkan Filipina merujuk pada Traktat
Paris 1930 dan 1989 yang masih
diberlakukan.[13]
Batas maritim antara Indonesia dengan
Palau juga tidak kunjung selesai atau mencapai kesepakatan, karena antara
Indonesia dan Palau memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Hal tersebut
tentu menyusahkan pihak Indonesia pada saat akan melakukan negosiasi
kesepakatan batas maritim, mengingat kedua negara tidak memiliki hubungan
diplomasi. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, pihak Indonesia telah
mengupayakan membuka jalur diplomasi dengan Palau. Indonesia hingga saat ini,
baru memiliki sebuah kantor perwakilan diplomatik untuk Palau yang berkedudukan
di Filipina. Mengenai kantor perwakilan diplomatik untuk Palau yang
berkedudukan di Filipina, hal itu disebabkan karena untuk membuka kantor
perwakilan diplomatik di Palau tidaklah memungkinkan mengingat Palau hanyalah
berupa negara dengan luas yang sangat kecil.[14]
Terkait batas maritim Indonesia
dengan Timor Leste, belumlah dapat untuk dirundingkan. Timor Leste tidak
bersedia untuk merundingkan batas maritim dengan Indonesia sebelum batas darat
terselesaikan lebih dahulu (clarity and
certainty), dengan kata lain kedua negara masih memfokuskan perundingannya
pada penentuan batas darat terlebih dahulu.[15]
Kejelasan batas maritim menjadi penting mengingat batas
tersebut merupakan batasan sejauh mana yurisdiksi suatu negara dapat
memberlakukan hukumnya atau kedaulatannya. Batas yang tidak jelas tentu dapat
menimbulkan kesalahpahaman antar negara, mengingat tidak jelasnya batas
tersebut menyebabkan antar negara saling merasa paling berhak untuk
memberlakukan kedaulatannya di kawasan tersebut.
Adapun contoh batas maritim yang masih belum ada perjanjiannya
tersebut terdapat di Selat Malaka yang memang merupakan kawasan yang banyak
terdapat aktivitas nelayan Malaysia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di
kawasan tersebut. Belum adanya perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia di
Selat Malaka, terdapat pada ZEE kedua negara. Adapun faktor penyebab belum adanya perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia untuk kawasan ZEE dikarenakan adanya tumpang tindih
batas (overlapping claim) maritim.
Pada tanggal 27 Oktober 1969, untuk
pertama kalinya Indonesia merundingkan batas landas kontinen (dasar laut hingga tanah di bawahnya beserta
kekayaan alam di dalamnya)
dengan Malaysia, di Kuala Lumpur dan disahkan pemberlakuannya dengan Kepres
Nomor 89 Tahun 1969 pada tanggal 5 November 1969. Perundingan tersebut
menghasilkan tiga segmen garis batas. Segmen pertama, ada di Selat Malaka
hingga mendekati perbatasan Malaysia-Singapura sepanjang 400,8 mil laut. Segmen
kedua, dimulai dari sisi timur Selat Singapura hingga Laut Cina Selatan. Segmen
ketiga, merupakan kelanjutan dari batas darat di Pulau Borneo bagian Barat
Laut, yaitu di Tanjung Datu.[16]
Ketika UNCLOS 1982 mengatur mengenai
hak negara pantai dan negara kepulauan untuk melakukan klaim terhadap ZEE
(pengaturan yang membagi tubuh air), Indonesia segera melakukan ratifikasi
terhadap konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Indonesia
kemudian melakukan klaim ZEE nya dengan menggunakan garis tengah (median line) antara Sumatera dan
Semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Sedangkan Malaysia, menggunakan
garis batas landas kontinen yang telah disepakati perjanjiannya pada tahun 1969
sebagai batas ZEE nya. Klaim sepihak yang dilakukan oleh kedua negara menyebabkan
adanya overlapping claim (tumpang
tindih) ZEE di Selat Malaka yang hingga kini belum selesai mengenai kejelasan
batas antar kedua negara.
Kondisi ZEE yang masih belum jelas
dan belum ada perjanjiannya tersebut telah menimbulkan insiden, berupa digiringnya
kapal nelayan Malaysia oleh petugas Indonesia ke wilayah perairan Indonesia,
karena dinilai oleh petugas Indonesia, nelayan tersebut telah melakukan
kegiatan illegal fishing, berupa
pencurian ikan. Pihak Malaysia kemudian bereaksi atas perlakukan sikap petugas
Indonesia. Pihak Malaysia kemudian mengejar dengan menggunakan helikopter dan
meminta agar nelayan tersebut dilepaskan. Pihak Malaysia berdalih bahwa nelayan
tersebut masih menangkap ikan di kawasan ZEE Malaysia. Pihak Indonesia pun
tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa nelayan tersebut memang menangkap
ikan di ZEE Indonesia.
Insiden ini dapat merugikan dan
mengganggu hubungan antara kedua negara. Akibat ketidakjelasan batas maritim
menyebabkan adanya ketegangan yang kemudian disulut oleh provokasi media massa
tanpa melihat persoalan dari aspek yang sebenarnya. Hal tersebut merupakan
kerugian pula bagi nelayan. Sebab jika batasnya belum jelas, nelayan Indonesia
masih tidak akan dapat mengakses hingga ke ZEE yang memang kaya akan sumber
daya ikan.
Kegiatan penangkapan ikan yang
dilakukan di kawasan yang belum ada perjanjiannya tersebut tidaklah dapat
dikategorikan ke dalam bagian dari illegal
fishing. Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Malaysia di
kawasan ZEE yang belum ada perjanjiannya, seperti di Selat Malaka tidak dapat
dikategorikan sebagai illegal fishing setidaknya
dapat dilihat dari dua aspek. Aspek yang pertama, adalah dari definisi illegal fishing itu sendiri dan batas
maritim di ZEE tersebut apakah sudah ada perjanjiannya atau belum. Dilihat dari
aspek definisi illegal fishing itu
sendiri, bahwa illegal fishing
merupakan kegiatan penangkapan ikan yang melanggar peraturan perundang-undangan
yang dilakukan secara tidak sah, dan tidak dilaporkan ke otoritas yang
berwenang dari suatu negara dan dilakukan di wilayah suatu negara, baik oleh
nelayan asing maupun oleh nelayan dari negara itu sendiri.
Berdasarkan definisi tersebut,
kegiatan di kawasan ZEE yang belum ada perjanjiannya merupakan kawasan abu-abu
atau merupakan kawasan yang diistilahkan dengan istilah vacuum of law (terjadi kekosongan hukum). Jika ingin dikatakan
melanggar hukum, tidak melaporkan pada otoritas yang berwenang dan dikatakan
mencuri ikan, hal tersebut tidaklah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
mengingat di kawasan ZEE yang overlapping
claim tersebut masih belum jelas
status kepemilikan antar negara sejauh mana saja.
Jika nelayan Malaysia tersebut
dikatakan mencuri ikan di ZEE Indonesia, hal tersebutpun tidak dapat
dibenarkan. Mencuri berasal dari kalimat dasar “curi”, dan ditambahkan imbuhan
“me”. Sehingga mencuri artinya adalah mengambil milik orang lain tanpa izin,
atau dengan tidak sah, biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.[17]
Pernyataan mengenai Indonesia memiliki ikan tersebut tentu saja tidak benar. Pernyataan yang benar adalah ikan tersebut berada di perairan Indonesia berupa perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEE sehingga menjadi kewenangan Indonesia untuk melakukan pengelolaan perikanan. Untuk bisa mengetahui mana saja yang termasuk ikan suatu negara, maka perlu diketahui cakupan batasan laut dari negara tersebut. Disinilah diperlukannya aspek batas maritim untuk menentukan apakah negara tersebut memiliki kewenangan terhadap sumber daya ikan tersebut atau tidak.[18] Jika batas maritimnya belum selesai dan belum memiliki kesepakatan dengan negara tetangganya, bagaimana mungkin suatu negara dapat menuduh negara tetangganya telah mencuri ikan yang menjadi kewenangannya tersebut.
Pernyataan mengenai Indonesia memiliki ikan tersebut tentu saja tidak benar. Pernyataan yang benar adalah ikan tersebut berada di perairan Indonesia berupa perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEE sehingga menjadi kewenangan Indonesia untuk melakukan pengelolaan perikanan. Untuk bisa mengetahui mana saja yang termasuk ikan suatu negara, maka perlu diketahui cakupan batasan laut dari negara tersebut. Disinilah diperlukannya aspek batas maritim untuk menentukan apakah negara tersebut memiliki kewenangan terhadap sumber daya ikan tersebut atau tidak.[18] Jika batas maritimnya belum selesai dan belum memiliki kesepakatan dengan negara tetangganya, bagaimana mungkin suatu negara dapat menuduh negara tetangganya telah mencuri ikan yang menjadi kewenangannya tersebut.
Indonesia tidaklah dapat semena-mena
memberlakukan hukumnya di kawasan yang overlapping
claim tersebut karena memang batasnya belum jelas. Prinsip yurisdiksi
menyebutkan bahwa kejelasan batas menjadi faktor kunci utama suatu negara untuk
memberlakukan kewenangannya dalam menegakkan hukum nasionalnya. Artinya
kategori-kategori dan sanksi pidana yang ada pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
tidak dapat diberlakukan di ZEE yang belum ada perjanjiannya dengan negara
tetangga tersebut.
Aspek yang kedua untuk dapat
memastikan apakah penangkapan ikan yang dilakukan di ZEE yang belum ada
perjanjiannya dapat dikategorikan illegal
fishing atau tidak adalah dari segi teori kedaulatan dan hak berdaulat.
Berdasarkan teori kedaulatan, UNCLOS 1982 membatasi kedaulatan suatu negara di
laut hanya pada perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial.
Pada kawasan ini mutlak berlaku kedaulatan suatu negara untuk memberlakukan hukum
nasionalnya. Pada kawasan ini pula jika terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undang Perikanan maka sanksi-sanksi yang diatur di dalam Undang-Undang
tersebut mutlak dapat diberlakukan. Mengingat kawasan tersebut merupakan
wilayah Indonesia yang mutlak berlaku kedaulatan Indonesia di dalamnya.
Adapun pada kawasan zona tambahan dan
ZEE, suatu negara hanya memiliki hak berdaulat. Terkait dengan ZEE, suatu
negara memiliki hak untuk mengeksplorasi, melakukan penelitian dan mengelola
sumber daya hayati maupun non hayati di kawasan itu. Suatu negara bahkan
diperbolehkan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya tersebut, dalam hal ini adalah
Undang-Undang Perikanan selama tidak bertentangan dengan hukum internasional. Undang-Undang
Perikanan tersebut juga memberikan sejumlah sanksi terhadap pelanggaran dalam
kegiatan penangkapan ikan. tentu saja sanksi tersebut tidak dapat diberlakukan
karena batas maritim yang ada di ZEE yang belum ada perjanjiannya tersebut
masih merupakan klaim sepihak dari kedua negara.
Selain itu, di dalam hak berdaulat di
kawasan ZEE, Indonesia secara tidak langsung oleh UNCLOS 1982, diberikan
kebolehan untuk melakukan penegakan hukum di kawasan tersebut. Penegakan hukum
tersebut berupa menaiki kapal, memeriksa dan menangkap kapal yang melakukan illegal fishing di ZEE Indonesia. Upaya
penegakan hukum yang memang diperbolehkan oleh UNCLOS 1982 tersebut telah
dilakukan oleh petugas Indonesia di Selat Malaka, pada kawasan ZEE yang belum ada
perjanjiannya. Tentu saja penegakan hukum tersebut tidak tidak dapat dibenarkan
karena upaya penegakan hukum tersebut dilakukan di tempat yang bukan seharusnya
upaya demikian dilakukan. Upaya penegakan tersebut hanya dapat dilakukan di
yurisdiksi kedaulatan Indonesia dan wilayah yang telah pasti batas maritimnya.
Berdasarkan
dua aspek yang tersebut, maka segala aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan
di kawasan batas maritim yang masih belum ada atau masih tumpang tindih batas
maritimnya tidak dapat disebut sebagai illegal
fishing.
PENUTUP
Aktivitas
penangkapan ikan yang dilakukan di kawasan ZEE yang belum ada perjanjiannya dan
belum selesai batas maritimnya tidaklah dapat disebut sebagai illegal fishing. Definisi illegal fishing sendiri menyebutkan
bahwa illegal fishing terjadi akibat
adanya peraturan perundang-undangan suatu negara yang dilanggar. Aspek utama
suatu negara untuk memberlakukan peraturan perundang-undangannya adalah adanya
kejelasan dan kepastian batas maritim. Hal ini sejalan dengan teori kedaulatan
dan hak berdaulat, yang membatasi kedaulatan suatu negara hanya pada kawasan
perairan pedalaman dan laut teritorial. Hal ini menyebabkan pemberlakuan hukum
nasional tidak dapat diberlakukan di kawasan ZEE yang memberlakukan hak
berdaulat. Akan tetapi pemberlakuan hukum internasional, dalam hal ini UNCLOS
1982 tidak dapat diberlakukan jika belum adanya kejelasan dan kepastian batas
maritim. Prinsip yurisdiksi mensyaratkan bahwa pemberlakuan hukum nasional,
tergantung dari kejelasan batas-batas suatu negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
United Nations Convention On the Law of the Sea 1982
Literatur
I
Made Andi Arsana,
2007, Batas Maritim Antar Negara : Sebuah
Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mahendra
Putra Kurnia, Purwanto, Muhammad Syahrir, dan Muhammad Syafril, 2013, Naskah Akademik Rancangan Perda Kabupaten Kutai Timur Tentang Nelayan
Andon, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda.
Nicole
Wiliam dan Budi Djatmiko, 2011, Kamus Kantong Bahasa Inggris, Pustaka
Wityatama, Jakarta.
Literatur
Lain
Hasmar Kurniawan, Sengketa Laut Cina Selatan Dan Implikasinya
Bagi Kepentingan Indonesia, Buletin Kawasan Perbatasan (Badan Pembangunan
Perbatasan Daerah, Provinsi Kalimantan Timur), Volume 5 Edisi 2–2014,
Samarinda.
Lingkar
Ide Perhimpunan Pelajar Indonesia-Australia (PPIA), Episode Batas Maritim Internasional,
dengan Guest Star I Made Andi Arsana
, http://www.madeandi.com, diakses
pada 18 November 2013, Pukul 19.30 Wita.
Maskun, Iin Karita Sakharina, dan Birkah Latif, Bentuk Rekonstruksi
Upaya Penegakan Hukum di Laut, Jurisdictionary: Journal of International Law, Volume
VI Number 1 June 2010, Faculty of Law Hasanuddin University, Makassar-Indonesia.
Rokhmin
Dahuri,
2012, Anatomi Permasalahan Illegal
Fishing dan Solusinya, Halaman 1, diakses dari http://rokhmindahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-solusinya/ pada
tanggal 14 Maret 2015, Pukul 10.05 Wita.
Sobar
Sutisna and Sora Lokita, Indonesian
First Experiences in Delineating Extented Continental Shelf Submission to the
UN-CLCS, Indonesian Journal of International Law, Volume 8 Number 4 July
2011, Faculty of Law University of Indonesia, Depok.
Wikipedia
Bahasa Indonesia, pengertian-illegal-fishing-wikipedia-bahasa-indonesia/,
diakses pada 13 Maret 2015, Pukul 11.30 Wita.
[1] Mahendra
Putra Kurnia, Purwanto, Muhammad Syahrir, dan Muhammad Syafril, 2013, Naskah Akademik Rancangan Perda Kabupaten
Kutai Timur Tentang Nelayan Andon, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman,
Samarinda, halaman 1.
[2] Sobar Sutisna and Sora
Lokita, Indonesian First Experiences in
Delineating Extented Continental Shelf Submission to the UN-CLCS, Indonesian
Journal of International Law, Volume 8 Number 4 July 2011, Faculty of Law
University of Indonesia, Depok, halaman 684.
[3] Lingkar Ide Perhimpunan
Pelajar Indonesia-Australia (PPIA), Episode
Batas Maritim Internasional, dengan Guest
Star I Made Andi Arsana , http://www.madeandi.com, diakses pada 18 November
2013, Pukul 19.30 Wita.
[4] Pasal-pasal yang terkait
dengan pengkategorian kegiatan Illegal
Fishing pada Undang-Undang Perikanan, terdapat pada pasal 7, 8, 9, 12, 21,
23, 26, 27, 28, 29, 36, 37, 38, dan 43.
[5] Maskun, Iin
Karita Sakharina, dan Birkah Latif, Bentuk Rekonstruksi Upaya Penegakan
Hukum di Laut, Jurisdictionary:
Journal of International Law, Volume VI Number 1 June 2010, Faculty of Law
Hasanuddin University, Makassar-Indonesia, Halaman 51.
[6] Data Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan, dari tahun ke tahun, penggolongan
kegiatan illegal fishing tersebut
digolongkan berdasarkan bendera kapal pelaku illegal fishing di Selat Malaka. Penulis mendapatkan data tersebut
melalui komunikasi menggunakan email dengan Kepala PSDKP Belawan pada 18
Desember 2014, Pukul 19.21 Wita.
[7] Wawancara melalui email
dengan Kepala Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)
Belawan, Bapak Mukhtar, A.PI, M.Si, tanggal 18 Desember 2014 Pukul 19.21Wita.Lihat
juga http://detik.com/readnews/2011/04/13/082414/1615124/103/insiden-selat-malaka-/
[8] Nicole
Wiliam dan Budi Djatmiko, , 2011, Kamus Kantong
Bahasa Inggris, Pustaka Wityatama, Jakarta.
[9] IPOA-IUU Fishing merupakan
suatu panduan yang dicetuskan oleh Food
and Agriculture Organization (FAO) untuk menangani kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing
(IUU Fishing) pada tahun 2001.
[10] Wikipedia Bahasa Indonesia,
pengertian-illegal-fishing-wikipedia-bahasa-indonesia/, diakses pada 13 Maret
2015, Pukul 11.30 Wita.
[11] Rokhmin Dahuri, 2012, Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan
Solusinya, Halaman 1, diakses dari http://rokhmindahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-solusinya/ pada tanggal 14 Maret 2015,
Pukul 10.05 Wita. Atau lihat juga Warta Berita RRI Jakarta, 2 November 2014,
Siaran Langsung Yang Disiarkan Pada Pukul 08.07 WIB.
[12] Perlu
diketahui bahwa praktek Illegal Fishing, tidak
hanya dilakukan oleh kapal-kapal dengan bendera negara lain, namun juga
dilakukan oleh kapal-kapal dengan bendera negara itu sendiri. Untuk itu pada
Undang-Undang Perikanan tidak hanya berlaku pada kapal-kapal asing, namun juga
pada kapal dengan bendera Indonesia sendiri.
[13] Hasmar Kurniawan, Sengketa Laut Cina Selatan Dan Implikasinya Bagi Kepentingan Indonesia,
Buletin Kawasan Perbatasan (Badan Pembangunan Perbatasan Daerah, Provinsi
Kalimantan Timur), Volume 5 Edisi 2–2014, Samarinda, Halaman 43 - 44. Lihat
juga www.academia.edu/5080425/batas_maritim_Indonesia/.
[16] I Made Andi Arsana, 2007, Batas Maritim Antar Negara : Sebuah Tinjauan
Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Halaman 141.
[18] Pernyataan I
Made Andi Arsana melalui Sosial Media, Twitter pada akunnya @madeandi diakses pada 7
Desember 2014, pukul 08:03 WIB.
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini tempat
Mau Sehat dan Menyehatkan Minum Air Izaura
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan Tanpa Modal Besar.
Mau Meraih Penghasilan Besar, Membantu Kesehatan Semua Orang dan Memiliki Bisnis Yang Mudah Anda Jalankan Tanpa Modal Besar.
Berminat Hub Mukhtar, A.Pi HP. 081342791003
Kami akan menunjukan Anda Jalan Mencapai Impian
Kenal Lebih Jauh Dengan Air Izaura
Kami akan menunjukan Anda Jalan Mencapai Impian
Kenal Lebih Jauh Dengan Air Izaura
Cari Kos Kosan di Kota Kendari ini tempat
Menerima pesanan
Kanopi, Pagar Besi, Jendela
dengan Harga
Murah dengan Sistim Panggilan.
Miliki Kavling tanah
di Pusat Pemerintahan Kabupaten Bima di GRIYA GODO PERMAI BIMA
Berminat Hub 081342791003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar