24 Juli, 2015

Penyelundupan Ikan Marak

Eksportir Tak Terdaftar Gunakan Perusahaan Lain untuk Ekspor

JAKARTA, KOMPAS — Dugaan penyelundupan ikan hasil kegiatan perikanan ilegal disinyalir mulai marak seiring kebijakan moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri dan larangan penggunaan alat tangkap berbahaya. Terkait itu, pemerintah berjanji meningkatkan pengawasan di pintu keluar pelabuhan dan bandar udara.

Sekretaris Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Agus Priyono mengemukakan itu di Jakarta, Selasa (14/7).

Sebelumnya, saat menyampaikan penahanan 33 peti kemas berisi ikan yang akan diekspor, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro antara lain mengungkapkan berbagai hasil perikanan yang akan diekspor itu tidak memiliki sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia. 

"Jika sampai lolos dan diekspor, kemudian ikan itu nanti dikonsumsi dan mungkin menimbulkan keracunan, nama Indonesia akan ikut tercemar. Jadi, penting bagi kita untuk menjaga kualitas ikan kita, bukan hanya soal nilai ikannya," kata Bambang (Kompas, 14/7).

Kebijakan pemerintah untuk menghentikan sementara (moratorium) izin kapal ikan buatan luar negeri mulai Oktober 2014 dan larangan penggunaan alat tangkap ikan yang berbahaya ditengarai telah menimbulkan penimbunan stok ikan. Di sisi lain, pemerintah melarang produk ikan yang dihasilkan kapal-kapal ikan buatan luar negeri untuk dipasarkan sampai masa moratorium selesai, Oktober 2015.

"Muncul modus perusahaan mencari celah untuk tetap memasarkan stok ikan dari kapal yang dibekukan atau dilarang beroperasi. Mereka memakai calo perusahaan atau menumpang perusahaan lain untuk ekspor," kata Agus.
Sepanjang semester I-2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) Kementerian Keuangan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, bekerja sama dengan BKIPM-KKP telah menahan setidaknya 37 peti kemas berisi beragam hasil perikanan yang akan diekspor. Selain eksportir tidak teregistrasi di BKIPM-KKP, beragam hasil perikanan yang akan diekspor tidak memiliki sertifikat sistem kontrol keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point/HACCP) dan sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.

content

Agus mengemukakan, hampir seluruh pemilik barang atau eksportir dari 37 peti kemas yang tidak teregistrasi itu menggunakan nama perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan itu berdomisili di Jawa dan Lampung. Adapun 1 perusahaan eksportir telah teregistrasi, tetapi lupa menyertakan dokumen sertifikasi kesehatan untuk konsumsi manusia.

Barang bukti yang ditemukan antara lain beragam produk perikanan, seperti cumi-cumi beku ikan sotong beku, ikan beku campuran, udang beku, ubur-ubur diasinkan, ikan kakap merah, ikan kembung. Selain itu, ikan tuna beku, hiu beku, dan ikan mackerel beku.

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah membuat nota kesepahaman dengan beberapa negara mitra tujuan ekspor, yakni Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, Kanada, Rusia, Uni Eropa, dan Norwegia. Dalam nota kesepahaman itu, setiap ekspor hasil perikanan dari dan ke dua negara hanya dapat dilakukan oleh eksportir yang teregistrasi dan memiliki sertifikat HACCP dan sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.

Mengelabui
Menurut Agus, sejumlah modus kerap dipakai eksportir untuk mengelabui aparat, antara lain produk ubur-ubur yang diekspor akan dipakai untuk bahan kosmetik. Faktanya, ubur-ubur itu ditujukan untuk konsumsi.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilai, kasus penyelundupan ikan dapat menjadi indikasi bahwa praktik pencurian ikan masih agresif meski pemerintah tengah mengambil fokus pemberantasan itu sendiri. Proses hukum harus segera dilakukan dengan menjangkau hingga ke pemilik kapal atau pemilik perusahaan. (LKT)

Tidak ada komentar: