Salah
satu isu kelautan yang perlu mendapat pehatian saat ini adalah rencana
pemerintah untuk melakukan konversi penggunan Bahan Bakar Minyak (BBM)
menjadi Bahan Bakar Gas (BBG) bagi nelayan. Untuk melaksanakan rencana
tersebut, Presiden menugaskan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
(ESDM) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam melakukan
persiapan dan koordinasi, agar implementasi rencana tersebut dapat
berjalan dengan baik. Seperti diketahui bahwa pada tahun 2014 lalu,
subsidi BBM untuk nelayan tangkap mendapat alokasi sebesar 2,1 juta KL
atau senilai Rp 11 triliun. Angka ini kemungkinan ‘menggangu’ neraca
pemerintah sehingga, kemudian kelompok nelayan menjadi salah satu target
sasaran pengurangan penggunaan BBM. Namun, demikian, rencana bagus
pemerintah tentunya harus diikuti oleh kesiapan pelaksanaan seperti
ketersediaan BBG itu sendiri, harga dan kualitas BBG, kesiapan
infrastruktur dan sumberdaya manusia.
Menyusul
pengurangan subsidi BBM beberapa waktu yang lalu, menyebabkan kenaikan
harga BBM sehingga pilihan untuk melakukan konversi ke BBG akan dapat
mengurangi pemakaian dan impor BBM. Selain lebih murah, penggunaan BBG
dianggap lebih ramah lingkungan. Penggunaan BBG ternyata memberi dampak
postif bagi lingkungan dan kesehatan. Dengan penggunaan BBG maka nelayan
tidak menghisap CO karena tidak ada asap. Jika CO terhisap akan
menyebabkan gangguan kesehatan. Dengan demikian penggunaan elpiji tidak
menimbulkan asap dan tidak menimbulkan kerak di ruang bakar, hal ini
membuat mesin bisa lebih awet. Konversi ini juga akan mengurangi emisi C
sebesar 95%, emisi CO2 sebesar 25% dan emisi HC sebesar 80% dan emisi NOx sebesar
30%. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan
Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pengelolaan
Energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus
dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu
guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan negara
kesatuan Republik Indonesia. Penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan
energi yang dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat dalam pelaksanaannya harus selaras, serasi, dan
seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Menurut Sharif C. Sutardjo
Menteri Kelautan dan Perikanan era SBY, KKP akan memfasilitasi konversi
BBM ke BBG bagi kapal-kapal perikanan yang bekerjasama dengan Pertamina
(KKP, 2013). KKP juga telah memberi bantuan kapal perikanan, alat
tangkap dan alat bantu penangkapan ikan. Dukungan terhadap program
konversi BBM ke BBG ini dilanjutkan pada tahun 2015 dengan target yang
lebih ambisius. KKP menegaskan dan telah mencanangkan program konversi
bahan bakar nelayan dari solar ke gas khususnya elpiji 3 kg kepada
600.000 nelayan dalam kurun waktu 2015-2019. Program ini merupakan
program kerjasama dengan Kementerian ESDM dan KKP, dimana ESDM berperan
dalam memfasilitasi penyediaan konverter gas, sementara KKP menyediakan
data nelayan yang akan menerima alat converter tersebut serta menjamin
kesiapan sumberdaya manusia termasuk kelembagaan nelayan.
Hambatan Implementasi
Sebelum
memperkenalkan penggunaan BBG kepada nelayan, pemerintah terlebih
dahulu telah mendorong penggunaan BBG untuk kendaraan bermotor di jalan
raya terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya.
Pengalaman menunjukan bahwa konversi BBM ke BBG untuk kendaraan
nampaknya tidak berjalan dengan mulus dan sesuai target. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal antara lain ketersediaan pasokan gas,
penentuan harga jual gas, kualitas gas, kit konverter, ketersediaan
SPBG, standar, pengujian dan sumberdaya manusia.
Meskipun
sumber gas di Indonesia sangat banyak, namun pada kenyataannya quota
gas untuk transportasi tidak ada. Gas yang ada sudah habis untuk
industri dan pembangkit listrik, bahkan pembangkit listrik masih
kekurangan pasokan gas. Untuk itulah diperlukan adanya quota gas untuk
transportasi oleh pemerintah. Demikian juga halnya, pasokan gas untuk
kapal nelayan nantinya akan diambilkan dari sumber yang mana?. Hal ini
harus clear untuk menjamin kesinambungan program ini nantinya. Masalah
lain adalah terkait dengan harga jual gas. Sebelum keluarnya KepMen ESDM
No. 2932 K/12/MEM/2010 mengenai harga jual BBG, di Jakarta terdapat dua
jenis harga gas untuk kendaraan untuk jenis CNG (Compressed Natural Gas).
Kedua harga gas tersebut adalah harga gas Pertamina Rp. 2.562/lsp atau
liter setara premium sedangkan harga gas PGN (Perusahaan Gas Negara)
adalah Rp. 3.600/lsp. Karena perbedaan harga ini, maka SPBG yang menjual
gas lebih mahal kekurangan konsumen, karena konsumennya beralih ke
SPBG yang menjual gas lebih murah. Hal ini berakibat buruk karena
terjadi antrian panjang dan SPBG harus beroperasi terus menerus,
sehingga perawatannya terabaikan. Sejak 15 Desember 2010 sudah
diberlakukan KepMen ESDM No. 2932 K/12/MEM/2010 dimana harga BBG untuk
transportasi di wilayah Jakarta ditentukan Rp. 3.100/lsp sehingga tidak
ada perbedaan harga lagi. Walaupun sudah sama harganya, tetapi para
pengusaha masih berusaha untuk minta kenaikan dari harga tersebut,
karena dengan harga tersebut marginnya sangat kecil. Kondisi ini juga
bukan tidak mungkin akan terjadi pada penjualan BBG di tingkat nelayan.
Bagaimana kelak menentukan harga gas bagi kapal nelayan dengan berbagai
macam ukuran?
Sementara
itu, terkait dengan kualitas gas saat ini sudah ditentukan dengan Surat
Keputusan Menteri ESDM, tetapi pelaksanaan dilapangan belum ada yang
melakukan pengetesan. Salah satu keluhan dari bus TransJakarta adalah
kandungan air terlalu tinggi, sehingga setiap 6 bulan diperlukan
pembersihan tangki gas. Menjaga kualitas gas didarat saja demikian
sulit, bagaimana mekanisme control kualitas gas yang akan diterima oleh
nelayan?. Kemudian hal lain adalah yang berkaitan dengan penyediaan dan
penggunaan kit konverter yang merupakan alat vital dalam operasional
BBG. Kit converter yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari
berbagai negara, seperti Argentina, Cina dan India. Spare part atau suku
cadang untuk peralatan konversi tersebut tidak tersedia di Indonesia.
Jika ingin membelinya harus dalam jumlah besar dan waktu yang diperlukan
untuk pengiriman juga lama. Akibatnya kendaraan yang mengalami
kerusakan sangat sulit diperbaiki karena sulitnya pengadaan spare part
dan pada akhirnya kendaraan tersebut kembali lagi menggunakan BBM.
Rencana pemerintah untuk memfasilitasi converter nelayan sekaligus dalam
jumlah yang banyak, perlu di cermati, bagaimana kemudian jika itu
mengalami kerusakan dalam pemakaiannya. Masa garansi berapa lama, dan
dimana nelayan akan melakukan perbaikan?. Demikian juga halnya dengan
ketersediaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) bagi kapal nelayan
yang sampai saat ini belum terbangun. Investasi besar juga dibutuhkan
untuk membangun SPBG di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil terutama
untuk mendukung penyediaan dan isi ulang terhadap kekosongan dan
kebutuhan BBG.
Di
Indonesia standar yang digunakan untuk peralatan konversi bahan bakar
gas (CNG) pada kendaraan adalah SNI 7407 : 2009. Standar ini mengacu
pada beberapa standar dari luar negeri seperti AS/NZ 2739 : 2009, ISO
15500 : 2001, dan sebagainya. Namun butir-butir yang diacu pada SNI
tidak selengkap yang ada pada standar-standar tersebut, sehingga SNI
masih belum dapat dijadikan sebagai patokan. Contohnya adalah pada SNI
ada bagian yang membahas mengenai instalasi, tetapi pada kenyataannya di
lapangan para installer merakit peralatan konversi tersebut mengikuti
panduan dari vendornya masing-masing, sehingga tata letak peralatan
konversi pada kendaraan satu dengan yang lainnya berbeda beda tergantung
dari vendor dan luasnya ruang yang ada pada kendaraan. Begitu pula pada
tahap pengujian nantinya. Selama ini di Indonesia tidak ada suatu
lembaga atau badan yang menguji peralatan konversi, yang ada hanya
pengujian pada tabung yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Sebelum digunakan pada kendaraan, peralatan konversi yang diimpor harus
diuji terlebih dahulu. Sehingga dapat diketahui kelayakan penggunaan
peralatan tersebut. Dan yang terakhir adalah sumberdaya manusia yang
menangani instalasi konverter kits masih sangat sedikit dan masih belum
bersertifikasi karena tidak ada badan yang mengeluarkan sertifikasi.
Para SDM/teknisi tersebut dilatih langsung oleh vendor yang mengeluarkan
converter kits. Problem program konversi BBM ke BBG pada kendaraan di
darat ini, mesti menjadi acuan ketika pemerintah hendak memberlakukan
hal yang sama untuk kapal nelayan, bahkan mungkin dengan tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi.
Peluang Penggunan BBG Nelayan
Menurut
hasil penelitian yang dilakukan ITB dan ESDM pada tahun 2012 terhadap
konverter kit ABG, penggunaan ABG jauh lebih hemat dibandingkan BBM
dengan perbandingan 1 liter solar/bensin ~ 240 gram gas. Artinya
penggunan BBG bisa 4 kali lebih hemat dibandingkan BBM. Jika
dibandingkan dari harga, maka BBG lebih hemat sebesar Rp. 4.733 – 5.150
atau 74% – 80% setiap 1 liter solar dengan perbandingan harga solar
sebesar Rp. 6.400/liter dan harga gas 3 kg sebesar Rp. 15.000 – 20.000,-
(harga tahun 2015). Angka ini kemudian akan lebih besar jumlahnya,
kalau nelayan dapat melakukan modifikasi alat dan menggunakan due fuel (solar
dan LPG). Apabila di asumsikan dalam satu kali melaut dengan jarak
tempuh 42 mil (pergi, pulang dan orientasi penangkapan), nelayan akan
menghabiskan 9,82 liter solar, sedangkan saat menggunakan dual fuel, nelayan menghabiskan solar 3,17 liter di tambah LPG sebanyak 8,29 liter atau setara 4,48 kg LPG.
Sementara
itu, jika menggunakan harga solar bersubsidi berdasarkan harga resmi
Pertamina sebesar Rp. 6.400/liter dan harga LPG bersubsidi untuk ukuran 3
kg dengan harga resmi Pertamina sebesar Rp.6.000/kg, perhitungan biaya
bahan bakar dalam satu kali operasi penangkapan ikan dengan jarak tempuh
yang sama yaitu 42 mile akan mendapatkan selisih biaya bahan bakar saat
menggunakan dual fuel dibandingkan
solar seluruhnya yaitu Rp. 25.688 yaitu pengurangan biaya operasi
dengan solar sebesar Rp 62.848 dikurangi biaya dual fuel sebesar Rp
37.168. Penggunaan dual fuel dapat
menghemat biaya operasi bahan bakar sebesar 59,1 % dari biaya
penggunaan solar seluruhnya. Memang keuntungan volume dan biaya bahar
bakar ini akan berkurang jika dibandingkan dengan analisis penggunaan
waktu tempuh melaut. Waktu tempuh yang dihasilkan saat menggunakan solar
seluruhnya yaitu selama 9,92 jam atau 9 jam 55 menit 12 detik.
Sementara waktu tempuh yang dihasilkan saat menggunakan dual fuel selama 10,05 jam atau 10 jam 3 menit. Selisih waktu saat menggunakan solar seluruhnya dibandingkan dual fuel yaitu
0,13 jam atau 7 menit 48 detik. Dapat disimpulkan bahwa waktu tempuh
saat menggunakan solar seluruhnya lebih cepat 7 menit 48 detik atau 1,3 %
dibandingkan waktu tempuh saat menggunakan dual fuel.
Namun
demikian, perhitungan ini akan mengalami diferensiasi ketika di
implementasikan pada kondisi lingkungan bisnis nelayan yang sangat
paradoksial sifatnya. Oleh karena itu, rencana pemerintah perlu mendapat
koreksi agar target angka diatas kertas bisa sejalan dengan kondisi
infrastruktur BBG, kesiapan nelayan dan penyediaan BBG nelayan yang
kontinyu oleh pemerintah. Beberap hal yang perlu mendapat perhatian
untuk dapat di antisipasi dengan baik adalah pertama sinkronisasi data nelayan dan kelompok sasaran.
Instansi pemerintah yang berkaitan langsung dengan program ini yaitu
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, BPS dan pemerintah
daerah perlu secara bersama-sama melakukan pemutakhiran data jumlah
nelayan, armada kapal dan menentukan lokasi prioritas mana program ini
akan dilakukan. Seperti kita ketahui bahwa keterediaan data antar
instansi tentang hal ini belum sinkron antara satu sama lainnya. Oleh
karena itu, untuk program vital seperti konversi ini, pemerintah perlu
lebih serius menyiapkan data pokok jumlah nelayan dan target sasaran
karena ketersediaan data pokok tersebut akan berimplikasi secara lebih
luas terhadap rencana kerja teknis selanjutnya. Kedua jaminan penyediaan kit converter dan ketersediaan gas.
Walapun pada tahap awal program konversi ini akan difasilitasi
sepenuhnya oleh pemerintah melalui penyediaan 50.000 konverter gas pada
tahun 2015, tapi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan nelayan saat ini
yang mencapai 2,17 juta orang, fasilitasi yang dilakukan oleh
pemerintah pada tahap awal ini hanya akan menyasar 2,3% dari total
nelayan. Selain masih sangat kecil, jangkauan program ini diperkirakan
belum akan merata dan meluas pada seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah
perlu mencari cara untuk melakukan percepatan implementasi, selain
dengan dana sendiri perlu ada perhitungan dan membuka kemungkinan
keterlibatan swasta dalam penyediaan kit konverter dan penjualan gas
pada nelayan. Selain ketersediaan converter perlu juga mengantisipasi
perawatan converter yang digunakan oleh nelayan, pemeriksaan berkala dan
pergantian bila ada kerusakan.
Ketiga sosialisasi dan ujicoba terbatas pada sentra perikanan. Strategi
untuk mensosialisasikan program konversi ini harus dilakukan dengan
baik supaya dapat diterima oleh nelayan. Merubah kebiasaan dan prilaku
nelayan yang sudah terbiasa menggunakan BBM tentunya merupakan tantangan
yang akan dihadapi. Mengingat keterbatasan pemerintah yang hanya akan
memfasilitasi 50.000 unit converter untuk nelayan pada tahun ini, maka
sebaiknya fokus lokasi pelaksanaan konversi diprioritaskan pada sentra
perikanan, kampung/desa nelayan yang letaknya berdekatan/berhimpitan
dengan pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan. Hal ini sekaligus untuk
memfokuskan dan sinergitas perangkat lain yang mendukung pelaksanaan
program ini seperti saluran distribusi, pengenalan alat dan peningkatan
skill nelayan dalam penggunaan converter, perawatan dan monitoring serta
evaluasi program secara keseluruhan. Terakhir dan yang kempat adalah mendorong investasi penyediaan infrastruktur BBG. Pemerintah
perlu segera memfasilitasi penyediaan infrastruktur BBG agar program
ini dapat menjangkau wilayah yang luas, kelompok sasaran nelayan yang
lebih besar dan jaminan kepastian nelayan untuk mendapatkan BBG.
Keseriusan pemerintah akan lebih terlihat nyata, apabila pada
sentra-sentra perikanan, segera terbangun dan tersedia infrastruktur BBG
yang akan memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan bahan bakar gas
untuk nelayan atau kegiatan perikanan lainnya. Ini tentunya membutuhkan
biaya investasi yang tidak sedikit dan kesiapan yang matang, tapi untuk
membuktikan keberpihakan ideologi kerakyatan yang di usung oleh
pemerintahan Jokowi-JK maka langkah itu harus segera diambil. Pemerintah
perlu menjamin bahwa ketersediaan energi dalam negeri termasuk gas,
perlu dialokasikan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak karena hal
tersebut merupakan mandat konstitusi yang tidak perlu ditawar lagi.
Irma Sabriany dan Muh. Arifuddin, Peneliti pada lembaga Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar