23 Februari, 2015

Program Konversi BBM ke BBG Bagi Nelayan, Hambatan dan Peluang?

Salah satu isu kelautan yang perlu mendapat pehatian saat ini adalah rencana pemerintah untuk melakukan konversi penggunan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi Bahan Bakar Gas (BBG) bagi nelayan. Untuk melaksanakan rencana tersebut, Presiden menugaskan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam melakukan persiapan dan koordinasi, agar implementasi rencana tersebut dapat berjalan dengan baik. Seperti diketahui bahwa pada tahun 2014 lalu, subsidi BBM untuk nelayan tangkap mendapat alokasi sebesar 2,1 juta KL atau senilai Rp 11 triliun. Angka ini kemungkinan ‘menggangu’ neraca pemerintah sehingga, kemudian kelompok nelayan menjadi salah satu target sasaran pengurangan penggunaan BBM. Namun, demikian, rencana bagus pemerintah tentunya harus diikuti oleh kesiapan pelaksanaan seperti ketersediaan BBG itu sendiri, harga dan kualitas BBG, kesiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia.
Menyusul pengurangan subsidi BBM beberapa waktu yang lalu, menyebabkan kenaikan harga BBM sehingga pilihan untuk melakukan konversi ke BBG akan dapat mengurangi pemakaian dan impor BBM. Selain lebih murah, penggunaan BBG dianggap lebih ramah lingkungan. Penggunaan BBG ternyata memberi dampak postif bagi lingkungan dan kesehatan. Dengan penggunaan BBG maka nelayan tidak menghisap CO karena tidak ada asap. Jika CO terhisap akan menyebabkan gangguan kesehatan. Dengan demikian penggunaan elpiji tidak menimbulkan asap dan tidak menimbulkan kerak di ruang bakar, hal ini membuat mesin bisa lebih awet. Konversi ini juga akan mengurangi emisi C sebesar 95%, emisi CO2 sebesar 25% dan emisi HC sebesar 80% dan emisi NOx sebesar 30%.  Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Pengelolaan Energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan energi yang dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pelaksanaannya harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Menurut Sharif C. Sutardjo Menteri Kelautan dan Perikanan era SBY,  KKP akan memfasilitasi konversi BBM ke BBG bagi kapal-kapal perikanan yang bekerjasama dengan Pertamina (KKP, 2013). KKP juga telah memberi bantuan kapal perikanan, alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan. Dukungan terhadap program konversi BBM ke BBG ini dilanjutkan pada tahun 2015 dengan target yang lebih ambisius. KKP menegaskan dan telah mencanangkan program konversi bahan bakar nelayan dari solar ke gas khususnya elpiji 3 kg kepada 600.000 nelayan dalam kurun waktu 2015-2019. Program ini merupakan program kerjasama dengan Kementerian ESDM dan KKP, dimana ESDM berperan dalam memfasilitasi penyediaan konverter gas, sementara KKP menyediakan data nelayan yang akan menerima alat converter tersebut serta menjamin kesiapan sumberdaya manusia termasuk kelembagaan nelayan.

Hambatan Implementasi

Sebelum memperkenalkan penggunaan BBG kepada nelayan, pemerintah terlebih dahulu telah mendorong penggunaan BBG untuk kendaraan bermotor di jalan raya terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Pengalaman menunjukan bahwa konversi BBM ke BBG untuk kendaraan nampaknya tidak berjalan dengan mulus dan sesuai target.  Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain ketersediaan pasokan gas, penentuan harga jual gas, kualitas gas, kit konverter, ketersediaan SPBG, standar, pengujian dan sumberdaya manusia.
Meskipun sumber gas di Indonesia sangat banyak, namun pada kenyataannya quota gas untuk transportasi tidak ada. Gas yang ada sudah habis untuk industri dan pembangkit listrik, bahkan pembangkit listrik masih kekurangan pasokan gas. Untuk itulah diperlukan adanya quota gas untuk transportasi oleh pemerintah. Demikian juga halnya, pasokan gas untuk kapal nelayan nantinya akan diambilkan dari sumber yang mana?. Hal ini harus clear untuk menjamin kesinambungan program ini nantinya. Masalah lain adalah terkait dengan harga jual gas. Sebelum keluarnya KepMen ESDM No. 2932 K/12/MEM/2010 mengenai harga jual BBG, di Jakarta terdapat dua jenis harga gas untuk kendaraan untuk jenis CNG (Compressed Natural Gas). Kedua harga gas tersebut adalah harga gas Pertamina Rp. 2.562/lsp atau liter setara premium sedangkan harga gas PGN (Perusahaan Gas Negara) adalah Rp. 3.600/lsp. Karena perbedaan harga ini, maka SPBG yang menjual gas lebih mahal kekurangan konsumen, karena  konsumennya beralih ke SPBG yang menjual gas lebih murah. Hal ini berakibat buruk karena terjadi antrian panjang dan SPBG harus beroperasi terus menerus, sehingga perawatannya terabaikan. Sejak 15 Desember 2010 sudah diberlakukan KepMen ESDM No. 2932 K/12/MEM/2010 dimana harga BBG untuk transportasi di wilayah Jakarta ditentukan Rp. 3.100/lsp sehingga tidak ada perbedaan harga lagi. Walaupun sudah sama harganya, tetapi para pengusaha masih berusaha untuk minta kenaikan dari harga tersebut, karena dengan harga tersebut marginnya sangat kecil. Kondisi ini juga bukan tidak mungkin akan terjadi pada penjualan BBG di tingkat nelayan. Bagaimana kelak menentukan harga gas bagi kapal nelayan dengan berbagai macam ukuran?
Sementara itu, terkait dengan kualitas gas saat ini sudah ditentukan dengan Surat Keputusan Menteri ESDM, tetapi pelaksanaan dilapangan belum ada yang melakukan pengetesan. Salah satu keluhan dari bus TransJakarta adalah kandungan air terlalu tinggi, sehingga setiap 6 bulan diperlukan pembersihan tangki gas. Menjaga kualitas gas didarat saja demikian sulit, bagaimana mekanisme control kualitas gas yang akan diterima oleh nelayan?. Kemudian hal lain adalah yang berkaitan dengan penyediaan dan penggunaan kit konverter yang merupakan alat vital dalam operasional BBG. Kit converter yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari berbagai negara, seperti Argentina, Cina dan India. Spare part atau suku cadang untuk peralatan konversi tersebut tidak tersedia di Indonesia. Jika ingin membelinya harus dalam jumlah besar dan waktu yang diperlukan untuk pengiriman juga lama. Akibatnya kendaraan yang mengalami kerusakan sangat sulit diperbaiki karena sulitnya pengadaan spare part dan pada akhirnya kendaraan tersebut kembali lagi menggunakan BBM. Rencana pemerintah untuk memfasilitasi converter nelayan sekaligus dalam jumlah yang banyak, perlu di cermati, bagaimana kemudian jika itu mengalami kerusakan dalam pemakaiannya. Masa garansi berapa lama, dan dimana nelayan akan melakukan perbaikan?. Demikian juga halnya dengan ketersediaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) bagi kapal nelayan yang sampai saat ini belum terbangun.  Investasi besar juga dibutuhkan untuk membangun SPBG di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil terutama untuk mendukung penyediaan dan isi ulang terhadap kekosongan dan kebutuhan BBG.
Di Indonesia standar yang digunakan untuk peralatan konversi bahan bakar gas (CNG) pada kendaraan adalah SNI 7407 : 2009. Standar ini mengacu pada beberapa standar dari luar negeri seperti AS/NZ 2739 : 2009, ISO 15500 : 2001, dan sebagainya. Namun butir-butir yang diacu pada SNI tidak selengkap yang ada pada standar-standar tersebut, sehingga SNI masih belum dapat dijadikan sebagai patokan. Contohnya adalah pada SNI ada bagian yang membahas mengenai instalasi, tetapi pada kenyataannya di lapangan para installer merakit peralatan konversi tersebut mengikuti panduan dari vendornya masing-masing, sehingga tata letak peralatan konversi pada kendaraan satu dengan yang lainnya berbeda beda tergantung dari vendor dan luasnya ruang yang ada pada kendaraan. Begitu pula pada tahap pengujian nantinya. Selama ini di Indonesia tidak ada suatu lembaga atau badan yang menguji peralatan konversi, yang ada hanya pengujian pada tabung yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja. Sebelum digunakan pada kendaraan, peralatan konversi yang diimpor harus diuji terlebih dahulu. Sehingga dapat diketahui kelayakan penggunaan peralatan tersebut. Dan yang terakhir adalah sumberdaya manusia yang menangani instalasi konverter kits masih sangat sedikit dan masih belum bersertifikasi karena tidak ada badan yang mengeluarkan sertifikasi. Para SDM/teknisi tersebut dilatih langsung oleh vendor yang mengeluarkan converter kits. Problem program konversi BBM ke BBG pada kendaraan di darat ini, mesti menjadi acuan ketika pemerintah hendak memberlakukan hal yang sama untuk kapal nelayan, bahkan mungkin dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi.

Peluang Penggunan BBG Nelayan

Menurut hasil penelitian yang dilakukan ITB dan ESDM pada tahun 2012 terhadap konverter kit ABG, penggunaan ABG jauh lebih hemat dibandingkan BBM dengan perbandingan 1 liter solar/bensin ~ 240 gram gas. Artinya penggunan BBG bisa 4 kali lebih hemat dibandingkan BBM. Jika dibandingkan dari harga, maka BBG lebih hemat sebesar Rp. 4.733 – 5.150 atau 74% – 80% setiap 1 liter solar dengan perbandingan harga solar sebesar Rp. 6.400/liter dan harga gas 3 kg sebesar Rp. 15.000 – 20.000,- (harga tahun 2015). Angka ini kemudian akan lebih besar jumlahnya, kalau nelayan dapat melakukan modifikasi alat dan menggunakan due fuel (solar dan LPG). Apabila  di asumsikan dalam satu kali melaut dengan jarak tempuh 42 mil (pergi, pulang dan orientasi penangkapan), nelayan akan menghabiskan 9,82 liter solar, sedangkan saat menggunakan dual fuel, nelayan menghabiskan solar 3,17 liter di tambah LPG sebanyak 8,29 liter atau setara 4,48 kg LPG.
Sementara itu, jika menggunakan harga solar bersubsidi berdasarkan harga resmi Pertamina sebesar Rp. 6.400/liter dan harga LPG bersubsidi untuk ukuran 3 kg dengan harga resmi Pertamina sebesar Rp.6.000/kg, perhitungan biaya bahan bakar dalam satu kali operasi penangkapan ikan dengan jarak tempuh yang sama yaitu 42 mile akan mendapatkan selisih biaya bahan bakar saat menggunakan dual fuel dibandingkan solar seluruhnya yaitu Rp. 25.688 yaitu pengurangan biaya operasi dengan solar sebesar Rp 62.848 dikurangi biaya dual fuel sebesar Rp 37.168. Penggunaan dual fuel dapat menghemat biaya operasi bahan bakar sebesar 59,1 % dari biaya penggunaan solar seluruhnya. Memang keuntungan volume dan biaya bahar bakar ini akan berkurang jika dibandingkan dengan analisis penggunaan waktu tempuh melaut. Waktu tempuh yang dihasilkan saat menggunakan solar seluruhnya yaitu selama 9,92 jam atau 9 jam 55 menit 12 detik. Sementara waktu tempuh yang dihasilkan saat menggunakan dual fuel selama 10,05 jam atau 10 jam 3 menit. Selisih waktu saat menggunakan solar seluruhnya dibandingkan dual fuel yaitu 0,13 jam atau 7 menit 48 detik. Dapat disimpulkan bahwa waktu tempuh saat menggunakan solar seluruhnya lebih cepat 7 menit 48 detik atau 1,3 % dibandingkan waktu tempuh saat menggunakan dual fuel.
Namun demikian, perhitungan ini akan mengalami diferensiasi ketika di implementasikan pada kondisi lingkungan bisnis nelayan yang sangat paradoksial sifatnya. Oleh karena itu, rencana pemerintah perlu mendapat koreksi agar target angka diatas kertas bisa sejalan dengan kondisi infrastruktur BBG, kesiapan nelayan dan penyediaan BBG nelayan yang kontinyu oleh pemerintah. Beberap hal yang perlu mendapat perhatian untuk dapat di antisipasi dengan baik adalah pertama sinkronisasi data nelayan dan kelompok sasaran. Instansi pemerintah yang berkaitan langsung dengan program ini yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, BPS dan pemerintah daerah perlu secara bersama-sama melakukan pemutakhiran data jumlah nelayan, armada kapal dan menentukan lokasi prioritas mana program ini akan dilakukan. Seperti kita ketahui bahwa keterediaan data antar instansi tentang hal ini belum sinkron antara satu sama lainnya. Oleh karena itu, untuk program vital seperti konversi ini, pemerintah perlu lebih serius menyiapkan data pokok jumlah nelayan dan target sasaran karena ketersediaan data pokok tersebut akan berimplikasi secara lebih luas terhadap rencana kerja teknis selanjutnya. Kedua jaminan penyediaan kit converter dan ketersediaan gas. Walapun pada tahap awal program konversi ini akan difasilitasi sepenuhnya oleh pemerintah melalui penyediaan 50.000 konverter gas pada tahun 2015, tapi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan nelayan saat ini yang mencapai 2,17 juta orang, fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah pada tahap awal ini hanya akan menyasar 2,3% dari total nelayan. Selain masih sangat kecil, jangkauan program ini diperkirakan belum akan merata dan meluas pada seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah perlu mencari cara untuk melakukan percepatan implementasi, selain dengan dana sendiri perlu ada perhitungan dan membuka kemungkinan keterlibatan swasta dalam penyediaan kit konverter dan penjualan gas pada nelayan. Selain ketersediaan converter perlu juga mengantisipasi perawatan converter yang digunakan oleh nelayan, pemeriksaan berkala dan pergantian bila ada kerusakan.
Ketiga  sosialisasi dan ujicoba terbatas pada sentra perikanan. Strategi untuk mensosialisasikan program konversi ini harus dilakukan dengan baik supaya dapat diterima oleh nelayan. Merubah kebiasaan dan prilaku nelayan yang sudah terbiasa menggunakan BBM tentunya merupakan tantangan yang akan dihadapi. Mengingat keterbatasan pemerintah yang hanya akan memfasilitasi 50.000 unit converter untuk nelayan pada tahun ini, maka sebaiknya fokus lokasi pelaksanaan konversi diprioritaskan pada sentra perikanan, kampung/desa nelayan yang letaknya berdekatan/berhimpitan dengan pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan. Hal ini sekaligus untuk memfokuskan dan sinergitas perangkat lain yang mendukung pelaksanaan program ini seperti saluran distribusi, pengenalan alat dan peningkatan skill nelayan dalam penggunaan converter, perawatan dan monitoring serta evaluasi program secara keseluruhan.  Terakhir dan yang kempat adalah mendorong investasi penyediaan infrastruktur BBG. Pemerintah perlu segera memfasilitasi penyediaan infrastruktur BBG agar program ini dapat menjangkau wilayah yang luas, kelompok sasaran nelayan yang lebih besar dan jaminan kepastian nelayan untuk mendapatkan BBG. Keseriusan pemerintah akan lebih terlihat nyata, apabila pada sentra-sentra perikanan, segera terbangun dan tersedia infrastruktur BBG yang akan memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan bahan bakar gas untuk nelayan atau kegiatan perikanan lainnya. Ini tentunya membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit dan kesiapan yang matang, tapi untuk membuktikan keberpihakan ideologi kerakyatan yang di usung oleh pemerintahan Jokowi-JK maka langkah itu harus segera diambil. Pemerintah perlu menjamin bahwa ketersediaan energi dalam negeri termasuk gas, perlu dialokasikan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak karena hal tersebut merupakan mandat konstitusi yang tidak perlu ditawar lagi.
Irma Sabriany dan Muh. Arifuddin, Peneliti pada lembaga Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia
 

Tidak ada komentar: