UU
Perikanan Belum Optimal Jerat Korporasi
AMBON,
KOMPAS - Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dinilai belum
optimal menjerat korporasi dalam kasus pidana pencurian ikan. Diperlukan
pembenahan regulasi untuk bisa mengoptimalkan pengembalian aset atau kerugian
keuangan negara.
Hal itu terungkap dalam lokakarya bertema ”Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi untuk Illegal Fishing”, di Ambon, Maluku, Kamis (22/1). Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Surya Jaya mengemukakan, UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat menjerat pengurus perusahaan.
Berdasarkan Pasal 101 UU No 45/2009, pelaku tindak pidana perikanan tidak hanya orang perorangan, tetapi juga korporasi. Namun, UU itu belum mengatur ketentuan pidana tambahan tentang perampasan aset-aset yang dikuasai korporasi dan pengurus.
”Diperlukan upaya pembenahan UU Perikanan untuk mengoptimalkan upaya menjerat korporasi dan mengembalikan aset negara,” kata Surya.
Untuk dapat menyita aset dari korporasi atau pengurus korporasi dalam tindak pidana perikanan, dapat dilakukan melalui beberapa ketentuan pidana lain, termasuk tindak pidana pencucian uang.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing Mas Achmad Santosa mengemukakan, penegakan hukum illegal fishing harus mampu menjawab tiga hal, yakni prosesnya harus cepat, mampu menumbuhkan efek jera, dan mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana pencurian ikan.
Efek jera
”Proses yang lama terhadap semua kasus tindak pidana perikanan harus diubah agar lebih cepat,” kata Mas Achmad. Upaya menumbuhkan efek jera dilakukan melalui penerapan pertanggunganjawaban pidana korporasi dan menghukum korporasi sebagai badan hukum.
Pengembalian kerugian negara akan tercapai jika proses lelang barang-barang hasil kejahatan dilakukan. Selain itu, gugatan perdata oleh pemerintah untuk menuntut kompensasi atas kerugian negara.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, meskipun diprotes, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap akan mempertahankan peraturan yang telah dibuat ”Peraturan yang saya keluarkan sudah saya sosialisasikan dengan gubernur dan bupati. Untuk (Permen) transshipment, peraturan itu ada dasarnya, UU. Kalau mau diperbolehkan, ganti dulu UU-nya,” ujarnya.
Susi mengetahui ada berbagai protes atas peraturan yang dibuatnya, termasuk protes dari berbagai asosiasi yang disampaikan kepada DPR. (LKT/NAD)
Hal itu terungkap dalam lokakarya bertema ”Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi untuk Illegal Fishing”, di Ambon, Maluku, Kamis (22/1). Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Surya Jaya mengemukakan, UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat menjerat pengurus perusahaan.
Berdasarkan Pasal 101 UU No 45/2009, pelaku tindak pidana perikanan tidak hanya orang perorangan, tetapi juga korporasi. Namun, UU itu belum mengatur ketentuan pidana tambahan tentang perampasan aset-aset yang dikuasai korporasi dan pengurus.
”Diperlukan upaya pembenahan UU Perikanan untuk mengoptimalkan upaya menjerat korporasi dan mengembalikan aset negara,” kata Surya.
Untuk dapat menyita aset dari korporasi atau pengurus korporasi dalam tindak pidana perikanan, dapat dilakukan melalui beberapa ketentuan pidana lain, termasuk tindak pidana pencucian uang.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Illegal Fishing Mas Achmad Santosa mengemukakan, penegakan hukum illegal fishing harus mampu menjawab tiga hal, yakni prosesnya harus cepat, mampu menumbuhkan efek jera, dan mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana pencurian ikan.
Efek jera
”Proses yang lama terhadap semua kasus tindak pidana perikanan harus diubah agar lebih cepat,” kata Mas Achmad. Upaya menumbuhkan efek jera dilakukan melalui penerapan pertanggunganjawaban pidana korporasi dan menghukum korporasi sebagai badan hukum.
Pengembalian kerugian negara akan tercapai jika proses lelang barang-barang hasil kejahatan dilakukan. Selain itu, gugatan perdata oleh pemerintah untuk menuntut kompensasi atas kerugian negara.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, meskipun diprotes, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap akan mempertahankan peraturan yang telah dibuat ”Peraturan yang saya keluarkan sudah saya sosialisasikan dengan gubernur dan bupati. Untuk (Permen) transshipment, peraturan itu ada dasarnya, UU. Kalau mau diperbolehkan, ganti dulu UU-nya,” ujarnya.
Susi mengetahui ada berbagai protes atas peraturan yang dibuatnya, termasuk protes dari berbagai asosiasi yang disampaikan kepada DPR. (LKT/NAD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar