11 September, 2014

MEMBUMIKAN VISI MARITIM

M. Zulficar Mochtar, Pengamat Kelautan
 Isu pembangunan maritim masuk ke ruang-ruang publik dan menggelinding cepat selama Pemilu Presiden. Secara khusus pada figur presiden terpilih, Joko Widodo, kerap menggaungkan visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Aneka janji menyertai visinya itu. Dia pernah berjanji membangun sistem pertahanan dan keamanan maritim yang kuat; membangun tol-laut, jejaring pelabuhan yang menurutnya bisa memperingkas sistem distribusi logistik dan mengurangi kesenjangan antara wilayah. Pernah pula dia menyatakan keinginannya membentuk bank nelayan. Lalu yang terbilang teranyar, gagasannya membentuk Kementerian Kemaritiman.
Apresiasi tentu sudah sepatutnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah waktunya Indonesia kembali ke kodratnya. Kita sebagai Negara Bahari bukan lagi untuk ditangisi atau sekedar menjadi wacana tanpa aksi.
Nah, salah satu tantangan terbesar presiden terpilih adalah meracik formula jitu untuk bisa merealisasikan visi, misi, program, janji, dan harapan pembangunan maritim. Bagaimanapun, maritim punya dimensi yang luas dan multitafsir. Kegagalan menafsirkannya akan melahirkan kebingungan baru yang bisa berujung pada implementasi pembangunan yang bias, salah arah, atau  tidak efektif. Dampaknya, lilin harapan dan partisipasi masyarakat maritim bisa redup seketika.
Untuk mengurainya, setidaknya sejumlah hal penting yang perlu diantisipasi sejak awal. Pertama, kita harus mengharmoniskan pemahaman dan perspektif maritim. Ketika Jokowi menyebut kata  ‘maritim’, misalnya, banyak pihak menerjemahkannya berbeda. Maritim mana yang dimaksud?. Di Indonesia, kata ‘maritim’ sering rancu digunakan. Ia sering dianggap sebagai kata yang sepadan dengan kelautan. Namun tidak jarang pula kata kelautan digambarkan lebih luas dibanding maritim atau lebih luas cakupannya dibanding kelautan.
Intinya, ini bukan sekedar masalah semantis. Perbedaan pemahaman ini bisa mempengaruhi kebijakan, tupoksi organisasi, dan implementasi program. Pembangunan kelautan bisa jadi tersekat-sekat, tidak saling terhubung.
Kedua, membangun paradigma pembangunan maritim. Setelah diabaikan selama beberapa dekade pemerintah dan masyarakat menjadi gagap maritim. Pembangunan selalu berpihak ke darat. Berbagai kebijakan dan program yang ditempuh seringkali memberikan dampak negatif bagi pembangunan kelautan. Upaya pembangunan kelautan, selalu dianggap sebagai beban, biaya tinggi, serta berisiko besar. Investasi dan bekerja di laut tidak dianggap strategis. Jiwa maritim terpasung. Implikasinya adalah berbagai potensi dan kekayaan RI tidak dikelola baik dan salah urus. Mayoritas sektor-sektor ekonomi maritim RI dikuasai oleh asing. Akibatnya terjadi jurang kesenjangan yang sangat dalam. Kemiskinan masyarakat pesisir, disparitas harga, ketersedian logistik, infrastruktur dan fasilitas yang minim,  kapasitas sumberdaya alam, maupun terbatasnya akses dan pelayanan publik merupakan persoalan nyata yang dapat dilihat kasat mata.
Ketiga, menata format kelembagaan yang efektif. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah di bentuk oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, sekitar 14 tahun lalu sebagai respon terhadap keprihatinan pengelolaan sumber daya kelautan yang tertinggal.  Dalam perjalanannya, KKP akhirnya dibebani menjadi kementerian “super” yang menangani hampir seluruh persoalan terkait kelautan. Sayangnya kementerian ini berjalan dengan dukungan amunisi dan perangkat kebijakan, anggaran, dan dukungan politik yang sangat terbatas. Mulai dari antisipasi bencana dan perubahan iklim pesisir, tata ruang laut, pemberdayaan nelayan dan pengentasan kemiskinan pesisir, konservasi laut, pengawasan sumber daya, pengelolaan pulau-pulau kecil dan perbatasan, pengelolaan sumberdaya pesisir, serta pengelolaan sumber daya perikanan, dimandatkan kepada KKP dengan berbagai overlap atau gap dengan kementerian lain, namun gagal dijembatani.
Tiga Tantangan Besar
Dengan tantangan yang begitu besar, tampaknya sulit melakukan revolusi maritim dalam masa pemerintahan lima tahun saja. Membangun fondasi pemahaman maritim bukan disulap. Paradigma maritim tidak bisa dipasang dalam sekejap untuk semua struktur birokrasi dan pemerintahan mendatang. Kelembagaan yang terlalu kecil akan mereduksi makna maritim sendiri. Sementara, format kelembagaan yang terlalu makro akan melahirkan kebingungan dan implementasi program pembangunan. Kata ‘maritim’ bisa menjadi topi yang kebesaran atau kekecilan bagi implementasi pembangunan.
Ada tiga kunci untuk membumikan visi maritim secara lebih realistis. Pertama, pengarasutamaan (main streaming) mandat pembangunan maritim dalam struktur kabinet baik secara kebijakan, program, maupun secara kelembagaan. Mengingat isu maritim mencakup hampir seluruh sektor pembangunan yang ada, pemerintah mendatang bisa mendorong munculnya pejabat eselon 1 (satu) di setiap kementerian untuk berfokus dan mengantisipasi berbagai permasalahan maritim. Dengan adanya masing-masing pos khusus maritim di berbagai kementerian, pemerintahan bisa meyakinkan publik bahwa fokus pembangunan maritim terkawal baik. Dalam konteks ini, membentuk Menko Maritim bukan jalan yang efektif karena akan merombak struktur kabinet yang ada secara drastis dan akan melahirkan tumpang tindih (overlap) baru.  Untuk itu, dalam fase pertama membangun fondasi negara maritim ini strategi mainstreaming akan lebih efektif dibanding membentuk Menko Maritim.
Kedua, mendorong “revolusi mental” dalam pembangunan maritim. Meski revolusi mental belum pernah ditafsirkan secara generik, namun dalam konteks sederhana revolusi mental maritim ini bisa diartikan setidaknya dengan memasukkan aspek inovasi, partisipasi publik yang luas, serta input teknologi serta berfokus kepada aksi dalam kerangka pembangunan maritim. Perubahan fundamental ini harusnya bisa membalik cara berpikir; ikan dan garam tidak boleh lagi diimpor. Nelayan harusnya dilengkapi dengan asuransi, armada, dan jaminan dalam melaut, bukan justru ditarik ke darat menjadi butuh dan tukang ojek. Bahan bakar minyak harusnya bisa diakses denngan mudah. Konservasi laut tidak boleh dipisahkan dengan pengembangan ekonomi lokal. Masyarakat  adat dan nelayan tradisional, bukan warga kelas dua. Disparitas harga di Timur dan Barat, apalagi di pulau-pulau terluar, harusnya bisa diretas.
Membangun kemaritiman jelas bukan urusan pemerintah semata. Ini adalah tanggung jawab semua pihak. Media, pengusaha, LSM, pedagang, guru, nelayan, dan sebagainya ikut bertanggung jawab. Laut harusnya menjadi tempat yang ramai. Laut adalah masa dan menjadi beban pembangunan. Laut adalah masa depan.
Ketiga, membangun peta jalan (roadmap) dan skenario menuju negara maritim yang mandiri dan berdaulat dalam kurun waktu 20-25 tahun. Evolusi maritim ini dibangun secara serius dan terukur, mengantisipasi berbagai tantangan global, nasional, maupun lokal kelautan. Berbagai potensi menjadi RI sebagai poros maritim dunia perlu dimasukkan dalam kerangka operasional yang realistis. Pola pembangunan maritim secara jangka panjang perlu menjadi pijakan dalam bergerak.  Memang tidak ada yang mudah jika ingin serius berbicara dan membangun maritim.
Sumber : Majalah Sindo Weekly, No 27 Tahun III, 4-10 september 2014

Tidak ada komentar: