M. Zulficar Mochtar, Pengamat
Kelautan
Isu pembangunan maritim masuk ke
ruang-ruang publik dan menggelinding cepat selama Pemilu Presiden. Secara
khusus pada figur presiden terpilih, Joko Widodo, kerap menggaungkan visi
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Aneka janji menyertai visinya
itu. Dia pernah berjanji membangun sistem pertahanan dan keamanan maritim yang
kuat; membangun tol-laut, jejaring pelabuhan yang menurutnya bisa memperingkas
sistem distribusi logistik dan mengurangi kesenjangan antara wilayah. Pernah
pula dia menyatakan keinginannya membentuk bank nelayan. Lalu yang terbilang
teranyar, gagasannya membentuk Kementerian Kemaritiman.
Apresiasi
tentu sudah sepatutnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah
waktunya Indonesia kembali ke kodratnya. Kita sebagai Negara Bahari bukan lagi
untuk ditangisi atau sekedar menjadi wacana tanpa aksi.
Nah,
salah satu tantangan terbesar presiden terpilih adalah meracik formula jitu
untuk bisa merealisasikan visi, misi, program, janji, dan harapan pembangunan
maritim. Bagaimanapun, maritim punya dimensi yang luas dan multitafsir.
Kegagalan menafsirkannya akan melahirkan kebingungan baru yang bisa berujung
pada implementasi pembangunan yang bias, salah arah, atau tidak efektif. Dampaknya, lilin harapan dan
partisipasi masyarakat maritim bisa redup seketika.
Untuk
mengurainya, setidaknya sejumlah hal penting yang perlu diantisipasi sejak
awal. Pertama, kita harus mengharmoniskan pemahaman dan perspektif maritim.
Ketika Jokowi menyebut kata ‘maritim’,
misalnya, banyak pihak menerjemahkannya berbeda. Maritim mana yang dimaksud?.
Di Indonesia, kata ‘maritim’ sering rancu digunakan. Ia sering dianggap sebagai
kata yang sepadan dengan kelautan. Namun tidak jarang pula kata kelautan
digambarkan lebih luas dibanding maritim atau lebih luas cakupannya dibanding
kelautan.
Intinya,
ini bukan sekedar masalah semantis. Perbedaan pemahaman ini bisa mempengaruhi
kebijakan, tupoksi organisasi, dan implementasi program. Pembangunan kelautan
bisa jadi tersekat-sekat, tidak saling terhubung.
Kedua,
membangun paradigma pembangunan maritim. Setelah diabaikan selama beberapa
dekade pemerintah dan masyarakat menjadi gagap maritim. Pembangunan selalu
berpihak ke darat. Berbagai kebijakan dan program yang ditempuh seringkali
memberikan dampak negatif bagi pembangunan kelautan. Upaya pembangunan
kelautan, selalu dianggap sebagai beban, biaya tinggi, serta berisiko besar.
Investasi dan bekerja di laut tidak dianggap strategis. Jiwa maritim terpasung.
Implikasinya adalah berbagai potensi dan kekayaan RI tidak dikelola baik dan
salah urus. Mayoritas sektor-sektor ekonomi maritim RI dikuasai oleh asing.
Akibatnya terjadi jurang kesenjangan yang sangat dalam. Kemiskinan masyarakat
pesisir, disparitas harga, ketersedian logistik, infrastruktur dan fasilitas
yang minim, kapasitas sumberdaya alam,
maupun terbatasnya akses dan pelayanan publik merupakan persoalan nyata yang
dapat dilihat kasat mata.
Ketiga,
menata format kelembagaan yang efektif. Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) telah di bentuk oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, sekitar 14
tahun lalu sebagai respon terhadap keprihatinan pengelolaan sumber daya
kelautan yang tertinggal. Dalam
perjalanannya, KKP akhirnya dibebani menjadi kementerian “super” yang menangani
hampir seluruh persoalan terkait kelautan. Sayangnya kementerian ini berjalan
dengan dukungan amunisi dan perangkat kebijakan, anggaran, dan dukungan politik
yang sangat terbatas. Mulai dari antisipasi bencana dan perubahan iklim
pesisir, tata ruang laut, pemberdayaan nelayan dan pengentasan kemiskinan
pesisir, konservasi laut, pengawasan sumber daya, pengelolaan pulau-pulau kecil
dan perbatasan, pengelolaan sumberdaya pesisir, serta pengelolaan sumber daya
perikanan, dimandatkan kepada KKP dengan berbagai overlap atau gap dengan
kementerian lain, namun gagal dijembatani.
Tiga Tantangan Besar
Dengan tantangan yang
begitu besar, tampaknya sulit melakukan revolusi maritim dalam masa
pemerintahan lima tahun saja. Membangun fondasi pemahaman maritim bukan disulap.
Paradigma maritim tidak bisa dipasang dalam sekejap untuk semua struktur
birokrasi dan pemerintahan mendatang. Kelembagaan yang terlalu kecil akan
mereduksi makna maritim sendiri. Sementara, format kelembagaan yang terlalu
makro akan melahirkan kebingungan dan implementasi program pembangunan. Kata
‘maritim’ bisa menjadi topi yang kebesaran atau kekecilan bagi implementasi
pembangunan.
Ada
tiga kunci untuk membumikan visi maritim secara lebih realistis. Pertama,
pengarasutamaan (main streaming) mandat pembangunan maritim dalam struktur
kabinet baik secara kebijakan, program, maupun secara kelembagaan. Mengingat
isu maritim mencakup hampir seluruh sektor pembangunan yang ada, pemerintah
mendatang bisa mendorong munculnya pejabat eselon 1 (satu) di setiap
kementerian untuk berfokus dan mengantisipasi berbagai permasalahan maritim.
Dengan adanya masing-masing pos khusus maritim di berbagai kementerian,
pemerintahan bisa meyakinkan publik bahwa fokus pembangunan maritim terkawal
baik. Dalam konteks ini, membentuk Menko Maritim bukan jalan yang efektif
karena akan merombak struktur kabinet yang ada secara drastis dan akan
melahirkan tumpang tindih (overlap) baru. Untuk
itu, dalam fase pertama membangun fondasi negara maritim ini strategi mainstreaming akan lebih efektif
dibanding membentuk Menko Maritim.
Kedua,
mendorong “revolusi mental” dalam pembangunan maritim. Meski revolusi mental
belum pernah ditafsirkan secara generik, namun dalam konteks sederhana revolusi
mental maritim ini bisa diartikan setidaknya dengan memasukkan aspek inovasi,
partisipasi publik yang luas, serta input teknologi serta berfokus kepada aksi
dalam kerangka pembangunan maritim. Perubahan fundamental ini harusnya bisa
membalik cara berpikir; ikan dan garam tidak boleh lagi diimpor. Nelayan
harusnya dilengkapi dengan asuransi, armada, dan jaminan dalam melaut, bukan
justru ditarik ke darat menjadi butuh dan tukang ojek. Bahan bakar minyak
harusnya bisa diakses denngan mudah. Konservasi laut tidak boleh dipisahkan
dengan pengembangan ekonomi lokal. Masyarakat
adat dan nelayan tradisional, bukan warga kelas dua. Disparitas harga di
Timur dan Barat, apalagi di pulau-pulau terluar, harusnya bisa diretas.
Membangun
kemaritiman jelas bukan urusan pemerintah semata. Ini adalah tanggung jawab
semua pihak. Media, pengusaha, LSM, pedagang, guru, nelayan, dan sebagainya ikut
bertanggung jawab. Laut harusnya menjadi tempat yang ramai. Laut adalah masa
dan menjadi beban pembangunan. Laut adalah masa depan.
Ketiga,
membangun peta jalan (roadmap) dan
skenario menuju negara maritim yang mandiri dan berdaulat dalam kurun waktu
20-25 tahun. Evolusi maritim ini dibangun secara serius dan terukur,
mengantisipasi berbagai tantangan global, nasional, maupun lokal kelautan.
Berbagai potensi menjadi RI sebagai poros maritim dunia perlu dimasukkan dalam
kerangka operasional yang realistis. Pola pembangunan maritim secara jangka
panjang perlu menjadi pijakan dalam bergerak.
Memang tidak ada yang mudah jika ingin serius berbicara dan membangun
maritim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar