14 Mei, 2014

Indonesia mengambil sikap lebih keras dalam hal Laut Tiongkok Selatan

Oleh Martin Sieff Komando Angkatan Laut: Seorang anggota dari unit komando elit Angkatan Laut Indonesia KOPASKA sedang melakukan patroli keamanan untuk persiapan konferensi tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik 2013, di pulau wisata Bali. [AFP]



Tentara Nasional Indonesia [TNI] mengambil sikap lebih keras terhadap klaim teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, telah berusaha untuk menghindari keterlibatan negara ini dalam persengketaan teritorial antara Tiongkok dengan para tetangganya, dalam hal kedaulatan atas terumbu karang dan sekumpulan pulau kecil di wilayah tersebut. Natalegawa telah menjadi figur pemimpin di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dalam membangun prakarsa diplomatik damai dan multilateral untuk menyelesaikan persengketaan tersebut.

Ketika Tiongkok terus menggeruskan tekanan kepada para tetangganya, terutama Jepang dan Filipina, Komandan TNI Jenderal Moeldoko telah mengambil sikap publik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap masalah ini. “Laut Tiongkok Selatan telah menjadi titik utama persengketaan maritim di Asia. Dua pengklaim-nya adalah Tiongkok dan Taiwan, sementara empat negara lain – Brunei, Malaysia, Filipina , dan Vietnam – semuanya merupakan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. …. Ini merupakan inti dari posisi Indonesia juga,” tulis Moeldoko dalam Wall Street Journal Asia, pada tanggal 24 April.

“Kami bukanlah salah satu pengklaim dalam masalah persengketaan ini. Namun kami akan terkena dampaknya jika konflik sampai pecah di Laut Tiongkok Selatan, akibat interpretasi dari apa yang disebut sebagai jalur 9-garis pada peta Tiongkok, yang memberi hak klaim terhadap 90 persen dari perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi di laut tersebut [atau 1,35 juta mil persegi]. Dengan memandang makna ekonomis dan strategis laut tersebut, ini merupakan masalah internasional mendesak yang juga telah melibatkan A.S.,” tulis Moeldoko.

“Oleh karena itu Indonesia kecewa karena Tiongkok telah menyertakan bagian-bagian dari Kepulauan Natuna dalam jalur 9-garis tersebut, dan karenanya mengklaim segmen dari provinsi Kepulauan Riau di Indonesia sebagai wilayah mereka. Sebuah gambar memperlihatkan tampilan garis tersebut dalam paspor Tiongkok yang baru dikeluarkan. Kepulauan yang terkena dampak ini berada di pesisir barat laut Kalimantan,” Moeldoko memperingatkan. “Pihak militer Indonesia telah memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya di Natuna. Kami juga perlu menyiapkan pesawat tempur untuk menangani peristiwa yang berakar dari peningkatan ketegangan di salah satu jalur perairan utama di dunia ini.”

Indonesia mendukung ‘kebijakan tanpa perang’
Moeldoko menekankan bahwa Indonesia terus mendukung “kebijakan tanpa perang untuk Laut Tiongkok Selatan, seperti halnya yang telah kami lakukan untuk wilayah Asia Pasifik lainnya.” Dia memberi peringatan kepada Beijing bahwa “perilaku mereka di Laut Tiongkok Selatan akan menentukan persepsi lebih luas mengenai niatnya sebagai kekuatan yang sedang muncul.” 

TNI mendukung retorikanya dengan peningkatan penugasan aparat militer di wilayah tersebut. Indonesia memperkuat kehadirannya di udara, di sepanjang Laut Tiongkok Selatan, IHS Jane's melaporkan pada bulan Maret.

HIS Jane’s melaporkan bahwa Letkol Andri Gandy, komandan dari Pangkalan Udara TNI, Ranai, di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan, menyatakan bahwa pangkalannya sedang mengalami modernisasi untuk dapat mengoperasikan pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 buatan Rusia.

Pada tanggal 12 Maret, Laksamana Fahru Zaini, seorang pejabat pertahanan senior Indonesia, berkata kepada para wartawan: “Tiongkok telah mengklaim perairan Natuna sebagai perairan teritorial mereka. Klaim arbitrasi ini berhubungan dengan persengketaan mengenai Kepulauan Spratly dan Paracel di antara Tiongkok dan Filipina. Persengketaan ini akan berdampak sangat besar terhadap keamanan di perairan Natuna.”

Walaupun Zaini berkomentar demikian, Natalegawa terus berpegang kepada kebijakan lamanya untuk bekerja sama dengan Tiongkok dan berusaha untuk menghindari konflik dengan Beijing. “Pertama-tama, tidak ada persengketaan teritorial di antara Indonesia dan Tiongkok, terutama dalam hal kepulauan Natuna. Bahkan kami bekerja sama dengan Tiongkok dalam kemungkinan untuk membawa rencana investasi langsung di kepulauan tersebut. Kedua, kami bukan salah satu pengklaim di Laut Tiongkok Selatan,” katanya.

Namun, seperti pernyataan Leo Suryadinata dari Institute of Southeast Asian Studies dalam The Straits Times yang berbasis di Singapura pada tanggal 24 April, “Natalegawa memang mengakui bahwa Jakarta telah menolak 'jalur 9-garis' Laut Tiongkok Selatan dari Tiongkok yang kontroversial tersebut.” Oleh karena itu, “banyak pengamat, terutama di Barat, yang yakin bahwa posisi Indonesia telah berubah. Daripada bersikap netral, Indonesia telah secara efektif berpihak kepada para pengklaim lainnya di Asia Tenggara.”

Tiongkok mencari hubungan baik dan kendali atas Laut Tiongkok Selatan
Ralph Winnie, kepala dari program Tiongkok di Eurasian Business Coalition, mengatakan kepada Asia Pacific Defense Forum bahwa Tiongkok sedang terpecah di antara dua sisi, yaitu dorongan berkelanjutannya untuk membina hubungan serius dengan bangsa-bangsa ASEAN, dan kekukuhannya untuk menegakkan haknya di Laut Tiongkok Selatan.

“Para pemimpin Tiongkok mengetahui pentingnya kelanjutan hubungan yang baik dengan para tetangganya untuk mempertahankan kepercayaan investor, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun Tiongkok juga ingin menjadi kekuatan dunia. Mereka ingin menegakkan kekuasaan namun juga ingin menjadi pemangku kepercayaan yang bertanggung jawab. Mereka ingin terlibat secara konstruktif,” ungkapnya.

Namun sekarang, mungkin Tiongkok telah mendesak Indonesia terlalu jauh. “Tiongkok telah mengambil serangkaian tindakan asertif yang membuat Indonesia melakukan pengumumannya kepada publik,” analis Anne Marie Murphy, seorang profesor di Seton Hall University, menyatakan. “Tiongkok telah menerapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara di Laut Tiongkok Timur, dan menyatakan bahwa mereka akan menerapkannya di Laut Tiongkok Selatan setelah melakukan persiapan yang semestinya.

“Deklarasi publik Indonesia yang menyatakan konflik maritimnya dengan Tiongkok, memiliki potensi untuk mengubah situasi yang ada di Laut Tiongkok Selatan,” tulisnya. “Ketika Indonesia secara resmi menentang klaim Tiongkok, ambiguitas strategis yang membuat Indonesia dapat memosisikan dirinya sebagai penengah antara Tiongkok dan para mitra ASEAN-nya telah hilang. …Terdapat kemungkinan bahwa ketegangan di Laut Tiongkok Selatan akan terus meningkat.”

Apakah sebaiknya Indonesia mendukung negara-negara lain dalam menentang hak teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan? Utarakan pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini. 

http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2014/05/07/indonesia-china-line 

Tidak ada komentar: