Tentara Nasional Indonesia [TNI] mengambil sikap lebih keras terhadap klaim teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa, telah berusaha untuk menghindari keterlibatan negara ini
dalam persengketaan teritorial antara Tiongkok dengan para tetangganya,
dalam hal kedaulatan atas terumbu karang dan sekumpulan pulau kecil di
wilayah tersebut. Natalegawa telah menjadi figur pemimpin di Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dalam membangun prakarsa diplomatik
damai dan multilateral untuk menyelesaikan persengketaan tersebut.
Ketika Tiongkok terus menggeruskan tekanan kepada para tetangganya,
terutama Jepang dan Filipina, Komandan TNI Jenderal Moeldoko telah
mengambil sikap publik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap
masalah ini. “Laut Tiongkok Selatan telah menjadi titik utama persengketaan
maritim di Asia. Dua pengklaim-nya adalah Tiongkok dan Taiwan, sementara
empat negara lain – Brunei, Malaysia, Filipina ,
dan Vietnam – semuanya merupakan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara. …. Ini merupakan inti dari posisi Indonesia juga,” tulis
Moeldoko dalam Wall Street Journal Asia, pada tanggal 24 April.
“Kami bukanlah salah satu pengklaim dalam masalah persengketaan ini.
Namun kami akan terkena dampaknya jika konflik sampai pecah di Laut
Tiongkok Selatan, akibat interpretasi dari apa yang disebut sebagai jalur 9-garis
pada peta Tiongkok, yang memberi hak klaim terhadap 90 persen dari
perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi di laut tersebut [atau 1,35
juta mil persegi]. Dengan memandang makna ekonomis dan strategis laut
tersebut, ini merupakan masalah internasional mendesak yang juga telah
melibatkan A.S.,” tulis Moeldoko.
“Oleh karena itu Indonesia kecewa karena Tiongkok telah menyertakan
bagian-bagian dari Kepulauan Natuna dalam jalur 9-garis tersebut, dan
karenanya mengklaim segmen dari provinsi Kepulauan Riau di Indonesia
sebagai wilayah mereka. Sebuah gambar memperlihatkan tampilan garis
tersebut dalam paspor Tiongkok yang baru dikeluarkan. Kepulauan yang terkena dampak ini berada di pesisir barat laut Kalimantan,” Moeldoko memperingatkan. “Pihak militer Indonesia telah memutuskan untuk meningkatkan
kekuatannya di Natuna. Kami juga perlu menyiapkan pesawat tempur untuk
menangani peristiwa yang berakar dari peningkatan ketegangan di salah
satu jalur perairan utama di dunia ini.”
Indonesia mendukung ‘kebijakan tanpa perang’
Moeldoko menekankan bahwa Indonesia terus mendukung “kebijakan tanpa
perang untuk Laut Tiongkok Selatan, seperti halnya yang telah kami
lakukan untuk wilayah Asia Pasifik lainnya.” Dia memberi peringatan kepada Beijing bahwa “perilaku mereka di Laut
Tiongkok Selatan akan menentukan persepsi lebih luas mengenai niatnya
sebagai kekuatan yang sedang muncul.”
TNI mendukung retorikanya dengan peningkatan penugasan aparat militer
di wilayah tersebut. Indonesia memperkuat kehadirannya di udara, di
sepanjang Laut Tiongkok Selatan, IHS Jane's melaporkan pada bulan Maret.
HIS Jane’s melaporkan bahwa Letkol Andri Gandy, komandan dari
Pangkalan Udara TNI, Ranai, di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan
Laut Tiongkok Selatan, menyatakan bahwa pangkalannya sedang mengalami
modernisasi untuk dapat mengoperasikan pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 buatan Rusia.
Pada tanggal 12 Maret, Laksamana Fahru Zaini, seorang pejabat
pertahanan senior Indonesia, berkata kepada para wartawan: “Tiongkok
telah mengklaim perairan Natuna sebagai perairan teritorial mereka.
Klaim arbitrasi ini berhubungan dengan persengketaan mengenai Kepulauan
Spratly dan Paracel di antara Tiongkok dan Filipina. Persengketaan ini
akan berdampak sangat besar terhadap keamanan di perairan Natuna.”
Walaupun Zaini berkomentar demikian, Natalegawa terus berpegang
kepada kebijakan lamanya untuk bekerja sama dengan Tiongkok dan berusaha
untuk menghindari konflik dengan Beijing. “Pertama-tama, tidak ada persengketaan teritorial di antara Indonesia
dan Tiongkok, terutama dalam hal kepulauan Natuna. Bahkan kami bekerja
sama dengan Tiongkok dalam kemungkinan untuk membawa rencana investasi
langsung di kepulauan tersebut. Kedua, kami bukan salah satu pengklaim
di Laut Tiongkok Selatan,” katanya.
Namun, seperti pernyataan Leo Suryadinata dari Institute of Southeast Asian Studies dalam The Straits Times
yang berbasis di Singapura pada tanggal 24 April, “Natalegawa memang
mengakui bahwa Jakarta telah menolak 'jalur 9-garis' Laut Tiongkok
Selatan dari Tiongkok yang kontroversial tersebut.” Oleh karena itu,
“banyak pengamat, terutama di Barat, yang yakin bahwa posisi Indonesia
telah berubah. Daripada bersikap netral, Indonesia telah secara efektif
berpihak kepada para pengklaim lainnya di Asia Tenggara.”
Tiongkok mencari hubungan baik dan kendali atas Laut Tiongkok Selatan
Ralph Winnie, kepala dari program Tiongkok di Eurasian Business
Coalition, mengatakan kepada Asia Pacific Defense Forum bahwa Tiongkok
sedang terpecah di antara dua sisi, yaitu dorongan berkelanjutannya
untuk membina hubungan serius dengan bangsa-bangsa ASEAN, dan
kekukuhannya untuk menegakkan haknya di Laut Tiongkok Selatan.
“Para pemimpin Tiongkok mengetahui pentingnya kelanjutan hubungan
yang baik dengan para tetangganya untuk mempertahankan kepercayaan
investor, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun Tiongkok
juga ingin menjadi kekuatan dunia. Mereka ingin menegakkan kekuasaan
namun juga ingin menjadi pemangku kepercayaan yang bertanggung jawab.
Mereka ingin terlibat secara konstruktif,” ungkapnya.
Namun sekarang, mungkin Tiongkok telah mendesak Indonesia terlalu jauh. “Tiongkok telah mengambil serangkaian tindakan asertif
yang membuat Indonesia melakukan pengumumannya kepada publik,” analis
Anne Marie Murphy, seorang profesor di Seton Hall University,
menyatakan. “Tiongkok telah menerapkan Zona Identifikasi Pertahanan
Udara di Laut Tiongkok Timur, dan menyatakan bahwa mereka akan
menerapkannya di Laut Tiongkok Selatan setelah melakukan persiapan yang
semestinya.
“Deklarasi publik Indonesia yang menyatakan konflik maritimnya dengan
Tiongkok, memiliki potensi untuk mengubah situasi yang ada di Laut
Tiongkok Selatan,” tulisnya. “Ketika Indonesia secara resmi menentang
klaim Tiongkok, ambiguitas strategis yang membuat Indonesia dapat
memosisikan dirinya sebagai penengah antara Tiongkok dan para mitra
ASEAN-nya telah hilang. …Terdapat kemungkinan bahwa ketegangan di Laut
Tiongkok Selatan akan terus meningkat.”
Apakah sebaiknya Indonesia mendukung negara-negara lain dalam
menentang hak teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan? Utarakan
pendapat Anda di bagian komentar di bawah ini.
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2014/05/07/indonesia-china-line
Tidak ada komentar:
Posting Komentar