Kapalku
menderu mengergaji ombak diantar buih-buih laut Teluk Jakarta. Angin
laut menampar-nampar mukaku yang pasi karena semalaman kurang tidur
disuntuki obrolan menarik tentang negeri khatulistiwa yang maha karya
dengan sumberdaya alam lautannya. Kami berlima menikmati ikan bakar pada
dingin malam yang menusuk. Satu orang kawanku telah mendengkur
dialunkan ombak karena kelelahan dihajar waktu dan tugas. Ah..., negeri
ini terus membangunkan khayalku menuju masa lalu yang gilang gemilang.
Aku jadi ingat anakku yang kutinggal di rumah, asyik masyuk bermain
perahu-perahuan yang terbuat dari kertas. Negeri bahari yang minim
sarana transportasi. Betapa tidak, angkutan barang di dalam negeri masih
mengandalkan kapal-kapal asing yang secara de fakto devisa digondol
"bule" ke luar negeri. Tapi biarlah, hari ini aku hanya ingin menikmati
perjalanan menuju pulau kecil. jangan rewel, anakku, ibumu akan
menyaksikan negeri jamrud khatulistiwa yang berkibar sejak ratusan tahun
lalu, sejak Raden Wijaya dengan taktik liciknya mampu menandaskan
pasukan Mongol di tanah Jawa Dwipa.
Satu dua pulau kulewati di
tengah kuah belantara samudera. Kapalku terus melaju ke tengah kuah
belantara samudera. Kapalku terus melaju ke tangah gelora. Anakku,
sepertinya aku tengah berada melaju ke tengah samudera antah berantah,
jauh di ujung dunia. Tapi bukan, Anakku! Ini bukan Atlantik yang telah
menelan meremas bulat-bulat Titanic, ini bukan Masalembo yang telah
meremas kandas Tampomas. Di sini cuma Teluk Jakarta, Anakku. ya..!!,
Teluk Jakarta, bibir pantai Laut Jawa.
Aku jadi ingat Jan
Pieterszoon Coen, kepala gerombolan yang mengatasnamakan Kompeni, yang
telah mengeruk kekayaan nusantara selama ratusan tahun untuk membangun
Netherland atau Holand atau Amsterdam. Pala, cengkeh, timah emas dijarah
tak henti-henti. duh.., angin laut terus menyambari mukaku,
membangkitkan rasa benciku pada yang berbau Eropa sediakala. lihat,
lumba-lumba bersukaria timbul tenggelam berlari mengejar di antara buih
ombak yang dibelah kapalku. Inilah pulau ku dari perut laut bila
dipotret dari udara.
Ya..., di ujung dermaga pulau Tidung
itu, anakku, dengan penuh malu-malu Bahrun menyatakan cita-citanya
menjadi dokter. Terinspirasi di sinetron televisi tentang peran dan jasa
seorang dokter. Ia teringat kakek Mul yang meregang nyawa karena sakit
dan tidak memiliki uang untuk berobat ke daratan karena tidak ada rumah
sakit di pulau kecil, Bahrun kini mulai lancar bercerita.
Kalimat-kalimat lain pun mengalir dari mulutnya yang mungil dan lucu;
tentang kandasnya harapan anak-anak pulau kecil, tak ada pilihan selain
meneruskann tapak jejak orang tuanya yang jadi nelayan. Kekurangan air
bersih dan akses-akses lain yang tidak dimiliki oleh orang-orang darat
dia menyebut manusia yang mendiami Pulau jawa sebagai manusia darat.
Secuil harapan memang selalu tertanam pada hati siapapun, termasuk
mereka yang hidupnya serba keterbatasan di pulau kecil. Bagi masyarakat
yang mendiami pulau kecil di negeri ini akses dan keterbatasan itu
sempurna lantaran sering kebijakan pemerintah yang tidak berpihak. Ingat
Sipadah-Ligitan? Seandainya pemerintah sejak awal mau sedikit berbagi
hati dengan pulau itu,tentu Mahkamah Internasional tidak akan membiarkan
tetangga kita untuk memilikinya. padahal soal pulau kecil, apalagi di
perbatasan, sangat rentan gesekan dengan negara lain.
Ya,
bahrun telah mengingatkanku soal harapan bagi anak-anak di pulau kecil.
Ini Kepualauan Seribu, gugusan pulau di bibir Laut Jawa, Anakku! Ah,
bagaimana dengan nasib saudara-saudaraku di pulau kecil dan terluar nun
jauh disana? Apakah nasibnya sepadan dengan Bahrun. Aku membaca Miangas
yang selalu bertransaksi perdangan menggunakan Peso. Produk
barang-barang yang dipakainya pun "made in" tetangga. Apa arti
"nasionalisme" tanpa kesejahteraan dan perhatian? Ia hanya omong kosong
nyeruput kopi pahit.
Anakku, masih banyak Bahrun-bahrun lain
di pulau kecil dan terpencil atau bahkan di pulau terpencil dan terluar,
yang menginginkan perhatian pemerintah. Aku yakin mereka juga ingin
seperti saudaranya di pulau dan kota besar yang dapat menikmati sarana
dan kemajuan teknologi zaman kiwari. Namun apa daya, akses, kebijakan,
bahkan tatatan politik belum mampu mencapai keinginan apa yang mereka
maui. Tapi yakinlah, saudaraku, tak ada orang tua yang akan
menelantarkan anaknya. kalau pun ada, itu arus yang berlawanan dengan
sunatullah.
Ada belasan ribu pulau kecil yang kita miliki
yang hanya dipajang dalam bingkai "etalase" NKRI. Ada ratusan pulau
kecil berpenghuni yang nasibnya perlu sentuhan khusus pemerintah. Ada
Sembilan puluh dua pulau kecil terluar, pun membutuhkan sentuhan
kebijakan yang berpihak baik dari sisi ekonomi, sosial, pertahanan dan
keamanan serta politik. Ada dua belas pulau terluar yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga. Jangan, jangan biarkan mereka
"membelot" dengan alasan ditelantarkan. Jangan, jangan ada
Sipadan-Ligitan kedua dibumi pertiwi nusantara ini. Ah, anakku, cintaku
benar-benar tambat nun jauh di pulau terpencil dan terdepan.
Oleh : Fivien Ocktaviani
Sumber : Majalah Maritim Indonesia Edisi 24/TH/VI/Oktober-Desember/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar